Udara musim panas pagi itu cukup bersahabat, angin bertiup lembut mengiringi langkah para wisudawan dan tamu undangan menuju hall tempat acara wisuda akan berlangsung.
Tampak seorang tamu undangan muda mengedarkan pandangannya ke sana kemari, meneliti tiap inci halaman universitas Disburg Essen yang luas dengan gedung-gedung perkuliahan yang tinggi nan megah. Mencari seseorang.
Tak lama kemudian, dari arah berlawanan, seorang wanita dengan rambut dicepol rendah dan bawahan kain songket dengan desain kekinian berlarian ke arahnya. Membelah kerumunan orang-orang yang sedang berjalan.
“Sayang!” seru seorang perempuan cantik yang telah mengenakan pakaian wisuda khas universitas Duisburg Essen. Tubuh semampai nan langsingnya menghambur ke dalam pelukan seorang lelaki gagah berambut legam.
Yang dipeluk seketika menegang dan tanpa si perempuan sadar wajah lelakinya itu samar-samar memerah menahan gugup dan gejolak.
Udara musim panas pagi itu cukup bersahabat, angin bertiup lembut mengiringi langkah para wisudawan dan tamu undangan menuju hall tempat acara wisuda akan berlangsung.
Tampak seorang tamu undangan muda mengedarkan pandangannya ke sana kemari, meneliti tiap inci halaman universitas Disburg Essen yang luas dengan gedung-gedung perkuliahan yang tinggi nan megah. Mencari seseorang.
Tak lama kemudian, dari arah berlawanan, seorang wanita dengan rambut dicepol rendah dan bawahan kain songket dengan desain kekinian berlarian ke arahnya. Membelah kerumunan orang-orang yang sedang berjalan. “Sayang!” seru seorang perempuan cantik yang telah mengenakan pakaian wisuda khas universitas Duisburg Essen. Tubuh semampai nan langsingnya menghambur ke dalam pelukan seorang lelaki gagah berambut legam. Yang dipeluk seketika menegang dan tanpa si perempuan sadar wajah lelakinya itu samar-samar memerah menahan gugup dan gejolak di dada. “Lepas, Alma, malu aku diliatin orang-orang!” ujar si lelaki itu yang pagi ini tampak lebih tampan dengan setelan formalnya. Alma mengintip keadaan sekitar dengan ekor matanya, beberapa orang berlalu lalang tanpa memerdulikan mereka. Ia justru sengaja mengeratkan pelukannya pada lelaki itu. Tersenyum centil. Lelaki itu kian salah tingkah, ia mengusap-usap rambutnya yang telah tersisir rapi hingga kembali acak-acakan. Sampai ia menemukan sebuah ide untuk mengecoh kekasihnya itu."Ngomong-ngomong, aku seneng kamu sudah lulus, jadi gak akan ada lagi cewek manja yang rusuh setiap weekend ngajak jalan-jalan,” canda lelaki berkulit sawo matang itu, yang berhasil mengalihkan perhatian si perempuannya hingga akhirnya melepaskan pelukan. “Nyebelin banget! Awas aja, abis ini kita ldr lho!” Alma mundur beberapa langkah, melipat sikunya. Memanyunkan bibir, kesal. “Tenang, aku gak bakal kesepian, cewek-cewek Jerman asik kok buat temen kencan.” Lelaki dengan rambut dibelah tengah khas pria-pria Asia itu berlagak melirik ke salah satu tamu undangan perempuan yang sedang melewati mereka. “Sana kalo berani, pegangan tangan sama aku aja jarang-jarang!” Tantang Alma sembari berkacak pinggang, mendelik ke arah tamu undangan perempuan itu. Namun, tingkah manjanya justru memicu tawa lelaki mahasiswa S-3 fakultas ilmu sosial di univertas yang sama. Seseorang yang baru tiba di halaman hall mendekati keduanya, “Alma, masuk, acara wisuda segera dimulai,” tegur seorang lelaki berkepala empat yang mengenakan setelan jas silver, menampilkan sisi jiwa muda meski dibalut sedikit kerutan di sudut