Walaupun Albert sudah melarangnya dengan tegas, Marcell dengan sikap keras kepalanya memutuskan untuk mengabaikan perkataan papanya. Menurutnya, apa pun yang diinginkannya pasti bisa terwujud karena dia memiliki mama yang selalu mendukungnya. Jika mamanya sudah bertindak membelanya, papanya pasti akan melemah. Segala sesuatunya selalu seperti itu, dari dulu dan tentunya hingga sekarang.
Saat Marcell melangkah menuju ruang Ryan, dia malah bertemu dengan keluarga Winata di jalur yang harus dia lalui. "Kenapa mereka ada di sini?"
Mata Marcell langsung berkilat saat melihat Hana berdiri berdampingan di sana bersama dengan Green.
Dia pun datang menyapa dengan ramah. "Selamat siang!" Senyuman manis terpatri di wajahnya yang biasanya selalu dingin. Kalau bukan demi Hana dia tidak akan melakukan hal merepotkan seperti ini. Menyapa dan tersenyum ramah pada orang-orang bukanlah kebiasaan Marcell.
"Nak Marcell?
Pertanyaan itu memang menambah semangat Rudy dan Gerry. Gerry langsung melangkah lebih dekat pada Marcell. "Maaf, Marcell, biar Om saja yang menjelaskan padamu tentang hal ini. Nenek Erina tidak mampu terlalu banyak bicara. Lidah dan kerongkongannya menjadi kelu dan sakit." "Baiklah, Om." Gerry menghela napas pelan. "Begini, selain karena penyakit, Nenek Erina menangis karena perusahaan Winata sedang berada di masa kritis. Kami membutuhkan suntikan dana yang besar untuk bisa kembali stabil, Nak Marcell. Tapi sampai sekarang kami belum bisa mendapatkan dana itu. Andai saja ada penolong yang bisa membantu kami," lirih Gerry. Dia belum berani meminta tolong dengan terus terang. Dia memilih menggunakan cara yang agak halus. Marcell tersenyum di dalam hati. "Baru dipancing sedikit, mereka langsung menunjukkan bisulnya." "Oh, seperti itu ya, Om. Saya memang sudah mendengar ka
Keberadaan Marcell yang tiba-tiba di rumah sakit membuat Hana merasa tidak nyaman berlama-lama di rumah sakit. "Green, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar cari angin? Penat rasanya di sini terus," ajak Hana dengan wajah jenuhnya. Green tersenyum. "Baiklah, ayo!" ucapnya. Dia menggenggam tangan Hana dan segera bergegas membawanya menjauh dari area ruang rawat Erina. Green senang mereka meninggalkan tempat itu. Dengan demikian mereka tidak perlu bertemu Marcell saat Marcell selesai menengok Erina. Jujur saja, Green tidak suka melihat cara Marcell menatap Hana tadi. Itu adalah tatapan cinta penuh harap, dan dia sangat kesal melihat itu. Tetapi baru beberapa langkah seseorang memanggil mereka. "Tunggu!" Rudy-lah yang mencegat mereka. Green dan Hana langsung menoleh menatap Rudy yang melangkah menghampiri mereka. "Ada apa, Paman?" tanya Hana deng
Dengan wajah murung, Hana memasuki ruang rawat neneknya. Matanya tanpa sengaja bersitatap dengan Marcel, dan dengan canggung ia segera mengalihkan pandangannya kepada Erina."Ada apa Nenek memanggilku?" tanya Hana tanpa basa-basi."Hana, kamu duduklah dulu di samping nenekmu. Supaya nenek lebih mudah melihatmu," ucap Gerry dengan lembut.Tumben sekali pamannya itu bersikap lembut. Hana pun melihat posisi tempat duduk. Duduk di dekat neneknya berarti duduk di samping Marcell. Dia mendesah pelan dan memutuskan untuk menuruti saja, lalu mendekat dan duduk di dekat Erina."Ada apa, Nek?" tanyanya kembali."Hana... Marcell ingin....menolong perusahaan kita.... Tetapi... Kita harus.....bekerja sama....dalam hal....ini..., agar dia berhasil.....menolong kita..." jelas Erina dengan wajah memelas.Mendengar itu, seketika mata Hana membulat dan menoleh pada Marcell yan
Hana menatap Rudy yang tampak mengiba padanya. "Maaf, Paman Rudy. Aku tidak bisa. Ikhlaskanlah perusahaan. Aku yakin asalkan semua anggota keluarga Winata mulai sekarang bersikap serius dan bekerja keras, kita pasti akan bisa bangkit lagi secara perlahan." Rudy mengepalkan tangannya. "Paman sudah berbicara sampai seperti ini, tetapi kamu sama sekali tidak tergerak sedikit pun. Kamu benar-benar tidak memiliki perasaan, Hana. Tidak ada sama sekali rasa sayang di hatimu untuk keluarga. Kamu benar-benar egois," ucap Rudy dengan gigi merapat. Kening Hana mengerut. "Aku sudah bersuami. Egois apa yang Paman maksud? Bukankah kalian yang sudah bersikap egois di sini? Bukan hanya itu, menurutku kalian sudah bersikap tidak masuk akal." Rudy mengatupkan mulutnya, tetapi matanya menatap dengan tatapan kebencian. Dia membenci keponakannya itu karena sama sekali tidak bisa diandalkan. "Anton, kenapa k
