Echa menarik tangannya dengan cepat, lalu melirik ke arah Niko yang sudah menatap dingin lelaki itu.“Maaf, Pak.” Hanya itu yang terucap dari bibir Echa.Lelaki itu tak lain adalah Yordan yang tengah menerbitkan senyuman manis pada Echa.“Kantor kita–” Baru Yordan berucap, suara dingin Niko memotongnya.“Anda sudah mendengarnya. Jangan memaksa.” Niko mengangkat alisnya dengan tatapan dingin.Yordan mendengus kesal mendengar ucapan Niko, “Echa, dia kerabatmu? Seharusnya kamu nggak boleh membawa kerabatmu yang lancang ini. Kampungan banget.”Yordan menatap penuh benci pada Niko yang dibalas pula dengan sinis oleh Niko.Echa tersenyum sederhana. Dia mengaitkan tangannya dengan tangan Niko, seolah ingin menunjukkan bahwa Niko bukan hanya sekedar kerabatnya, melainkan seseorang yang begitu spesial dalam hidupnya.“Tebakan Bapak salah. Dia suamiku, namanya Niko Pram.” Muka Yordan tertekuk dan kusut, tapi perlahan dia melemparkan senyuman meremehkan pada Niko.“Oh pasti suamimu pengangguran
“Bukankah dia Kakek?” Walaupun belasan tahun tidak pernah bertemu, Niko masih mengingat betul wajah Abraham.Abraham tersenyum ke arah Cucunya yang berdiri di ambang pintu, “Niko Prameswara Bakhi, apa kabarmu?”“Maaf, aku salah masuk ruangan.” Ekspresi Niko berubah datar. “Kemarilah cucuku.” suara Abraham menghentikan tangan Niko yang hendak menutup pintu. “aku datang lebih cepat hanya untuk bertemu denganmu.”Abraham memberi kode tatapan pada Danish dan Danang. Kedua orang itu mengangguk. Mereka bangkit dari duduknya dan beranjak pergi dan tersenyum lebar pada Niko sebelum keluar dari sana.Niko melangkah maju dengan wajah malasnya. Dia kemudian memilih duduk di depan Kakeknya itu.“Niko, Kakek senang bisa bertemu lagi denganmu,” ucap Abraham.Sebenarnya Niko tidak suka dengan pertemuan kali ini. Terlihat dari sikapnya yang sedari tadi tak pernah menatap wajah Kakeknya itu. “Kakek tahu, belasan tahun adalah waktu yang lama. Tapi … Kakek terpaksa melakukan semua ini. Maafkan Kakek.”
“Kamu main-main dengan orang yang salah!” Senyuman Janu berubah menjadi tawa keras, wajahnya tampak begitu semringah.“Punya koneksi?” Ekspresi Niko begitu datar. “biar kutebak, teman yang kamu maksud adalah Tuan Danish, orang kepercayaan Tuan Abraham?”Mulut Janu seketika tertutup rapat-rapat–terkejut, “Kamu, kamu kenal Tuan Danish?”Dunia begitu sempit. Sebelumnya Niko meminta bantuan Danang untuk mencari informasi mengenai Janu, dan sungguh mengejutkan bahwa Janu adalah anak teman akrabnya Danish.“Hm aku bukan siapa-siapanya,” jawab Niko kemudian.“Kalau Tuan Danish tahu aku diperlakukan seperti ini, Tuan Danish tidak akan mengampunimu!” ancam Janu.“Begitu, ya?” Niko terlihat begitu santai. “kalau begitu kenapa kita tidak telepon saja Tuan Danish?” tanyanya kemudian sambil merogoh ponsel di saku baju.Janu tertawa renyah karena mengira Niko hanya membual. Namun, setelah telepon itu tersambung dan terdengar suara Danish dari seberang, seketika dirinya terkejut bukan main, “Loh?”“
Hesti mempertahan senyumannya sambil berpikir keras mencari jawaban yang memuaskan untuk Berry.“Pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak.” Hesti berupaya meyakinkan Berry. “dan Echa nggak pernah tidur sama lelaki busuk itu.”Sejujurnya Hesti tidak yakin dengan perkataannya sendiri setelah kemarin mata kepalanya sendiri melihat lelaki miskin itu berduaan dengan Echa di kamar.Sekilas sudut bibir Berry terangkat, “Apa Tante yakin? Bukannya si curut itu tidak mau melepaskan Echa?” tanyanya kemudian.Hesti terdiam sejenak sebelum senyum di bibirnya terbit, “Itu bukan pekerjaan sulit. Bagaimanapun caranya Tante akan menyingkirkan sampah itu dari kehidupan anakku. Kalau perlu Tante akan membunuhnya.” Berikutnya kalimat pujian Hesti lontarkan pada Berry, “ Cuma nak Berry menantu idaman Tante. Cuma nak Berry yang bisa memberikan kebahagiaan untuk keluarga ini.”Berry tersenyum elegan, menyukai cara Hesti memberikan pujian yang kentara jelas ingin menyatukan dirinya dengan Echa.Namun, Ber