mata. “Eh, Ayah, kebetulan, kenalin ini Damar.” Alma mengenalkan lelakinya. Ayah Alma hanya tersenyum tipis, tanpa mengatakan kalimat perkenalan sedikit pun. Yang dikenalkan seketika menegang, pasalnya Alma telah melanggar peraturan yang mereka buat, untuk tidak saling mengenalkan diri kepada keluarga besar masing-masing sebelum Damar sukses. Latar belakang keluarganya yang tergolong kalangan menengah ke bawah, membuatnya sedikit merasa rendah diri, sehingga sangat memperhitungkan untuk segera berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Terlebih, bapak Pramusito, seorang pebisnis paling tersohor di Surabaya itu menatap dengan tidak bersahabat, membuat Damar semakin merasa ciut.“Hanya Alma yang berani mengenalkan seorang lelaki kepada saya, kakak-kakaknya justru saya sendiri yang mencarikan jodoh.” Kalimat dari ayah tiga anak itu lebih terasa seperti ancaman bagi Damar. Terlebih tatapannya justru terarah ke gedung megah beraksitektur klasik di hadapan mereka, bukannya ke arah Damar. Seolah-olah itu sendirian halus tentang betapa jauhnya perbedaan kasta antara mereka. “Itu artinya Alma anak Ayah yang paling cakep, karena cepet laku!” seru Alma mencairkan suasana.Sang ayah lantas mendaratkan usapan lembut pada ubun-ubun putri bungsunya. “Ayah tunggu di dalam, cepat!"
Alma mengedipkan satu matanya kepada sang ayah dan lelaki konglomerat itu pun balik kanan, melangkah pergi hingga punggungnya hilang di balik pintu auditorium nan megah. Alma pun menggamit lengan Damar, yang lebih terlihat seperti menyeret bocah kecil masuk ke ruang hall. Melalui pintu setinggi langit, Alma dan Damar masuk ke ruang wisuda yang telah dipadati orang-orang. Terdengar pula instrumen yang mengalun merdu, mengawal para tamu undangan yang masuk.Alma berdecak kagum pada interior gedung itu, megah dengan nuansa warna merah dan gold pada tiap sudutnya. Kursi-kursi wisudawan, tamu undangan, hingga panggung wisudan di desain bagaikan kerajaan kecil yang mengagumkan.
Jerman memang juaranya kastil impian, bahkan Disneyland pun terinspirasi dari salah satu kastil yang ada di Jerman. “Mending pulang aja deh, ayah kamu mengintimidasi banget.” Damar justru merasa tak nyaman berada di sana. Alma menghela napas sebal, “insecure banget, sih! pd aja.” Senyum gadis itu terbit meyakinkan Damar, “justru ini kesempatan kamu mengenalkan diri ke ayah.” Damar masih bungkam, menimbang-nimbang. “Kelamaan mikir, kalo kamu gak mau nemuin ayah lagi, aku cium nih!” Alma sedikit berjinjit memonyongkan bibir. Damar sontak membekap bibir perempuan yang telah jadi pacarnya sejak lima tahun lalu itu. “Gak usah macem-macem deh, entar lipstik kamu luntur.” Alma melepas paksa tangan Damar dari bibirnya, lantas nyengir lebar karena berhasil mengerjai pacarnya yang menurutnya aneh, karena sejak awal pacaran selalu menjaga jarak untuk meminimalsir kontak fisik. Bahkan bergandengan tangan saat jalan bersama pun jarang Damar lakukan. Sebenarnya ia cukup kecewa, dengan berpacaran ia berharap bisa mendapatkan perlakuan-perlakuan mesra nan manis, ternyata tidak. Namun tidak ada pilihan lain selain menghormati keputusan pasangannya. Keduanya pun meneruskan langkah, mencari kursi kosong untuk di duduki, Alma sengaja mengaitkan jari kelingkingnya ke salah satu jari milik Damar. Kali ini tangan kekar itu tak mengelak diajak bergandengan. Samar-samar ia merasakan keringat dingin membasahi telapak tangan Damar, gugup karena akan bertemu sang calon mertua. Alma duduk