Share

Sebuah Batas

Alleta mengambil gawainya yang bergetar di atas nakas, samping ranjang. Nama Gie tertera di sana, ia sama sekali tidak berniat menjawabnya. Alleta kembali menarik selimut kemudian ia pandangi wajah Ganendra yang ada di sebelahnya.

 

Ganendra laki-laki hebat, ucapnya dalam hati.

 

 

Gawainya kembali bergetar, Alleta masih segan menjawab. Ia hanya membuka pesan whatsaap yang Gie kirimkan.

 

'Sassi pingsan. Sekarang ada di rumah sakit.' 

 

Alleta menarik napas, kesal. Apalagi sekarang? Sepupu satu-satunya itu selalu saja merepotkan.

Alleta bangkit dengan enggan dari ranjang kemudian berpakaian. Ingin sekali ia tidur pulas malam ini. Namun, kenyataannya keadaan belum memungkinkan. 

 

 

Alleta melihat ke arah Ganendra. Laki-laki itu sepertinya sama letihnya dengan dirinya. Ingin sekali Alleta membiarkannya tertidur malam ini. Namun, ia paham bahwa kepantasan atas nama keluarga masih harus diutamakan.

 

"Mas. Mas Ganendra," bisik Alleta pelan sambil mengguncang bahu Ganendra.

 

"Aww ..." jerit Alleta saat Ganendra menariknya kembali ke atas pelukannya.

 

"Kenapa, Al? Kau ingin tidur dalam pelukanku?" ucap Ganendra dengan mata masih terpejam.

 

Alleta tertawa mendengarnya. Sebenarnya malam ini ia tak ingin melepaskan Ganendra sedetikpun.

 

"Kita harus bangun, Mas. Ada hal penting," ucap Alleta.

 

"Hmm ..." jawab Ganendra enggan.

 

"Sassi pingsan, Mas. Sekarang di rumah sakit. Kau harus ke sana."

 

Ganendra melepaskan satu tangannya dari tubuh Alleta kemudian mengusap-usap wajahnya.

 

"Astaga, kenapa lagi sih Sassi itu?" Keluh Ganendra dengan nada kesal.

 

'Benarkan? Istrimu itu memang menyebalkan,' batin Alleta. Namun, ia harus tetap menjadi wanita sempurna di mata Ganendra.

 

"Bersiaplah. Pergi ke rumah sakit lebih dulu. Nanti aku menyusul."

 

Alleta melepas pelukan Ganendra kemudian memberikan laki-laki itu pakaian. Masih dengan perasaan enggan, Ganendra bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

 

Tidak memakan waktu lama, Ganendra telah selesai merapikan diri. 

 

"Kau nggak ingin pergi ke rumah sakit bersamaku?" tanya Ganendra yang kembali menarik tubuh Alleta ke dalam pelukannya. 

 

Bibir Alleta mengerucut. Sambil menatap Ganendra, Alleta melingkarkan tangan ke leher Ganendra, kemudian menggeleng.

 

"Kau lebih dulu saja. Jika kita datang bersama, akan banyak mata yang akan tertuju pada kita nanti. Itu nggak baik," jawab Alleta.

 

Ganendra mengangguk kemudian mencubit gemas dagu Alleta.

 

"Baiklah. Aku pergi duluan," ucap Ganendra yang kemudian melangkah keluar paviliun.

 

Alleta mengambil minuman manis kemasan yang ada di lemari pendingin. Ia perlu glukosa untuk menetralkan perasaan kesalnya yang terganggu malam ini.

 

Biasanya Ganendra tidak pernah pergi jika sudah berada di kamar bersamanya. Laki-laki itu memberi alasan pada Sassi akan tidur di ruang kerja karena banyak hal yang harus diselesaikan. Padahal Ganendra pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua rumah Sassi.

 

Namun, malam ini ia harus mengalah terhadap Sassi. Bukan karena rasa kasihan terhadap wanita itu. Lebih tepatnya karena terlalu banyak keluarga yang berkumpul.

 

Keberadaan mereka saat ini pun sebenarnya meninggalkan rasa was-was dalam hati Alleta. Apakah ada orang yang mengetahui perbuatan mereka ini? Sudahlah. Lebih baik dipikirkan nanti saja, batinnya.

 

Alleta menyempatkan diri mampir ke rumah utama untuk menyapa kedua orang tuanya. Selain itu, perutnya juga terasa amat lapar.

 

"Ya ampun, kasian sekali Sassi, Al. Sepertinya ini terlalu berat baginya. Kau akan ke rumah sakit juga, Alleta?" tanya Cindy.

