Dengan sangat malas aku memilah pakaian dari dalam almariku. Tatapanku jatuh pada baju daster bermotif bunga. Karena udara malam hari lumayan dingin menurutku jika harus pergi keluar menggunakan motor “Ini aja deh.” Tidak ketinggalan cardigan rajut kuambil jua.Selesai mengganti pakaian, kuikat rambutku secara sederhana dengan penjepit yang menjadi penyangganya.“Dah, Yuk berangkat!”“He, tumben kali kau Nay kayak gini. Udah kayak emak-emak mau kepasar. Eh ada yang kurang salonpasnya.” Aher tertawa puas.Kudorong pelan kepalanya. “Sudah jangan banyak omong, cepetan!”“Iya, iya.”“Kayak singa aja nih Naya, pantesan Adji nggak betah sama dia,” umpat Aher yang terdengar olehku.“Apa, ngomong apa kamu tadi?” ucapku nyaring tepat di telinga Aher yang sedang memboncengku.Aher mengusap pelan daun telinganya. Mungkin terasa sengau karna suaraku yang nyaring melegit tepat di dekat telinganya.“Nggak ada, Nay. Kita berangkat sekarang ya!” Aher berusaha lembut.“Dari tadi kek, cepetan!” Aku mend
Aher telah mengantarku kembali ke rumah. Tidak lupa kata terakhirnya saat aku turun dari motornya. 'Jangan lupa besok harus ke kantor!' Terasa menyebalkan sekali didengar. Mendengung masuk kedalam rongga telingaku. Tapi, lumayan rindu juga dengan suasana kantor, ekspresi para pegawai yang puyeng karena banyaknya tumpukan tugas yang harus diselesaikan dalam satu waktu.Aku melangkahkan kakiku masuk ke rumah, pintu masih terbuka tanda Mama masih belum tidur. Aku menatap arlojiku yang melingkar pada pergelangan tangan, jarum pendek telah menunjukkan angka sebelas. Sebentar lagi memasuki dini hari.Tapi, tunggu! Rasanya ada yang kurang dari pemandangan di depan teras rumahku. Aku mendilik pelan. Di mana gerobak Mas Adji? Biasanya terparkir di samping motorku, kok sekarang nggak ada. Aku mengitarkan mataku seluas mata memandang."Mama," teriakku langsung memasuki rumah."Ada apa sih, Nay?" tanya Mama yang tengah menatap ponselnya di kursi. Ternyata saat ini dia tengah santai menonton vide
“Terima kasih, Pak. Sudah datang,” ucapku dengan sangat ramah pada Pak Kusuma yang sedang duduk di seberang mejaku. Bukan hanya berdua saja, ada Aher dan Pritta juga di samping kami.Aku menatap pada Pak Kususma yang dari awal datang sampai saat ini fokus pada layar ponselnya. Aher dan Pritta melayangkan tatapan ke arahku, melihat Pak Kusuma yang belum tersenyum dan menjawab apapun dari kami.Aku mengangkat bahu tanda juga tak tahu. Kami masih saja menunggu sampai Pak Kusuma selesai dengan ponselnya, sebenarnya yang seperti ini tidaklah profesional, sibuk dengan ponsel sedangkan sudah ada janji dengan orang lain.“Pak,” ucap Pritta membuka suara.Pak Kusuma menghentikan gerakan jemarinya, lalu mengangkat dagunya menatap ke arah Pritta. “Pritta, kamu di sini juga?” tanya Pak Kusuma langsung saja.Pritta mengukir senyumannya. “Iya, Pak. Pritta juga ada di sini.”“Wah, lama ya kita sudah ga ketemu. Kamu tambah cantik aja,” puji Pak Kusuma pada Pritta yang membuatku dengan Aher terbelalak
Dering ponsel tak menggetarkanku sama sekali, aku tetap diam duduk di kursi yang ada di teras rumahku, dengan kaki yang menjuntai aku mengayunnya berselisihan. Hanya melirik sekilas ke arah ponsel yang berdering dengan nama kontak Rizki. Berulang kali berdering dan mengusik ketenanganku akhirnya kumatikan ponselku agar panggilan tak lagi menyapa.“Huh, enaknya ngapain ya?” gerutuku malas.Dalam gang yang sempit ini aku hidup dan bernaung, meski di gang yang sempit namun kendaraan masih leluasa untuk berlalu lalang, aku seorang gadis dengan pakaian rapi dan modis setiap ke kantor itu berbanding terbalik dengan dunia nyataku. Aku adalah seorang janda dengan baju daster yang telah ditinggalkan oleh suamiku yang sangat baik.Mas Adji, sudah berminggu-minggu kamu tidak menginjakkan kakimu ke rumah tetap saja bayanganmu lekat di sini. Aku kesal dan bingung pada diriku sendiri, kemarin benci banget sama Mas Adji dan sangat menginginkan perpisahan dengannya. Tapi, sekarang aku malah seperti i