di kursi peserta wisuda, yang berada di sayap kanan gedung, sedangkan Damar beberapa kali mengusap wajahnya dengan resah, karena merasa sial hanya menemukan kursi kosong tepat di sisi sang konglomerat tersohor, Pramusito. Baru saja Damar mendaratkan dirinya di kursi itu. “Putriku memiliki segalanya, kasih sayang, hidup berkecukupan, lantas apa yang dia lihat darimu?” Paramusito bersuara tanpa menoleh sedikitpun ke arah Damar, tatapannya lurus ke depan terkesan tajam. Damar yang mendengarnya seketika menegang dan tercekat. Awalnya ia hendak menjawab saya memberinya kenyamanan dan cinta, tapi setengah hatinya mengejek jawaban remeh itu, belum lagi kenyataannya keluarga Pramusito hanya mengukur potensi seseorang dari latar belakang ekonominya. Tentu jelas, jawaban semacam itu hanya akan jadi nilai buruk bagi Damar. “Ekhem.” Damar tersedak angan-angannya sendiri, “mungkin, Alma melihat potensi dalam diri saya yang bisa membuatnya bahagia di masa depan jika bersama saya.” Akhirnya sebuah jawaban diplomatis keluar dari mulutnya. Pramusito menyungging senyum dengan satu sudut bibirnya, lebih terlihat seperti menertawai lelucon yang garing. Sebuah musik instrumental mengalun merdu mengisi atmosfer hall wisuda, lalu dari pintu masuk di bagian kiri gedung para dewan petinggi universitas berjalan masuk. Dengan jubah hitam yang berkelebat dan ketukan sepatu pantofel menggema dari lantai, menambah kesan dramatis dan elegan. Membuat para tamu undangan berdecak kagum. Lain halnya dengan Damar, ia mengembuskan napas lega, itu artinya acara wisuda akan segera dimulai dan sang calon mertua akan fokus pada podium di depan sana daripada mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam yang menyebalkan.***
Matahari senja bersinar lembut, bias cahayanya menerawang dari balik kanopi pepohonan. Alma sengaja mengayunkan tangannya hingga menyentuh pucuk-pucuk bunga Daisy putih yang tengah bermekaran. Suasana hangatnya musim panas yang dipadukan keindahan taman kota Duisburg begitu serasi.
“Setelah pulang ke Indonesia aku pasti kangen banget sama suasana di sini,” ujar Alma yang berjalan di sisi Damar. Beberapa orang tampak berpapasan dengan keduanya, menikmati udara sore yang menyenangkan seperti mereka. “Sesekali kamu bisa liburan ke sini, kan?” sahut Damar ikut-ikutan menjulurkan tangan menyentuh pucuk-pucuk bunga yang berbaris rapi di tepi jalanan taman. “Gampang, aku ke sini musim dingin nanti ya, asalkan disuguhi kehangatan.” Alma bergelayut manja di pundak Damar, jemari lentiknya sengaja menyentuh pundak sang kekasih lalu merosot turun menyentuh dada dengan gerakan pelan tapi dibuat seintim mungkin. Tanpa Alma sadari, lagi-lagi wajah kekasihnya tampak samar-samar memerah menahan sebuah gejolak di dada.“Hmm,” sahut Damar singkat yang justru sibuk memperhatikan burung-burung berterbangan ke sana kemari berlatar saputan awan berwarna jingga, mengalihkan perhatian. Menyadari kode yang ia berikan tak mampu menyentil barang sesenti sisi kelelakian sang kekasih, Alma pun menjauhkan diri. Memberut kesal. Keduanya pun melanjutkan langkah, berjauhan. Namun lagi-lagi Alma bersuara “Btw, kamu gak ngasih aku hadiah kelulusan?” “Tadi kan udah, buket coklat.” Damar menatap Alma sekilas.