 

"Ya, Ma. Selesai makan, aku akan ke sana," jawab Alleta.

 

"Papa mana?"

 

"Masih menemani tamu bersama Kianu."

 

"Yasudah, Alleta berangkat dulu ya, Ma," ucap Alleta berpamitan setelah menghabiskan makanannya.

 

"Alleta, tunggu. Bawakan juga makanan ini untuk Ganendra. Oiya, Gie dan juga Abdi sepertinya juga belum sempat makan malam tadi," ucap Cindy yang memberikan beberapa buah paper bag berisi makan  malam.

 

Alleta menerimanya kemudian segera keluar dari rumah menuju mobilnya. Rumah sakit yang ia tuju tidak terlalu jauh dari rumah dan tidak berada di jalur macet. Tidak sampai dua puluh menit, Alleta sudah sampai di rumah sakit.

 

Alleta turun dari mobil dan berjalan menuju UGD seperti yang diperintahkan Gie di pesan W******p-nya. Dari kejauhan, Alleta melihat tiga orang laki-laki yang ia kenal. Ganendra, Gie dan Abdi berada di ruang tunggu UGD.

 

"Ada titipan dari Mama untuk kalian. Makanlah. Kalian juga perlu menjaga kesehatan. Kalau makanan dan airnya kurang, bisa kalian ambil lagi di mobil," ucap Alleta saat memberikan paper bag satu per satu pada mereka.

 

"Bagaimana keadaan Sassi?" tanya Alleta yang berada di depan Gie.

 

"Masih dalam penanganan. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Abdi telah meminta kamar VVIP untuknya," jawab Gie.

 

Alleta mengangguk. Kemudian ia berjalan mendekati ruang UGD. Dari luar ruangan yang dibatasi oleh dinding kaca, Alleta dapat melihat Sassi terbaring lemah.

 

Alleta tersenyum sinis melihat keadaan Sassi. Ia bingung, kenapa perempuan seperti Sassi harus memiliki semua hal yang ia inginkan? Usia mereka sama. Penampilan mereka sama-sama menarik walau gaya busana yang mereka pilih berbeda.

 

Sassi bisa memiliki apa pun yang ia inginkan dengan mudah karena kekayaan yang dimiliki Darma. Sedangkan Alleta? Ia harus bekerja keras untuk dapat meraih segalanya.

 

Alleta masih ingat saat Sassi menolak untuk kuliah padahal nilainya mencukupi untuk masuk ke universitas bergengsi di luar negeri. Kalau masalah uang untuk biaya hidup di luar negeri? Tentu saja Darma akan menyanggupi.

 

Pilihan Sassi saat itu sangat membuat Alleta kesal. Karena ia harus puas berkuliah di universitas swasta di Jakarta.

 

Begitu pula masalah cinta. Sassi tak pernah sedikit pun dekat dengan laki-laki selain Abdi. Saat itu, Alleta berpikir mungkin ia bisa mengalahkan sepupunya dalam soalnya percintaan.

 

Sassi hanya akan menikah dengan anak angkat keluarganya yang tidak memiliki asal usul yang membanggakan.

 

Namun, entah mengapa tiba-tiba Ganendra datang ke rumah Darma untuk melamar Sassi. Ganendra adalah putra tunggal pengusaha terkenal yang tak kalah pamornya dengan Darma. 

 

Muda, tampan dan kaya raya. Itulah kriteria utama yang diterapkan Alleta dalam mencari laki-laki untuk ia perjuangkan. Namun, lagi-lagi Sassi bisa mendapatkannya dengan mudah tanpa harus menjentikan jari sedikit pun.

 

Pikiran Alleta buyar saat melihat beberapa petugas menghampiri Sassi. Ranjang rumah sakit yang ditempati Sassi di dorong oleh seorang perawat laki-laki dibantu oleh beberapa perawat perempuan lainnya.

 

"Sepertinya Sassi mulai dipindahkan ke ruang rawat," ujar Alleta.

 

Ganendra dan yang lainnya telah selesai makan. Mereka bertiga berjalan menghampiri Alleta.

 

"Syukurlah. Berarti keadaannya lebih baik," ucap Ganendra.

 

Ganendra meminta perawat berhenti sebentar kemudian ia menghampiri Sassi. Mata Sassi masih terpejam, wajahnya pucat sekali. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa Sassi mengalami trauma atas kepergian ayahnya.

 

"Cepat pulih, Sayang," ucap Ganendra kemudian mengecup kening Sassi.

 

________________

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status