Hana menatap Rudy yang tampak mengiba padanya. "Maaf, Paman Rudy. Aku tidak bisa. Ikhlaskanlah perusahaan. Aku yakin asalkan semua anggota keluarga Winata mulai sekarang bersikap serius dan bekerja keras, kita pasti akan bisa bangkit lagi secara perlahan."
Rudy mengepalkan tangannya. "Paman sudah berbicara sampai seperti ini, tetapi kamu sama sekali tidak tergerak sedikit pun. Kamu benar-benar tidak memiliki perasaan, Hana. Tidak ada sama sekali rasa sayang di hatimu untuk keluarga. Kamu benar-benar egois," ucap Rudy dengan gigi merapat.
Kening Hana mengerut. "Aku sudah bersuami. Egois apa yang Paman maksud? Bukankah kalian yang sudah bersikap egois di sini? Bukan hanya itu, menurutku kalian sudah bersikap tidak masuk akal."
Rudy mengatupkan mulutnya, tetapi matanya menatap dengan tatapan kebencian. Dia membenci keponakannya itu karena sama sekali tidak bisa diandalkan.
"Anton, kenapa k
Terima kasih atas dukungan Readers tercinta! ^^ Dukung terus karya ini dengan memberi Vote, komentar dan ulasan bintang 5. ^^ Selamat membaca! ^^ ❤️(◠‿◕)
Green mengangkat wajahnya menatap Keluarga Winata. "Apa yang terjadi? Kenapa Hana menangis?" tanyanya dengan kening mengerut.Gerry langsung membuka suara. Dia berbicara dengan tenang, masih menyembunyikan rasa kebenciannya pada Green. "Green, kamu sendiri sudah tahu, kan, bahwa perusahaan kami sudah akan bangkrut? Marcell memiliki jalan keluar untuk masalah ini. Dia mengatakan bahwa dia bisa saja membujuk papanya untuk menyuntik dana ke perusahaan kami bahkan menjalin kerja sama kembali dengan kami, tetapi itu bisa terjadi kalau saja Hana adalah pacarnya. Tuan Albert pasti akan tergerak untuk membantu jika Hana memiliki hubungan penting dengan putranya sendiri. Saat ini, Hana bingung memutuskan apa yang harus dia lakukan. Itu sebabnya dia menangis."Hana bingung? Kening Green semakin mengerut mendengarnya. Dia menoleh menatap Marcell sambil menahan rasa kesal. Marcell benar-benar licik!"Apa Hana mulai goyah pada hubung
Rudy lalu membuka suaranya. "Green, jika kamu tidak melepas Hana, kita semua, termasuk Hana dan kamu sendiri pasti akan menderita dalam kemiskinan. Bahkan bisa jadi biaya pengobatanmu dan juga kuliah kalian berdua tidak bisa ditanggulangi lagi karena banyaknya hutang keluarga Winata. Daripada kita semua menderita seperti itu, lebih baik kita memilih jalan ini. Ini yang terbaik untuk kita semua." "Benar. Melepas Hana bukan berarti kamu tidak mencintainya. Justru itu adalah bukti dari perasaan tulusmu untuk Hana. Kamu melepasnya untuk kebahagiaannya," timpal Gerry kembali. Perlahan Green membuka mulutnya. "Benarkah?" tanyanya dengan sungguh-sungguh. Hana mengerutkan keningnya mendengar tanggapan Green yang sepertinya akan menuruti kemauan keluarganya. Dia menjadi gelisah. "Iya...tentu saja... Jadi, bagaimana....Green...? Apa kamu....setuju...?" tanya Erina. Hatinya sedari tadi sudah tidak sabar, begitu pula yang lain
"Apa yang......barusan kau....katakan?" Erina bertanya dengan tatapan merendahkan. Sepertinya dia baru saja mendengar sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu. Green menghela napas pelan. "Nyonya, apa anda tidak mendengarnya dengan jelas? Sekali lagi kukatakan, anda jual semua, maka akan langsung saya beli. Tentunya dengan harga yang semestinya. Lalu seluruh perusahaan itu akan saya berikan pada istriku!" ucap Green mengulangi ucapannya dengan serius. "Apa kamu sedang membuat lelucon konyol?" Kali ini Marcell yang berbicara dengan nada jengkel. Keningnya tampak mengerut. Sedari tadi ia hanya diam menyimak. Tetapi kata-kata Green kali ini membuatnya tidak bisa menutup mulut lebih lama lagi. Bagaimana bisa lelaki rendahan seperti Green mencoba berbesar mulut di saat semua orang sedang bersikap serius? Seketika Erina, Rudy dan Gerry tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Kau....sudah gila....ru