“Kamu kan pacar masa gak ngasih yang istimewa, sih!” Damar menghentikan langkahnya. “Terus apa?” Memetik setangkai bunga Daisy lalu menghadap ke arah kekasihnya, menyematkan bunga kecil nan cantik itu ke sela-sela daun telinga Alam. Alma tersipu menangkupkan tangan ke wajahnya yang tersenyum-senyum salah tingkah. “Ehem.” Seseorang berdehem, memeringati keduanya untuk menyingkir dari tengah jalan. Giliran Damar yang salah tingkah, bergegas ia raih tangan Alma, mengajaknya beralih ke sebuah bangku kayu panjang di dekat mereka. Duduk bersisian, ditemani semilir angin yang menguarkan wangi Dahlia yang tertanam di sekitar bangku tersebut. “Hem....” Alma mencondongkan tubuh ke arah Damar sembari mengerucutkan bibirnya dengan sok menggemaskan. “Kenapa? Bibir kamu gatel?” Damar menarik bahunya menjauhi Alma. “Tau deh! Hubungan udah setengah dekade masih anyep-anyep aja!” Alma menggeser duduknya hingga ke ujung bangku, melipat tangan di dada. Memberengut lagi. Damar tersenyum kecil, mulai mengerti apa yang Alma damba, meraih bahu kekasihnya dengan lembut, dan menarik titik pandangannya. “Kalo cuma ngasih kaya begituan doang aku bisa, kapanpun kamu mau—““Kapan kamu ngasih? Gak pernah tuh!” Alma menatap manik mata hitam milik Damar yang terasa begitu dalam. “Tuh kan, kebiasaan buruk, orang lagi ngomong, kasih waktu sampe kalimatnya selesai.”Alma memberut, lantas tertunduk memainkan jemari tangannya yang kini saling bertaut. “Siapa sih, laki-laki yang gak tertarik liat pesona kamu?” Damar menyelipkan anak rambut Alma yang pirang ke belakang telinga. “Cuma aku gak bisa jadi laki-laki yang menikmati pesona kamu tapi belum sanggup bahagiain kamu seperti ayah dan keluargamu ngebahagiain kamu.”Alma membuang pandangan, menatap lalu lalang orang di taman. Ada rasa haru menyeruak dalam dadanya yang disertai sesak. “Kamu pasti bisa memahami itu.” Sekali lagi, Damar meyakinkan kekasihnya dengan tatapan lembut. “Huum.” “Yuk, jalan-jalan ke mana pun kamu mau, kita hunting kuliner sebanyak-banyaknya, biar pipi kamu tambah chubby!” Damar mencubit gemas pipi bundar milik Alma yang kemerahan bak delima. Lantas menggamit jemari kekasihnya yang berseru kesal. “Aaa! Gak suka deh dicubit-cubit pipinya, kek anak kecil tau!” seru Alma kesal, meski ia sebenarnya senang mendapatkan perlakuan manis dari Damar yang itu-itu saja. Namun dalam benak, Alma tengah merencanakan sesuatu untuk mengajari Damar cara menyenangkan dirinya sebagai pacar.Angin berembus lumayan kencang di luar sana, dari balik jendela kaca, Damar mengamati ranting-ranting pohon saling bergesekan dan menggugurkan bebungaannya. Lelaki bercambang yang selalu dicukur bersih itu menoleh ke belakang, mengamati Alma yang sejak kepulangan mereka dari jalan-jalan sore tadi tertidur pulas di ranjangnya. Alma berjanji hanya akan tidur 30 menit saja, tetapi sampai jam 10 malam begini Alma masih susah dibangunkan. Damar mulai gelisah, ia tak ingin Alma menginap di flatnya jika hanya berduaan saja seperti ini. Perlahan Damar menuju ranjangnya, ia menyugar rambutnya dengan resah, lalu mencoba membangunkan Alma sekali lagi. “Al, pulang udah malem.” Damar mengusap-usap pelan pundak Alma yang tersembunyi di balik selimut. “Gak mau….” Alma menggulung dirinya di dalam selimut, masih dengan mata terpejam. “Al—“ “Kenapa sih, gak akan ada tetangga yang negur aku tidur bareng kamu kok….” Satu tang
Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 26 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Kevmana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.Selesai mandi pikirannya masih berantakan, ta
Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!”Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.“Nama kamu siapa, sih?”“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.“Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!”Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat
Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.“Ayah ...,” panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.“Ya?” Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.“Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong.” Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.“Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting.”Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.“Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?” Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.“Minta beli vitamin.”“Nanti Mas anter ke apotek, se
Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang."Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag at
Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar. Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan. Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah. Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran? Selesai membersihkan diri dan mengenakan dr
Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi."Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik."Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.Satu per satu
"Kamu cantik banget Alma malam ini." Damar tersenyum tipis mengisyaratkan sesuatu yang tak Alma mengerti.Alma mengeryit, menelisik tiap inchi wajah kekasihnya. Ia mendapati mata lelaki itu sesekali curi pandang ke arah dadanya yang terekspos. Memang ia baru pulang dari kantor dan seketika Damar mengajaknya melakukan panggilan Video, tanpa sempat Alma mengganti baju tanpa lengannya yang bekerung leher V yang tadi ia balut dengan blezer nude."Aku kangen kamu, kangen kita...." Suara damar menghilang seraya tangannya mengusap-usap wajahnya frustasi."Kangen?" Alma merasa ada hal lebih yang Damar rindukan, terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Bahkan ia merasa ganjil mendengar Damar mengatakan 'kangen' karena itu bukan kebiasaannya.Lagi, Damar mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Aku lagi banyak pikiran aja, jadi ngawur ngomongnya, sorry.”"Oke besok aku terbang ke Jerman, ya?""Ga perlu, mending kamu
Pagi yang kelabu, mendung menghias langit, tampak jelas dari jendela kaca besar di apartemen Damar. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan baju kantornya. Berdiri menatap kota kelahiran ditemani secangkir kopi dalam genggaman.Damar menerawang jauh, memikirkan keadaan Alma. Rasa bersalah, kembali muncul dalam benaknya. Menimbulkan pedih yang tak terperi. Belum lagi gejolak cemburu yang diam-diam menguasai hati, panas menyulut dadanya. Semua perasaan itu berkecamuk membuatnya tak keruan pagi ini.Sejenak, lelaki berpotongan rambut curtain haircut itu menarik napas sedalam-dalamnya. “Aku harus jenguk Alma dan mungkin ini yang terakhir kalinya, dia sudah menemukan lelaki baik menurut definisi keluarganya, kaya, seorang eksekutif, tampan dan kelihatannya baik. Tidak ada lagi alasan untuk kami melanjutkan hubungan.” Damar berusaha meneguhkan hatinya.Damar pun bergegas keluar apartemen menuju rumah sakit dengan mobil yang dipinjamkan perusahaan tem
