Aku menghitung uang hasil dagang seharian ini. Aku mendesah kesal karena kudapati uang yang ada menipis akibat membayar hutang mama dan Kak Andin tadi siang. Sampai saat ini, keduanya masih belum berani menegurku. Mereka tahu jika aku masih marah kepada mereka. "Aish, ini uang buat setoran dan sisa untukku cuman segini." Ingin rasanya aku menangisi nasibku yang buruk ini. Kupikir mungkin ini adalah balasan atas jahatnya aku beberapa waktu yang lalu. Pak Kumis dengan rekannya datang mengantarkan sayuran seperti biasa. Mengganti sayuran yang telah layu dan mengambil setoran. "Mbak Naya. Ini, ada titipan buat Mbak Naya." Pak Kumis menyerahkan dua totabag kepadaku. Aku terheran namun tetap mengambil totabag tersebut. "Apa ini, Pak. Dari siapa?" tanyaku heran."Nggak tahu, Mbak. Tapi itu titipan orang. Katanya buat Mbak Naya," jelasnya lalu menyibukkan dirinya membantu rekannya menurunkan sayuran dari mobil pick up miliknya. "Tapi siapa namanya, Pak?" tanyaku lagi. Masih teramat penas
Tota bag itu berisi pakaian yang bagus. Aku menentengnya seraya menempelkan ke badanku. Pas sekali, ukuran bajuku. Tapi sekarang ukuran seperti itu lumayan longgar di badanku yang semakin kurus ini. "Cantik banget. Sebenarnya siapa sih Bosnya, baik banget gini?" ujarku membolak-balik baju yang cantik itu. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, kantuk juga sudah menggerogoti mataku. Aku menyudahi aktivitas yang sangat melelahkan hari ini. Sayuran sudah masuk dalam keranjang yang sesuai dengan jenis-jenisnya. Setelah menggosok gigi dan mencuci muka ssrta kaki. Aku pergi ke kamar dan siap untuk tidur. ***Dering telepon membangunkanku yang baru satu jam memejamkan mata. Aku meraba kasur di atas bantalku. Tanpa melihat nomor pemanggil, aku mengangkat panggilan itu laku kembali menutup mataku. 'Hallo, siapa?' tanyaku dari ujung panggilan telepon. Tidak ada jawaban dari ujung sana. "Kayaknya salah sambung," gerutuku siap untuk mematikan panggilan telepon. Tut.. Tut..Panggilan t
"Wah, Mbak Naya sekarang dagang keliling ya." Bu Nida memegangi satu papan tempe."Iya, Mbak. Kalau nunggu di rumah mah susah. Tapi, seru juga keliling.""Bagus Mbak Naya keliling. Kalau aku itu kadang malas keluar rumah buat pergi ke warung, kalau gini kan enak."Aku manggut-manggut seraya tersenyum."Saya salut loh Mbak sama kamu. Masih muda, cantik lagi, tapi ga malu kerja beginian." Ibu berkerudung pink menepuk pundakku pelan. "Iya, bener. Saya juga salut sama Mbak Naya. Kan zaman sekarang tuh para gadis itu mah gengsinya tinggi." Mereka asyik memujiku.Gadis? Andai kalian tahu jika aku adalah seorang janda. "Ya mau gimana lagi, Mbak. Kalau ga kerja mau makan apa." Satu hal yang perlu diperhatikan jika kalian dipuji para ibu-ibu seperti ini. Jangan terbang dan bangga. Bisa saja saat di depanmu mereka memuji namun di belakang malah sebaliknya. Berlakulah sewajarnya saja karena ini dunia ibu-ibu yang penuh dengan tipu-tipu. Daganganku laku keras, jauh lebih cepat daripada menunggu
Pagi sekali aku sudah bangun dari tidur, sejak pukul lima pagi masih duduk di kursi ruangan depan dengan ponsel dan buku notaku. Aku mulai belajar sedikit-demi sedikit dalam pengelolaan, mengingat kembali mata kuliah dulu. Setelah jam di ponselku menunjukkan pukul enam pagi, alarmku berbunyi memekik. Satu kali sentakan, suara alarm itu berhenti. Aku menyudahi belajarku, bersiap untuk mandi serta sarapan dari lauk tadi malam, juga nasi tadi malam yang ada di dalam magic com. Mama dan Kak Andin masih belum bangun dari tidur mereka, keduanya masih bergelut dalam dunia mimpi mereka. Selesai mandi dan sarapan. Aku membuka pintu rumah. Angin dingin pagi ini sangat segar, sepertinya siang nanti cuaca akan cerah, semoga saja. Sebentar lagi anak buah Pak Kumis akan datang membawakan aku keperluan dagang hari ini.Rambutku masih terpulun handuk. Belum kering setelah mandi. Sembari menunggu sayuran datang, aku menyapu lantai rumahku terlebih dahulu. Bukan rumah yang begitu bersih namun masih e