Anton mengerutkan keningnya. Apa Green benar-benar tidak paham dan tidak sadar bahwa ia terjebak omongannya sendiri? Rasanya tidak masuk akal juga jika Green tidak paham. Dia jelas ingin membelinya! Tetapi karena menurut Anton, Green ber-IQ rendah, bisa saja, kan, Green benar-benar tidak paham atas kerugian yang ia tanggung? Ini sebenarnya sungguh konyol jika dia tidak paham. Tetapi, apa pun itu, Anton tetap merasa tidak nyaman jika dia diam saja menyaksikan semua ini. Lebih baik ia menjelaskan saja terlebih dahulu pada menantunya itu dengan lambat-lambat apa akibat ucapannya itu supaya Green tidak menyesalinya nanti. Tetapi saat Anton hendak membuka suara, Hana sudah terlebih dahulu berbicara. "Green, kita harus bicara dulu!" Hana segera menarik Green ke sudut ruangan. Erina, Rudy dan Gerry membiarkan saja dengan tenang. Biar bagaimanapun ini semua tidak akan bisa dibatalkan kembali. "Apa maksudmu, Green? Apa kau
"Besok pukul.....dua siang, datanglah.....ke kantor PT. Andalan Winata. Kami akan.....menyiapkan segala sesuatunya...., sementara kau, siapkan....uangnya! Nanti Gerry.....akan memberikan perincian saham perusahaan Winata....., termasuk.....berapa jumlah dana keseluruhan.... Tapi ingat, jika besok kau......tidak bisa membayarnya atau mencoba membatalkan ucapanmu....kau harus.....menandatangani surat cerai itu! Jangan coba.....kau bermain-main....padaku!" ancam Erina dengan tatapan tajam. "Baik. Bagaimana kalau ternyata saya bisa membelinya? Aku minta kalian memohon maaf pada Hana dan juga memohon maaf pada kedua mertuaku atas perkataan kasar kalian, terutama anda, Nyonya Besar Winata," ucap Green dengan wajah serius. "Tidak...masalah!" sahut Erina. Erina lalu mengalihkan pandangannya pada Marcell. "Nak Marcell, tolong....datanglah juga besok....karena kami yakin.....Green tidak akan mampu membeli perusahaan kami. Do
Hana bisa merasakan genggaman tangan Green yang semula hangat berubah menjadi sedingin es dan bergetar. Dia langsung mendongak menatap Green yang sudah memucat. Matanya melebar melihat wajah suaminya itu dan dengan cepat ia beralih menatap Baron dan kedua temanya. Kening Hana mengerut. "Kenapa mereka bertiga membuat Green setakut ini? Padahal kami sedang berada di tempat umum. Apa jangan-jangan laki-laki yang bernama Baron ini adalah tipe orang yang nekat?" Apa yang dipikirkan Hana tepat sekali. Baron memang orang yang nekat. Dia memiliki jiwa psikopat di dalam dirinya, syukurnya tidak begitu kental. Kalau tidak, mungkin dia sudah menjadi pembunuh. "Kalian mau apa?" tanya Green dengan suara tercekat menatap Baron. Dengan cepat dia menarik Hana, menyembunyikan istrinya itu ke belakang tubuhnya. Hana tercengang, jelas-jelas Green sangat ketakutan tetapi suaminya itu tidak lupa untuk tetap melin
Alasan Jack mengawal Green dari tempat tersembunyi, tidak lain karena Jack tidak ingin kehadirannya mengganggu momen kebersamaan tuan muda dengan nyonya mudanya.Itu sebabnya saat Baron menyerang Green secara tidak terduga, Jack dengan sigap menggunakan pistol mininya. Dia tahu betul bahwa dia tidak akan sempat melesat ke sana untuk menghentikan Baron, si bocah bodoh itu. Sekalian saja dia juga menembak betis dua bocah lainnya. Menurut Jack, ketiga bocah bodoh itu memang pantas mendapat tembakan darinya, bahkan lebih dari pantas. Seandainya bos Jack adalah seorang mafia, Jack pasti sudah meledakkan kepala mereka bertiga.Di lapangan kampus kemarin, saat Jack melihat Green memucat dengan tubuh gemetar melihat Baron, Jack langsung menyuruh anak buahnya untuk menyelidiki siapa Baron. Ternyata dari semua pembully yang pernah membully Green di masa sekolah, Baronlah yang paling kejam dalam menyiksa Green! Disiksa terus-menerus oleh ketiga orang i
"Kamu harus memberi tahuku sebenarnya dia siapa?" Hana bertanya kembali. "Aku tidak yakin kalau dia hanyalah anak dari tukang kebun Julia. Pasti itu bohong juga, kan?" Wajah Green semakin muram. "Soal Jack, apa itu penting?" "Tentu saja. Bukankah dia sudah menolong kita? Dia pahlawan kita, Green! Kalau tadi Jack tidak sedang berada di sana, aku yakin pria gila itu sudah membuat kita berdarah-darah! Aku sangat bersyukur karena dia ada di sana?" Hana sedikit melompat seperti penggemar baru. Green menelan ludahnya. Dia tidak senang mendapati Hana seperti itu, mengagumi pria lain. "Apa kamu tidak berpikir kenapa dia ada di sana?" "Bukankah kamu bilang kebetulan?" Walaupun menurut Hana itu kecil kemungkinannya tetapi bisa saja itu memang kebetulan. "Kapan aku bilang bahwa itu kebetulan?" Suara Green tampak sedikit tidak sabar. "Memang tidak ada. Tapi t