Alma yang masih syok saat hampir terjatuh belum menyadari siapa penolongnya yang kini justru tanpa permisi memeluknya. Alma tertegun. Hampir saja Alma mendorong sosok yang lancang memeluknya, tetapi sosok itu lebih dulu bersuara. “Alma,” ujar sosok itu dengan suara parau. Alma yang tak asing dengan si pemilik suara seketika tercekat. “Da—mar?” “Maaf, aku bukan laki-laki yang bertanggung jawab.” Alma mencelos. Ia justru kebingungan dengan sikap Damar. “Seharusnya kamu bilang secepatnya buat kita putus, biar hubungan ini gak ganggu rumah tangga kamu.” Alma melepas rengkuhan Damar. Menggeleng pelan, tangannya yang ditusuk infus perlahan terangkat, menghapus rintik air mata di wajah Damar. Hangat rasanya tapi menyesakkan. “Gak ada yang perlu diakhiri dari hubungan kita, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Alma dengan nanar. Air mata Damar mengalir lebi
Pukul tujuh malam, Yogi baru saja pulang dari kantor. Alma kebingungan harus memasang sikap bagaimana, marah? Melanjutkan drama queen-ku? Tapi bagaimana jika Damar menceritakan hubungan kami yang belum putus? Bisa-bisa aku yang dituntut balik oleh Yogi. Batin Alma cemas, ia tak henti menggigit-gigit bibirnya frustrasi. Saking frustrasinya tiba-tiba perutnya terasa kram, bertepatan dengan Yogi masuk kamar dan melihat Alma yang kesakitan bergegas membopong istrinya keluar rumah. Masuk ke mobil dan menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Alma di sisinya hanya bisa mengerang menahan sakit. “Tahan ya Sayang, kamu dan anak kita pasti baik-baik aja.” Satu tangan Yogi menggenggam tangan Alma yang berkeringat dingin dan mulai melemah. Namun, Alma justru membuang muka kesal, sembari terus menggigiti bibirnya, menahan dua sumber rasa sakit sekaligus, hatinya dan kandungannya. Di
“Loh, saya gak pesan dimsum ini.” Yogi terheran-heran bahkan jam makan siang belum tiba, tapi sekotak dimsum datang tanpa ia pesan, diantar kurir. “Dari Bu Alma, Pak,” kata kurirnya melihat nama si pengirim melalui aplikasi pemesan makanan.Yogi lantas semringah. Istri hamil perasaannya kaya rollercoaster, kah? Marah-marah terus perhatian, padahal masalah yang kemarin belum sempat dijelasin sama sekali, batin Yogi terheran-heran sekaligus senang. “Ya sudah, tolong taruh di meja dekat sofa saja. Terima kasih,” tukas Yogi, lalu kurir tersebut berpamitan. Yogi lekas beranjak dari duduknya, membereskan beberapa berkas yang sedang digarapnya, mematikan laptop lantas beralih ke sofa. Tanpa merasa perlu menunggu jam makan siang, Yogi menyantap dimsum kiriman istrinya. Sejenak sebelum menyuap ia hidu aroma gurih perpaduan antara nori dan daging cincang yang terbungkus itu. Tak butuh waktu lama, Yogi dengan
‘Tes, ini anting Lo?’ Alma mengirimi pesan singkat pada Tesa. Jarinya memilin-milin sebuah anting berlian yang tersangkut di jas Yogi. Tesa membalas dengan emot tersenyum malu-malu. 'Lo emang bisa diandelin.’ Alma mengamati kembali anting-anting itu. ‘Eh, kalo suami lo jatuh cinta beneran sama gue gimana?’ Alma mengirim emot tertawa dengan air mata. “Berarti lo dapet rejeki nomplok, liburan ke Eropa sekalian honeymoon entar sama Yogi.” ‘Parah, yang penting lo ga nyesel sih.’ Alma tertegun mendapat balasan semacam itu dari Tesa. Perlahan ia meraba-raba isi hatinya, adakah bibit-bibit penyesalan akan semua hal yang sedang ia rencanakan? Sepertinya tidak ada. Ia tersenyum pongah, menutupi kekhawatiran dalam relung paling dalam, penyesalan pasti ada nantinya entah menyesal karena melepas orang yang tepat atau dalam aspek lainnya. Alma kemudian menjelaskan pada dirinya lagi, sudah di tengah jalan rencana tida