Echa menganga di tempat–syock mendengar ultimatum dari pihak bank.“Maaf, bukannya jatuh temponya masih minggu depan?” Echa mempertanyakan. “Suka tidak suka, besok kami akan datang menyita rumah kalian untuk melunasi hutang-hutang kalian!” Selesai mengatakan itu, sambungan telepon terputus.Echa berdiri lesu di depan tembok. Dia masih baru bekerja, dan mustahil memiliki uang miliaran rupiah dalam waktu dekat untuk melunasi hutang-hutang orang tuanya. Terlebih lagi, meskipun Papanya sudah menjalani operasi, Papanya masih harus membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan itu memerlukan biaya tambahan.“Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?” gumam Echa sambil menatap langit-langit kamar. Dia terlihat begitu frustasi. “siapa yang bisa membantuku? Tolong berikan petunjuk.”Niko yang sedari tadi mengintip dari celah pintu, tak tahan untuk menghampiri istrinya, “Sayang.”Echa menoleh–terkejut, “Mas Niko?”Echa menatap Niko dengan memaksakan diri tersenyum, “Mas belum makan, ‘kan? Abis ini Ec
Niko menghiraukan orang yang menyapanya itu, yang tidak lain adalah Tessa.“Aku juga bosan ada di dalam,” ucap Tessa.Niko menjauh saat Tessa hendak duduk di sampingnya.Tessa tersenyum. Senyumannya begitu menggoda, “Kamu belum makan? Gimana kalau kita cari makan di luar?”“Tidak.” Ekspresi Niko begitu datar. “aku sedang menunggu istriku. Pergilah, aku ingin sendiri.”“Hemmm istri? Kamu sangat mencintainya?” tanya Tessa sambil kembali mendekatkan dirinya kepada Niko.“Ya.” Ekspresi Niko yang sedingin es itu justru membuat Tessa semakin tertarik dan penasaran ingin merebut Lelaki itu dari Echa. Ketampanan lelaki itu benar-benar melelehkan hatinya.“Terus bagaimana dengan Echa? Apa dia membalas cintamu? Pasti jawabannya tidak. Kamu tahu sendiri, ‘kan? Dia cuma memanfaatkanmu demi kepentingannya sendiri.” Niko tertawa dalam hati mendengar Tessa berusaha mengadu domba dan meretakkan rumah tangganya. Melihat lelaki itu tak merespon, Tessa kembali memanas-manasinya, “Habis manis sepah di
“Mas?” Echa kesal sekaligus ingin tertawa mendengar candaan Niko. “ngelawak mululu.”‘Aku tidak bercanda, Echa.’ Niko menjawab dalam hati.Di titik ini, ponsel milik Echa berdering. Dia merogohnya dan mendapati Hesti yang menghubunginya.“Ya, Ma?” Echa mengangkat telepon itu. “Echa, kamu ada di mana sih? Pulang! Mama stres, barusan pihak bank menelpon Mama.” Suara Hesti terdengar panik.Echa menarik napasnya dalam-dalam, “Iya, Ma. Echa juga ditelpon. Ini Echa lagi di rumahnya keluarga Marni buat minjem uang, tapi Echa nggak mendapatkan apa-apa.”“Pulang, Echa. Ini masalah serius. Mama nggak kuat, rasanya ingin bunuh diri.”“Iya, Ma. Echa pulang.”“Ingat, ya. Jangan bawa laki-laki sampah itu ke rumah.”“Tapi, Ma–”“Turuti permintaan Mama. Jangan membantah, kita lagi menghadapi situasi yang sangat genting!”“Baik, Ma.” usai telepon terputus, Echa langsung menghembus napas kasar.Echa menatap netra suaminya dalam-dalam. Entah apa yang ingin dia ucapnya–bingung.“Kamu mau ke rumah Mama?”
“Aku mau kamu,” jawab Berry dan seketika Echa melotot. “maksudku aku mau kamu bekerja di perusahaanku, STAR Group. Gajimu aku beri 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan di tempat kerjamu, WARA Corp.”“Adduh baik banget sih kamu, nak Berry. Sekarang malah mau ngasih Echa kerjaan yang gajinya lebih besar,” puji Hesti–girang.Sayangnya Echa tidak sebodoh itu. Dia tahu ini hanya akalan licik Berry agar lebih leluasa mendekatinya dan melakukan aksi bejatnya.“Maaf, Berry. Aku nggak bisa. Aku harus menghargai kontrak kerja yang diberikan WARA Corp kepadaku.” Echa menolak secara halus. “kamu pasti paham, hal ini sangat-sangat tidak etis.”“Echa.” Hesti memberi isyarat kepada Echa dengan mata melotot. Dia takut sikap anaknya itu bisa membuat Berry berubah pikiran.Berry menyimpan rasa kesalnya di hati mendengar Echa masih menolak penawaran sederhananya.“Kamu mau hutang orang tuamu dilunasi, ‘kan?” tanya Berry sambil mengeluarkan kartu bank dan meletakkan di atas meja. “Di dalamnya ada 3 mili