Green mengangkat wajahnya menatap Keluarga Winata. "Apa yang terjadi? Kenapa Hana menangis?" tanyanya dengan kening mengerut.Gerry langsung membuka suara. Dia berbicara dengan tenang, masih menyembunyikan rasa kebenciannya pada Green. "Green, kamu sendiri sudah tahu, kan, bahwa perusahaan kami sudah akan bangkrut? Marcell memiliki jalan keluar untuk masalah ini. Dia mengatakan bahwa dia bisa saja membujuk papanya untuk menyuntik dana ke perusahaan kami bahkan menjalin kerja sama kembali dengan kami, tetapi itu bisa terjadi kalau saja Hana adalah pacarnya. Tuan Albert pasti akan tergerak untuk membantu jika Hana memiliki hubungan penting dengan putranya sendiri. Saat ini, Hana bingung memutuskan apa yang harus dia lakukan. Itu sebabnya dia menangis."Hana bingung? Kening Green semakin mengerut mendengarnya. Dia menoleh menatap Marcell sambil menahan rasa kesal. Marcell benar-benar licik!"Apa Hana mulai goyah pada hubung
Rudy lalu membuka suaranya. "Green, jika kamu tidak melepas Hana, kita semua, termasuk Hana dan kamu sendiri pasti akan menderita dalam kemiskinan. Bahkan bisa jadi biaya pengobatanmu dan juga kuliah kalian berdua tidak bisa ditanggulangi lagi karena banyaknya hutang keluarga Winata. Daripada kita semua menderita seperti itu, lebih baik kita memilih jalan ini. Ini yang terbaik untuk kita semua." "Benar. Melepas Hana bukan berarti kamu tidak mencintainya. Justru itu adalah bukti dari perasaan tulusmu untuk Hana. Kamu melepasnya untuk kebahagiaannya," timpal Gerry kembali. Perlahan Green membuka mulutnya. "Benarkah?" tanyanya dengan sungguh-sungguh. Hana mengerutkan keningnya mendengar tanggapan Green yang sepertinya akan menuruti kemauan keluarganya. Dia menjadi gelisah. "Iya...tentu saja... Jadi, bagaimana....Green...? Apa kamu....setuju...?" tanya Erina. Hatinya sedari tadi sudah tidak sabar, begitu pula yang lain
"Apa yang......barusan kau....katakan?" Erina bertanya dengan tatapan merendahkan. Sepertinya dia baru saja mendengar sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu. Green menghela napas pelan. "Nyonya, apa anda tidak mendengarnya dengan jelas? Sekali lagi kukatakan, anda jual semua, maka akan langsung saya beli. Tentunya dengan harga yang semestinya. Lalu seluruh perusahaan itu akan saya berikan pada istriku!" ucap Green mengulangi ucapannya dengan serius. "Apa kamu sedang membuat lelucon konyol?" Kali ini Marcell yang berbicara dengan nada jengkel. Keningnya tampak mengerut. Sedari tadi ia hanya diam menyimak. Tetapi kata-kata Green kali ini membuatnya tidak bisa menutup mulut lebih lama lagi. Bagaimana bisa lelaki rendahan seperti Green mencoba berbesar mulut di saat semua orang sedang bersikap serius? Seketika Erina, Rudy dan Gerry tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Kau....sudah gila....ru
Anton mengerutkan keningnya. Apa Green benar-benar tidak paham dan tidak sadar bahwa ia terjebak omongannya sendiri? Rasanya tidak masuk akal juga jika Green tidak paham. Dia jelas ingin membelinya! Tetapi karena menurut Anton, Green ber-IQ rendah, bisa saja, kan, Green benar-benar tidak paham atas kerugian yang ia tanggung? Ini sebenarnya sungguh konyol jika dia tidak paham. Tetapi, apa pun itu, Anton tetap merasa tidak nyaman jika dia diam saja menyaksikan semua ini. Lebih baik ia menjelaskan saja terlebih dahulu pada menantunya itu dengan lambat-lambat apa akibat ucapannya itu supaya Green tidak menyesalinya nanti. Tetapi saat Anton hendak membuka suara, Hana sudah terlebih dahulu berbicara. "Green, kita harus bicara dulu!" Hana segera menarik Green ke sudut ruangan. Erina, Rudy dan Gerry membiarkan saja dengan tenang. Biar bagaimanapun ini semua tidak akan bisa dibatalkan kembali. "Apa maksudmu, Green? Apa kau
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be