Keesokan siang Tesa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mengajak Yogi makan siang dengan dalih Alma akan ikut makan siang. Ternyata setelah Yogi datang Tesa mengabarkan bahwa Alma tiba-tiba ada meeting dengan klien. Berakhirlah mereka makan hanya berdua saja.“Saya balik ke kantor saja, gak enak berdua sama orang asing.” Yogi beranjak dari kursinya.Tesa kelabakan, bingung hendak mencegah dengan alasan apa.Beruntung, seorang pelayan membawa makanan pesanan mereka. Yogi masih tetap tidak perduli, wajahnya justru kian membeku.Tesa berseru riang dalam batin, ia menemukan ide. “Mas Yogi, Mas!” panggilnya dengan suara lantang. Ia tak perduli orang-orang di sekitar menatapnya risih.Yogi menghentikan langkah, ia menoleh dengan enggan.Tesa meraih pergelangan tangan Yogi. “Maaf Mas, dompetku ternyata ketinggalan di rumah, bisa tolong temenin aku makan, besok gantian
Tesa dan Alma berpelukan erat, kawan lama yang sudah saling melupakan. Namun, selama bisa saling mutualisme kenapa tidak ingat? Batin Alma.Sebagai model, Tesa perlu jaringan orang-orang high class seperti Alma. Pemilik perusahaan yang barangkali memerlukan jasannya. Setidaknya mengenalkan diri lebih dulu. Alma memahami itu dan ia takkan sungkan memberikan apa saja yang Tesa inginkan dari dirinya selama bisa diajak bekerja sama.Setengah jam awal keduanya berbincang tentang masa remaja mereka dulu, kemudian beralih ke perbincangan bisnis dan sebagainya. Hingga diujung percakapan, Alma menawarkan idenya.“Nih, fotonya, kalo lo minat gue kenalin.”“Gila, suami sendiri ditawar-tawarin.”Alma tertawa keras hingga beberapa orang menatapnya sebal. “Ya, mau gimana lagi, gak cinta.”“Ada-ada aja lu!”“Serius Tes, oke, gini aja, kalo lo mau bantuin
Pagi harinya, Yogi menyapa Alma yang baru saja bangun. "Pagi calon, Mama." Dengan senyum merekah. Alma tercenung. "Gak ngambek?" "Ngambek sih, semalem, tapi orang jatuh cinta beneran mana bisa ngambek lama-lama?" Yogi justru menggoda Alma dengan kerlingan jahil. Alma bergidik geli lantas menyibak selimut dan berlari menuju kamar mandi. "Pertama ketemu aja kaya papan catur, lempeng banget, kenapa sekarang pinter gombal sih?" Gerutuan Alma disambut tawa riang dari Yogi di luar kamar mandi, "aku denger kamu ngomong apa, Sayang!" "Apaan, sih?" Alma mendengkus kesal sekaligus jengah. "Serius, aku makin jatuh cinta sama kamu setelah kita nikah!" seru Yogi yang memantik kejengahan Alma dan perempuan itu buru-buru menghidupkan shower, mengalihkan percakapan gila itu. Dalam guyuran shower Alma resah memikirkan pernyataan Yogi, ia merasa perlu menemukan cara yang lebih jitu untuk merusak ru
Hujan turun begitu derasnya, dari jendela kamar Alma yang terlapisi gorden luxury tampak kilatan-kilatan petir menyambar di luar sana. Suara gemuruhnya pun menggelegar, membuat si empu kamar yang kesepian bergidik ngeri. Alma pun mencoba menghubungi Damar lewat panggilan video untuk mengalihkan rasa takutnya yang tengah sendirian dengan kondisi hujan badai. "Hai, Sayang," sapa Alma antusias ketika panggilannya telah diterima Damar. "Hai, Al,” sapa Damar singkat dengan pipi menggelembung. "Ih, suara kamu kaya orang lagi kumur-kumur! Ngapain, sih?" seru Alma, tawanya menyebur. Damar terkekeh, “aku lagi makan, nih abis masak ayam semur!" "Enak kayanya deh, mau dong...," rengek Alma. "Udah habis, ini suapan terakhir." Damar memasukkan suapan terakhirnya. Alma seketika memberengut, yang ditanggapi tawa oleh Damar. Sesaat hening, Damar menyelesaikan kunyahannya, sedangka