Untuk yang kesekian kalinya Rizki datang ke rumah kecilku. Rumah yang harus aku angsur pembayaran tiap bulan yang hanya Rizki yang tahu tentang ini. Sudah yang kesekian kalinya Rizki memintaku untuk menikah dengannya, namun bagaimana aku bisa menerima ajakannya itu sedangkan hatiku tidak sedikitpun terpaut untuknya. Begitu sulit untuk menerima orang baru untuk saat ini, aku masih berusaha menjahit lukaku yang belum sembuh total.“Nay, masa iddahmu sudah selesai. Sekarang, kita sudah boleh menikah, jadi bagaimana?” tanya Rizki menatapku dengan sangat tulus. Aku terdiam mematung dan membisu, manik mataku tak begitu menangkap jelas pada Rizki yang sedang duduk di hadapanku. “Jika kamu siap, nanti malam aku bawa mama sama papa ke sini,” sambungnya. Aku memilin ujung baju dasterku. Apa yang harus aku jawab. Kemarin, alasanku adalah menyelesaikan masa iddah dan sekarang masa iddahku sudah selesai. Lantas, perasaan ini belum ingin untuk menikah lagi. Rizki tidak henti-hentinya untuk menata
“Nay, terima saja lamaran Nak Rizki. Kasian, dia sudah bantuin banyak buat kita. Jika kamu menikah dengannya, kamu ndak perlu capek lagi kerja jualan sayur, Mama ga trga Nay lihat kamu seharian kerja.” Mama berucap sangat lembut padaku.Aku yang sedang menghitung uang hasil jualan sayur hari ini pun seketika terhenti. Kuletakkan lembaran uang yang ada di tangan ke dalam laci, mama sedang duduk di bibir ranjangku, aku memghampirinya lalu memegang pundaknya. “Ma, Naya tahu Mama mau yang terbaik buat Naya. Tapi, Naya masih ingin seperti ini, Naya kuat Ma. Naya ga capek.” Tiba-tiba saja giliran hangat menetes ke pipi, mama menatap manik mataku dengan lekat.Bagaimanapun dia Adalah ibuku, dia pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.Mama menyeka tetesan bulir hangatnya dan berdiri dari duduknya. “Terserah kamu saja, Nay. Mama hanya ingin kamu bahagia. Selamat beristirahat!”Kuingat lebih dalam, beberapa waktu ini memanglah Rizki yang selalu ada dalam kehidupanku. Dia satu-satunya or
Aku terkapar di atas kasur. Berulang kali berusaha untuk bangun namun tidak bisa. Badanku sangat lemas dan lesu. Sepertinya aku sedang demam tinggi. Hari ini aku tidak keluar untuk berdagang sayur, aku juga sudah memberitahukan Pak Kumis tentang hal ini agar dia tidak perlu capek-capek nganterin sayur ke rumahku. Ada sesuatu yang aku khawatirkan. Beberapa waktu ini menghantui pikiranku, namun selalu aku tepis dengan alasan yang masuk akal menurutku. Tiga bulan ini aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku. Pertahanan tubuh berkurang. Aku seringkali muntah dan tidak enak badan, tidak suka dengan aroma tertentu dan yang paling aku khawatirkan aku sudah tidak menstruasi dalam beberapa bulan ini. Tidak, tentu saja tidak. "Gimana kalau aku coba pakai tes pack aja ya," gumamku. Aku takut tapi penasaran. Aku masih sangat lemas, aku pun terpaksa meminta bantuan Rizki kali ini, untuk yang kesekian kalinya. 'Riz. Kamu sibuk nggak?' tanyaku masih berbaring di kasur. 'Kebetulan lagi nggak, N
Aku bersigera menyembunyikan tes pack pada balik bajuku. Cairan tumpah dan aku harus berusaha kembali untuk mengeluarkannya. Aku membuka pintu toilet. Kak Andin tidak berucap sepatah katapun, dia langsung masuk ke dalam toilet setelah aku keluar. Sepertinya dia benar-benar sudah kebelet. Aku masuk ke dalam kamarku. Mama sedang tidak ada di kamar. "Hugh, hampir aja tadi." Aku tersandar di balik pintu, perlahan aku membuka tes pack yang aku sembunyikan pada bajuku. "Hish, mana gagal lagi. Nanti aku coba lagi." Tes pack aku masukkan ke dalam laci, tidak lupa untuk menguncinya agar tidak ada yang bisa menemukan milikku tanpa sengaja. *** "Nay, belikan mama nasi kuning!" teriak mama dari dapur. "Apa sih, Ma. Naya lagi ga enak badan ini." "Sebentar aja, cuman ke warung depan kok. Cepetan, Mama laper!" desak mama.Aku memutar mata malas. "Biasanya kan Mama beli sendiri ke depan."Mama duduk ke kursi. "Nay, Mama masih sakit. Kata dokter Mama ga boleh kecapean. Kalau tidak, sakit jantun
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua