Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.
Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!”
Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.
Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.
“Nama kamu siapa, sih?”
“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.
“Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!”
Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat duduk.
Kali ini Alma benar-benar marah, hingga kehilangan nafsu mengomelnya. Suasana kabin mobil pun hening, hanya deru mesin yang terdengar pelan serta aroma parfum Yogi yang terus menguasai penciuman Alma. Sampai-sampai gadis itu harus memencet hidungnya agar tidak terkontaminasi parfum maskulin dengan aroma leather itu meski lambat laun ia justru mulai nyaman dengan aromanya yang menyegarkan dan menenangkan.
Mobil yang ditumpangi Alma terus membelah jalanan kota Surabaya yang padat di jam makan siang seperti ini.
“Eh, ini bukan jalan ke rumah Pak supir!” seru Alma panik. Setelah menyadari arah jalannya bukan menuju rumahnya.
Lelaki di sisinya bergeming, tetap fokus pada jalanan di depan. Seolah tidak menganggap kehadiran Alma di sisinya.
Ia meraih ponsel di tas jinjingnya, menelpon seseorang. “Mas Rudi, kenapa bukan mas aja sih yang jemput aku?” rengeknya kesal.
“Mas sih niatnya gitu tapi kata ayah udah ada yang jemput.”
“Tau gak Mas? Ini sopir baru belagu banget sih, aku mau pulang malah dibawa entah ke mana!”
“Ssstt, dia bukan sopir Alma, udah kamu tenang dulu nanti kami bakal tau, ini semua kemauan ayah.” Rudi kakak tertua Alma Pramusito berusaha menenangkan adik bungsunya.
Alma mendengkus kesal, mematikan sambungan telepon, lantas menghempaskan punggungnya ke jok mobil.
Beberapa saat terdiam gadis itu baru teringat belum mengabari Damar. Ia buka kolom chat dan menyapa kekasihnya itu yang segera mendapatkan balasan dari Damar.
'Jangan lupa minum pil kontrasepsi darurat.’ Sebuah pesan pendek yang seketika mengubah mood Alma yang semula mulai membaik menjadi buruk lagi.
Gadis bermata almond itu pun menatap nanar ke arah perutnya, refleks tangannya mengelus benih-benih Damar yang tertanam di sana. Ada rasa tak tega meluruhkan calon jabang bayi itu, meskipun ia belum tahu betul apakah terjadi pembuahan atau tidak.
Notifikasi muncul lagi di ponsel Alma, dari Damar yang begitu memohon-mohon agar Alma menyetujuinya. Meskipun Alma belum menolak ide tersebut tetapi dirinya masih diliputi keraguan.
“Aku mau mampir ke apotek!” tukas Alma akhirnya, pada Yogi.
“Nanti,” ujar Yogi serius.
Alma mendengkus kesal, “Sopir tukang ngatur!” gerutunya.
***
“Bangun.” Yogi mengguncang pelan bahu Alma.
Alma mengerjap-ngerjap, merengek sebal, merasa terganggu. Ternyata tanpa sadar ia terlelap selama perjalanan tadi.
“Turun!” tukas Yogi sambil berjalan meninggalkan Alma.
Alma seketika membelalak kepada Yogi. “Supir bawel!” Sembari meraih pounch make up-nya, Alma menggerutu, “sana turun duluan, aku mau touch up !”
Yogi terus berjalan tanpa memedulikan gadis itu.
“Awas aja, nanti aku pecat dia di depan ayah!” gerutu Alma sembari menaburkan cusshion di wajah putihnya.
“Sopir belagu!” Alma melirik Yogi yang telah berdiri di ambang pintu restauran, sebelum membubuhkan maskara. “Ngeselin!”
Jetlag dan jalanan Surabaya yang padat merayap membuatnya makin kelelahan, dan make up lah penolongnya agar tetap tampil segar. Setelah merasa cukup touch up ia pun turun dari mobil. Berjalan mendahului Yogi yang masih berdiri di ambang pintu menungguinya.
Pintu kaca gedung megah itu terbuka otomatis, menampakkan isinya yang ternyata adalah meeting room sekaligus restauran bintang lima.
Tak jauh dari pintu masuk Alma langsung mendapati ayahnya sedang duduk bersama seorang perempuan dan seorang lelaki sesuai ayahnya.
“Ayah! Aku capek—“ protes Alma seketika sampai di dekat ayahnya.
“Duduk.” Perintah Pramusito memotong protes putri bungsunya yang langsung disambut wajah cemberut Alma. Namun dengan enggan akhirnya Alma duduk diikuti Yogi.
Alma mengernyit. “Sopir, ngapain duduk di situ!”
Yogi sedikit tersentak, tapi wajahnya kembali berubah netral dan dingin, seolah-olah gerutuan Alma sedari tadi tidak mempengaruhi emosinya.
“Haha.” Tawa pecah dari kolega ayahnya Alma, mengalihkan perhatian Alma, membuatnya semakin keheranan.
“Maafkan putriku Arlan—“ Pramusito menghela napas berat, menahan malu akan ucapan Alma.
“Tidak apa-apa, justru maafkan anakku Yogi, dia tidak berhasil mengajak Alma kenalan dengan baik, haha, jadi wajar saja putrimu mengira anakku sebagai sopir suruhanmu.”
Yogi hanya mengusap tengkuknya, salah tingkah. Namun sesaat kemudian wajahnya kembali tampak kaku seperti sedia kala.
Sedangkan Alma dengan muka memerah tertunduk malu, “emm, Ayah, Alma pulang, ya? Jatlag, butuh istirahat, nih,” dalihnya agar bisa kabur dari situasi menyebalkan itu.
Ayahnya hanya melempar tatapan tegas. Tidak memberi izin.
“Tidak apa-apa wajar pertama kali bertemu memang malu-malu, Pram.” Arlan menengahi.
“Benar Arlan, tapi setidaknya putriku bisa bersikap lebih sopan lagi, aku sungguh merasa bersalah.”
“Tidak apa-apa Pak Pram, justru ini bisa jadi secuil cerita menggemaskan untuk anak cucu mereka nantinya.” Nyoya Arlan, ibu dari Yogi menyahut dengan begitu ramah. Namun perkataanya barusan bagai petir di siang bolong bagi Alma, ia lantas mendongak, menatap wajah perempuan paruh baya yang masih cantik berkat perawatan di klinik kecantikan mahal itu, meminta penjelasan. “Oh iya, Alma, kenalkan, ini Yogi, putra kami, dia memang kadang sedikit kaku, tapi tadi dia baik kan sama kamu?”
Alma tersenyum canggung, kemudian membuang pandangan ke sembarang arah, kesal. Baik apanya? Dia pandai bikin orang darah tinggi, tau! Batinnya menghakimi.
“Baiklah, silahkan Yogi, Alma, pesan makanan, kalian pasti lelah telah menempuh perjalanan lumayan jauh.”
“Baik, Om.” Lantas Yogi sigap melambaikan tangan kepada seorang pelayan yang tengah lewat di sekitar mereka.
Mereka memesan makanan, Alma yang kesal dengan lahap menghabiskan isi piringnya. Berkat perasaan dongkol ia butuh pengalihan, entah dengan cara apapun termasuk makan, selalu begitu kebiasaannya.
Acara makan bersama selesai, Alma berharap ia bisa segera pulang, ternyata pertemuan itu belum sampai pada inti tujuan pertemuan.
“Alangkah leganya ketika aku bisa menyandingkan Alma dengan Yogi, dengan begitu aku tidak perlu khawatir ketika menyerahkan jatah perusahaan yang diwariskan untuk Alma sebab ada Yogi yang siap membimbing.”
Alma melotot pada ayahnya, sedangkan alisnya mengkerut seolah jadi satu. Heran dan kesal, bukannya ayah tahu jika aku sudah punya pacar?
Alma meraih gelasnya, tersisa sedikit orange jus di sana ia pun menyedot semua isinya. Meninggalkan bongkahan es batu yang masih ia sedot saja sehingga menimbulkan bunyi ‘sssrrreeep, ssssrrreepp’ perpaduan udara dari rongga sedotan yang menarik udara dari dalam gelas karena airnya telah tandas.
“Tentu, Pram, Yogi telah aku didik sebaik mungkin agar ia jadi orang yang bisa diandalkan,” balas Arlan diiringi kekehan pelan. Tampak jelas kalimatnya mengunggul-unggulkan dirinya.
Sedangkan Yogi hanya tersenyum takzim.
Alma menatap malas, mencebik. Sejurus kemudian ia mengaduk-aduk es batu dalam gelasnya, menimbulkan bunyi berisik.
Hal itu langsung disambut delikan galak dari ayahnya. Namun Alma kali ini benar-benar membatu, ia tak perduli terus mengaduk-aduk sisa es batu itu dan sesekali menyeruputnya membuat suara makin berisik.
Merasa sungkan berlama-lama akhirnya Pramusito mengalah dengan putrinya, ia menyudahi perbincangan itu. “Setidaknya Yogi dan Alma sudah bertemu, mungkin perlu satu dua pertemuan lagi agar mereka lebih akrab, Arlan.” Ia menepuk bahu kolega bisnisnya yang sedari tadi ramah tawa.
Alma tersenyum tipis saat berpamitan, hanya pada Arlan dan istrinya, ia mengabaikan Yogi yang juga tak bersimpati padanya.
Alma mengekor ayahnya keluar dari meeting room restauran itu. “Kamu itu calon penerus perusahaan Ayahh, tapi masih saja sikapmu kekanak-kanakan.”
Alma tak memedulikan nasihat itu justru berjalan mendahului ayahnya. Masuk ke mobil dan menutup pintunya dengan keras hingga berdebam.
Pramusito hanya bisa menggeleng, mengalah pada sikap putri bungsunya. Perasaannya sebagai single parent sejak Alma usia dini membuatnya menyadari perannya bukan hanya sebagai ayah yang kadang harus tegas tetapi juga perlu sesekali lunak untuk mengerti perasaan putrinya.
Lelaki usia 50 tahunan itu masuk ke mobil yang tadi digunakan Yogi menjemput Alma. Ia menyalakan mesin mobil, menarik parsneling dan mobil pun melaju keluar halaman restauran. Membelah jalanan kota Surabaya yang disirami cahaya senja.
Suasana kabin mobil hening, hingga lima belas menit kemudian sampai di rumah tetap tidak ada percakapan antara mereka berdua.
Namun batin Alma riuh, benarkah Yogi dan aku akan dijodohkan? Aku gak mau! Aku harus cari cara menggagalkannya! Gak ada yang bisa misahin aku sama Damar!
Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.“Ayah ...,” panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.“Ya?” Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.“Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong.” Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.“Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting.”Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.“Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?” Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.“Minta beli vitamin.”“Nanti Mas anter ke apotek, se
Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang."Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag at
Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar. Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan. Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah. Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran? Selesai membersihkan diri dan mengenakan dr
Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi."Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik."Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.Satu per satu
"Kamu cantik banget Alma malam ini." Damar tersenyum tipis mengisyaratkan sesuatu yang tak Alma mengerti.Alma mengeryit, menelisik tiap inchi wajah kekasihnya. Ia mendapati mata lelaki itu sesekali curi pandang ke arah dadanya yang terekspos. Memang ia baru pulang dari kantor dan seketika Damar mengajaknya melakukan panggilan Video, tanpa sempat Alma mengganti baju tanpa lengannya yang bekerung leher V yang tadi ia balut dengan blezer nude."Aku kangen kamu, kangen kita...." Suara damar menghilang seraya tangannya mengusap-usap wajahnya frustasi."Kangen?" Alma merasa ada hal lebih yang Damar rindukan, terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Bahkan ia merasa ganjil mendengar Damar mengatakan 'kangen' karena itu bukan kebiasaannya.Lagi, Damar mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Aku lagi banyak pikiran aja, jadi ngawur ngomongnya, sorry.”"Oke besok aku terbang ke Jerman, ya?""Ga perlu, mending kamu
"Sebentar aku beli tespeck." Damar bergegas pergi. “Sama obat masuk angin, tunggu.” “Gak perlu Damar. Nanti aku bakal sembuh dengan sendirinya....” Alma tak dapat mencegah Damar yang telah bergegas keluar dari flatnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah sekaligus cemas menunggu Damar pulang. Seperempat jam menunggu, akhirnya pintu flat terdorong dari luar. Suara deritnya mengagetkan Alma. Ia langsung menghampiri Damar seraya memohon dengan bergelayut di lengan Damar, “gak usah tes ya, aku yakin gak hamil, kok.” Damar tetap pada pendiriannya, “Cuma tes Alma, untuk meyakinkan aja.” Lalu menuntun Alma menuju kamar mandi. Mau tak mau Alma pun masuk ke kamar mandi. Hingga Detik-detik mendebarkan tiba, Alma menatap lurus tespeck yang baru saja ia angkat dari pump berisi air seni. Hormon HCL mulai terdeteksi, dengan adanya warna merah yang muncul dari bagian steril tespeck. Awalnya membentuk satu garis merah, Alma menghela napas lega, tetapi b
“Selamat tidur, Sayang.” Alma bergelayut manja. Keduanya mendinginkan kepala di atas ranjang ini. Bertukar cumbu. Damar tersenyum seraya mengatupkan kelopak matanya. Tak butuh waktu lama, dengan hati lega dan fisik yang memang lelah, ia tertidur pulas. Berbeda dengan Alma yang merasakan kembali serangan kram di perutnya. Sakitnya memang tak seberapa tetapi betah hingga berjam-jam kemudian. Ia hanya meringis menahan lara, resah tidur berguling ke sana kemari. Sampai ponselnya yang diletakkan di nakas berdering. Membuat Alma berdecih kesal, dini hari sudah ada yang berani menelponnya. Alma merayap, meraih benda pipih itu. Dengan duduk selonjor di lantai ia melihat siapa si penelepon. “Yogi?” Lirihnya heran. Maka dengan sekuat tenaga ia bangkit, mencari tempat aman agar tak mengganggu tidurnya Damar, terlebih ini adalah Yogi, ia tak mau membuat kekasihnya itu cemburu, apalagi sampai tahu bahwa ia tengah di jodohkan dengan orang lain. 
Pagi harinya, di sinilah Damar dan Alma sekarang. Klinik aborsi legal, dengan hati enggan Alma menunggu antrian pemeriksaan. “Mrs Alma.” Seorang perawat memanggil dari ruang periksa. Alma melirik kepada Damar, tatapan keduanya bertemu. Alma langsung membuang muka, menyembunyikan tatapan gelisahnya. “Ga perlu cemas, klinik ini terpercaya.” Damar menyelipkan anak rambut ke balik telinga Alma. “Aku mau aborsi mandiri, boleh?” usulnya. Damar mengernyit. “Kenapa?” “Ada panggilan kerja mendadak, sore ini aku harus pulang, sepertinya lebih efisien jika aborsi mandiri.” Alma menawar dengan tatapan memohon. “Yakin? Aborsi mandiri tidak ada yang mendampingi Alma.” Alma mengangguk mantap. “Aku yakin bisa, toh masih seumur jagung belum membesar janinnya, pasti aman.” Ia telah perhitungkan resiko aborsi mandiri sesuai petunjuk yang ia cari dari lama G****e. Damar tampak ragu-ragu, ia meng
Pagi yang kelabu, mendung menghias langit, tampak jelas dari jendela kaca besar di apartemen Damar. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan baju kantornya. Berdiri menatap kota kelahiran ditemani secangkir kopi dalam genggaman.Damar menerawang jauh, memikirkan keadaan Alma. Rasa bersalah, kembali muncul dalam benaknya. Menimbulkan pedih yang tak terperi. Belum lagi gejolak cemburu yang diam-diam menguasai hati, panas menyulut dadanya. Semua perasaan itu berkecamuk membuatnya tak keruan pagi ini.Sejenak, lelaki berpotongan rambut curtain haircut itu menarik napas sedalam-dalamnya. “Aku harus jenguk Alma dan mungkin ini yang terakhir kalinya, dia sudah menemukan lelaki baik menurut definisi keluarganya, kaya, seorang eksekutif, tampan dan kelihatannya baik. Tidak ada lagi alasan untuk kami melanjutkan hubungan.” Damar berusaha meneguhkan hatinya.Damar pun bergegas keluar apartemen menuju rumah sakit dengan mobil yang dipinjamkan perusahaan tem
Alma yang masih syok saat hampir terjatuh belum menyadari siapa penolongnya yang kini justru tanpa permisi memeluknya. Alma tertegun. Hampir saja Alma mendorong sosok yang lancang memeluknya, tetapi sosok itu lebih dulu bersuara. “Alma,” ujar sosok itu dengan suara parau. Alma yang tak asing dengan si pemilik suara seketika tercekat. “Da—mar?” “Maaf, aku bukan laki-laki yang bertanggung jawab.” Alma mencelos. Ia justru kebingungan dengan sikap Damar. “Seharusnya kamu bilang secepatnya buat kita putus, biar hubungan ini gak ganggu rumah tangga kamu.” Alma melepas rengkuhan Damar. Menggeleng pelan, tangannya yang ditusuk infus perlahan terangkat, menghapus rintik air mata di wajah Damar. Hangat rasanya tapi menyesakkan. “Gak ada yang perlu diakhiri dari hubungan kita, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Alma dengan nanar. Air mata Damar mengalir lebi
Pukul tujuh malam, Yogi baru saja pulang dari kantor. Alma kebingungan harus memasang sikap bagaimana, marah? Melanjutkan drama queen-ku? Tapi bagaimana jika Damar menceritakan hubungan kami yang belum putus? Bisa-bisa aku yang dituntut balik oleh Yogi. Batin Alma cemas, ia tak henti menggigit-gigit bibirnya frustrasi. Saking frustrasinya tiba-tiba perutnya terasa kram, bertepatan dengan Yogi masuk kamar dan melihat Alma yang kesakitan bergegas membopong istrinya keluar rumah. Masuk ke mobil dan menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Alma di sisinya hanya bisa mengerang menahan sakit. “Tahan ya Sayang, kamu dan anak kita pasti baik-baik aja.” Satu tangan Yogi menggenggam tangan Alma yang berkeringat dingin dan mulai melemah. Namun, Alma justru membuang muka kesal, sembari terus menggigiti bibirnya, menahan dua sumber rasa sakit sekaligus, hatinya dan kandungannya. Di
“Loh, saya gak pesan dimsum ini.” Yogi terheran-heran bahkan jam makan siang belum tiba, tapi sekotak dimsum datang tanpa ia pesan, diantar kurir. “Dari Bu Alma, Pak,” kata kurirnya melihat nama si pengirim melalui aplikasi pemesan makanan.Yogi lantas semringah. Istri hamil perasaannya kaya rollercoaster, kah? Marah-marah terus perhatian, padahal masalah yang kemarin belum sempat dijelasin sama sekali, batin Yogi terheran-heran sekaligus senang. “Ya sudah, tolong taruh di meja dekat sofa saja. Terima kasih,” tukas Yogi, lalu kurir tersebut berpamitan. Yogi lekas beranjak dari duduknya, membereskan beberapa berkas yang sedang digarapnya, mematikan laptop lantas beralih ke sofa. Tanpa merasa perlu menunggu jam makan siang, Yogi menyantap dimsum kiriman istrinya. Sejenak sebelum menyuap ia hidu aroma gurih perpaduan antara nori dan daging cincang yang terbungkus itu. Tak butuh waktu lama, Yogi dengan
‘Tes, ini anting Lo?’ Alma mengirimi pesan singkat pada Tesa. Jarinya memilin-milin sebuah anting berlian yang tersangkut di jas Yogi. Tesa membalas dengan emot tersenyum malu-malu. 'Lo emang bisa diandelin.’ Alma mengamati kembali anting-anting itu. ‘Eh, kalo suami lo jatuh cinta beneran sama gue gimana?’ Alma mengirim emot tertawa dengan air mata. “Berarti lo dapet rejeki nomplok, liburan ke Eropa sekalian honeymoon entar sama Yogi.” ‘Parah, yang penting lo ga nyesel sih.’ Alma tertegun mendapat balasan semacam itu dari Tesa. Perlahan ia meraba-raba isi hatinya, adakah bibit-bibit penyesalan akan semua hal yang sedang ia rencanakan? Sepertinya tidak ada. Ia tersenyum pongah, menutupi kekhawatiran dalam relung paling dalam, penyesalan pasti ada nantinya entah menyesal karena melepas orang yang tepat atau dalam aspek lainnya. Alma kemudian menjelaskan pada dirinya lagi, sudah di tengah jalan rencana tida
Keesokan siang Tesa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mengajak Yogi makan siang dengan dalih Alma akan ikut makan siang. Ternyata setelah Yogi datang Tesa mengabarkan bahwa Alma tiba-tiba ada meeting dengan klien. Berakhirlah mereka makan hanya berdua saja.“Saya balik ke kantor saja, gak enak berdua sama orang asing.” Yogi beranjak dari kursinya.Tesa kelabakan, bingung hendak mencegah dengan alasan apa.Beruntung, seorang pelayan membawa makanan pesanan mereka. Yogi masih tetap tidak perduli, wajahnya justru kian membeku.Tesa berseru riang dalam batin, ia menemukan ide. “Mas Yogi, Mas!” panggilnya dengan suara lantang. Ia tak perduli orang-orang di sekitar menatapnya risih.Yogi menghentikan langkah, ia menoleh dengan enggan.Tesa meraih pergelangan tangan Yogi. “Maaf Mas, dompetku ternyata ketinggalan di rumah, bisa tolong temenin aku makan, besok gantian
Tesa dan Alma berpelukan erat, kawan lama yang sudah saling melupakan. Namun, selama bisa saling mutualisme kenapa tidak ingat? Batin Alma.Sebagai model, Tesa perlu jaringan orang-orang high class seperti Alma. Pemilik perusahaan yang barangkali memerlukan jasannya. Setidaknya mengenalkan diri lebih dulu. Alma memahami itu dan ia takkan sungkan memberikan apa saja yang Tesa inginkan dari dirinya selama bisa diajak bekerja sama.Setengah jam awal keduanya berbincang tentang masa remaja mereka dulu, kemudian beralih ke perbincangan bisnis dan sebagainya. Hingga diujung percakapan, Alma menawarkan idenya.“Nih, fotonya, kalo lo minat gue kenalin.”“Gila, suami sendiri ditawar-tawarin.”Alma tertawa keras hingga beberapa orang menatapnya sebal. “Ya, mau gimana lagi, gak cinta.”“Ada-ada aja lu!”“Serius Tes, oke, gini aja, kalo lo mau bantuin
Pagi harinya, Yogi menyapa Alma yang baru saja bangun. "Pagi calon, Mama." Dengan senyum merekah. Alma tercenung. "Gak ngambek?" "Ngambek sih, semalem, tapi orang jatuh cinta beneran mana bisa ngambek lama-lama?" Yogi justru menggoda Alma dengan kerlingan jahil. Alma bergidik geli lantas menyibak selimut dan berlari menuju kamar mandi. "Pertama ketemu aja kaya papan catur, lempeng banget, kenapa sekarang pinter gombal sih?" Gerutuan Alma disambut tawa riang dari Yogi di luar kamar mandi, "aku denger kamu ngomong apa, Sayang!" "Apaan, sih?" Alma mendengkus kesal sekaligus jengah. "Serius, aku makin jatuh cinta sama kamu setelah kita nikah!" seru Yogi yang memantik kejengahan Alma dan perempuan itu buru-buru menghidupkan shower, mengalihkan percakapan gila itu. Dalam guyuran shower Alma resah memikirkan pernyataan Yogi, ia merasa perlu menemukan cara yang lebih jitu untuk merusak ru
Hujan turun begitu derasnya, dari jendela kamar Alma yang terlapisi gorden luxury tampak kilatan-kilatan petir menyambar di luar sana. Suara gemuruhnya pun menggelegar, membuat si empu kamar yang kesepian bergidik ngeri. Alma pun mencoba menghubungi Damar lewat panggilan video untuk mengalihkan rasa takutnya yang tengah sendirian dengan kondisi hujan badai. "Hai, Sayang," sapa Alma antusias ketika panggilannya telah diterima Damar. "Hai, Al,” sapa Damar singkat dengan pipi menggelembung. "Ih, suara kamu kaya orang lagi kumur-kumur! Ngapain, sih?" seru Alma, tawanya menyebur. Damar terkekeh, “aku lagi makan, nih abis masak ayam semur!" "Enak kayanya deh, mau dong...," rengek Alma. "Udah habis, ini suapan terakhir." Damar memasukkan suapan terakhirnya. Alma seketika memberengut, yang ditanggapi tawa oleh Damar. Sesaat hening, Damar menyelesaikan kunyahannya, sedangka