Seorang MC asyik berbicara di depan para tamu undangan. Aku tidak melihat sosok Pak Kusuma di depan. Yang aku herankan adalah mengapa tamu undangan yang ada di sini terbilang sangat sedikit dan dari golongan tingkat bawah? Lihat saja pakaian mereka yang terbilang seperti para pedagang keliling seperti Mas Adji. Hanya kami yang berpakaian layaknya para tamu undangan.“Nay, aku mau ngambil minum dulu ya. Kamu mau sekalian aku ambilin?” tawar Rizki.“Nggak usah, Riz. Kamu aja, aku belum haus,” tolakku.Rizki mengangguk lalu pergi menuju jamuan makanan dan minuman yang tersusun rapi di bagian samping panggung.Aku plenga-plengo mengitarkan pandanganku. Aher pergi entah ke mana? Aku juga bingung dengannya yang terlihat sangat sibuk itu padahal hanya menjadi tamu undangan saja.Seorang pria berjalan ke arahku. Aku berpura-pura tak memerhatikan langkahnya itu. “Mbak,” ucapnya menyapaku.“Iya, ada apa?” tanyaku memberi respon.“Mbak, bisa gantiin MC bentar! MC-nya tadi ada suatu hal yang mend
Sepulang acara, aku langsung saja membenamkan diriku di kasur. Tangisan pecah tanpa reda. Sakit, sangatlah membuat ngilu di dada. 'Nay, yang terjadi di tempat Pak Kusuma barusan sangat memalukan. Kamu tahu itu kan. Saya tidak perduli dengan segala alasan yang kamu berikan, mulai saat ini kamu tidak usah datang lagi ke kantor, kamu dipecat!' Suara atasan terdengar menggeram dari ujung telepon. Aku hanya diam tanpa pembelaan karena percuma saja, atasan sudah marah yang kedua kalinya padaku. Bayangan Mas Adji masih saja menghantui. Apalagi saat Mas Adji berada di atas panggung bersama wanita lain, Pritta. Mama, Rizki dan Aher berulang kali berusaha mengetuk pintu kamar yang sudah kurang lebih tiga jam yang lalu aku kunci. Aher terdengar meringis memintaku membuka pintu."Nay. Ayok buka pintunya. Kami khawatir, takut kamu kenapa-napa di dalam." "Bener, Nay. Sudah, tiada gunanya menangisi lelaki seperti Adji. Aku di sini, Nay. Aku ga bakalan ninggalin kamu, mari kita pergi dari sini dan
Pov Adji~~~~~~~ Aku tidak bisa tidur malam ini. Memikirkan Naya bersama Rizki. “Nay, semoga kamu bahagia bersama Rizki yang jauh lebih baik daripada aku. Maaf, jika saat bersamaku kamu tidak pernah merasakan apa artinya kebahagiaan dalam rumah tangga kita.” Aku, Adji Mahendra. Adik dari Kusuma Adjipto Sahreza, kami adalah saudara kembar yang dulunya sama-sama sempat hidup susah setelah kematian kedua orang tua kami. Kami juga adalah si kembar yang telah puluhan tahun terpisah. Kak Kusuma tinggal bersama kakek di luar negeri. Sedangkan aku, tinggal bersama paman dan tante di kota ini. Pada saat dalam keadaan susah-susahnya, aku terpaksa meninggalkan cita-cita kuliah, aku mencoba mengerjakan semua pekerjaan yang aku paksa harus bisa agar bisa membantu ekonomi paman dan tante. “Harusnya, anak saudaramu itu sudah kerja, bantuin kita. Masa kita sudah sekolahkan dia capek-capek ujung-ujungnya dia nganggur di rumah,” celoteh tente kepada paman yang baru saja pulang dari tempat kerjanya.
Pagi hari ini aku masih mencoba mencari pekerjaan, namun tidaklah mudah. Badanku juga rasanya kurang sehat, perutku mual dan tidak enak badan. Mama beranjak dari kasur pada pukul setengah delapan pagi. Aku masih bergelut dalam selimutku seraya sibuk dengan laptopku untuk mencari info lowongan pekerjaan. Pukul sepuluh pagi, aku bangkit dari kasur karena perutku sudah sangat lapar. Suara Kak Andin masih belum terdengar, mungkin masih tidur. Mama kudapati sedang duduk melamun di teras dapur. Tangannya memangku dagu dengan tatapan kosong ke depan. ''Ma, lagi mikirin apa.'' Aku duduk di sampingnya. Mama terkesiap. ''Eh, kamu sudah bangun, Nay.'' Senyuman tipis mama tergambar secara paksa, matanya berkaca-kaca. Aku meraih tangan mama dan dengan lembut memintanya untuk bercerita.''Ma, cerita sama Naya!''Mama menelan ludahnya dengan berat. ''Mama rindu sama Bapak, Nay.'' Bibir mama bergetar. ''Bapakmu pasti sedih melihat keadaan kita yang sekarang ini, andai Bapakmu masih ada pasti ki
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua