"Sebentar aku beli tespeck." Damar bergegas pergi. “Sama obat masuk angin, tunggu.”
“Gak perlu Damar. Nanti aku bakal sembuh dengan sendirinya....” Alma tak dapat mencegah Damar yang telah bergegas keluar dari flatnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah sekaligus cemas menunggu Damar pulang.
Seperempat jam menunggu, akhirnya pintu flat terdorong dari luar. Suara deritnya mengagetkan Alma. Ia langsung menghampiri Damar seraya memohon dengan bergelayut di lengan Damar, “gak usah tes ya, aku yakin gak hamil, kok.”
Damar tetap pada pendiriannya, “Cuma tes Alma, untuk meyakinkan aja.” Lalu menuntun Alma menuju kamar mandi.
Mau tak mau Alma pun masuk ke kamar mandi. Hingga Detik-detik mendebarkan tiba, Alma menatap lurus tespeck yang baru saja ia angkat dari pump berisi air seni.
Hormon HCL mulai terdeteksi, dengan adanya warna merah yang muncul dari bagian steril tespeck. Awalnya membentuk satu garis merah, Alma menghela napas lega, tetapi b
Terimakasih telah membaca karya saya, tolong bantu subscribe dan vote ya🤗
“Selamat tidur, Sayang.” Alma bergelayut manja. Keduanya mendinginkan kepala di atas ranjang ini. Bertukar cumbu. Damar tersenyum seraya mengatupkan kelopak matanya. Tak butuh waktu lama, dengan hati lega dan fisik yang memang lelah, ia tertidur pulas. Berbeda dengan Alma yang merasakan kembali serangan kram di perutnya. Sakitnya memang tak seberapa tetapi betah hingga berjam-jam kemudian. Ia hanya meringis menahan lara, resah tidur berguling ke sana kemari. Sampai ponselnya yang diletakkan di nakas berdering. Membuat Alma berdecih kesal, dini hari sudah ada yang berani menelponnya. Alma merayap, meraih benda pipih itu. Dengan duduk selonjor di lantai ia melihat siapa si penelepon. “Yogi?” Lirihnya heran. Maka dengan sekuat tenaga ia bangkit, mencari tempat aman agar tak mengganggu tidurnya Damar, terlebih ini adalah Yogi, ia tak mau membuat kekasihnya itu cemburu, apalagi sampai tahu bahwa ia tengah di jodohkan dengan orang lain. 
Pagi harinya, di sinilah Damar dan Alma sekarang. Klinik aborsi legal, dengan hati enggan Alma menunggu antrian pemeriksaan. “Mrs Alma.” Seorang perawat memanggil dari ruang periksa. Alma melirik kepada Damar, tatapan keduanya bertemu. Alma langsung membuang muka, menyembunyikan tatapan gelisahnya. “Ga perlu cemas, klinik ini terpercaya.” Damar menyelipkan anak rambut ke balik telinga Alma. “Aku mau aborsi mandiri, boleh?” usulnya. Damar mengernyit. “Kenapa?” “Ada panggilan kerja mendadak, sore ini aku harus pulang, sepertinya lebih efisien jika aborsi mandiri.” Alma menawar dengan tatapan memohon. “Yakin? Aborsi mandiri tidak ada yang mendampingi Alma.” Alma mengangguk mantap. “Aku yakin bisa, toh masih seumur jagung belum membesar janinnya, pasti aman.” Ia telah perhitungkan resiko aborsi mandiri sesuai petunjuk yang ia cari dari lama G****e. Damar tampak ragu-ragu, ia meng
Gaun satin bersulam sutra ditambah taburan swarovski mempercantik pantulan diri Alma di cermin besar dalam kamar yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ia tersenyum hambar pada bayangan di cermin, hari yang disebut hari bahagia itu justru membuatnya jadi manusia paling gusar sedunia. Satu, karena menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak diinginkannya. Dua, khawatir kalau-kalau Damar mengetahui pernikahannya. Tiga, ia takut terbiasa hidup dengan Yogi lalu jatuh hati. Alma menggeleng pelan, tidak, itu tidak boleh terjadi, batinnya makin gusar. Hanya beberapa bulan saja, lakukan bercinta sekali dan segera umumkan kehamilan ini, ceraikan Yogi, maka semua sandiwaraku selesai. Ia tegaskan rencana itu pada dirinya sendiri. Namun bayangan Damar justru berkelebat, membuatnya berkeringat dingin. Selain gusar, rasa bersalah yang teramat besar begitu membebaninya. Ia pun merasakan matanya memanas, air matanya hampir tumpah menimpa
Alma benar-benar mabuk oleh kecupan-kecupan kecil dari Yogi. Keduanya pun beralih ke ranjang pengantin, memadu rasa yang dibumbui cinta sandiwara dari Alma. Alma benar-benar terbuai, hati dan pikirannya tersumbat kenikmatan malam pertama. Melupakan ketidak relaannya akan pernikahan mereka. Pagi harinya, Alma terkaget saat bangun tidur melihat Yogi di sisi dengan dada terekspose. Hampir saja ia berteriak histeris, beruntung ia segera teringat bahwa mereka telah sah menjadi suami istri. Seketika dadanya sesak menyadari itu, air matanya mengucur deras tanpa bisa dibendung. Rasa bersalahnya telah mengkhianati Damar kembali datang. Lalu bayangan-bayangan kegiatan bercintanya dengan Yogi semalam muncul, berkelindan tumpang tindih dengan angan-angannya tentang Damar. Saat itu juga ia semakin merasa bersalah, semalam dirinya menikmati hubungan badan itu. Alma menjambak rambutnya, menggeleng pelan seraya menangis tertahan.
Hujan turun begitu derasnya, dari jendela kamar Alma yang terlapisi gorden luxury tampak kilatan-kilatan petir menyambar di luar sana. Suara gemuruhnya pun menggelegar, membuat si empu kamar yang kesepian bergidik ngeri. Alma pun mencoba menghubungi Damar lewat panggilan video untuk mengalihkan rasa takutnya yang tengah sendirian dengan kondisi hujan badai. "Hai, Sayang," sapa Alma antusias ketika panggilannya telah diterima Damar. "Hai, Al,” sapa Damar singkat dengan pipi menggelembung. "Ih, suara kamu kaya orang lagi kumur-kumur! Ngapain, sih?" seru Alma, tawanya menyebur. Damar terkekeh, “aku lagi makan, nih abis masak ayam semur!" "Enak kayanya deh, mau dong...," rengek Alma. "Udah habis, ini suapan terakhir." Damar memasukkan suapan terakhirnya. Alma seketika memberengut, yang ditanggapi tawa oleh Damar. Sesaat hening, Damar menyelesaikan kunyahannya, sedangka
Pagi harinya, Yogi menyapa Alma yang baru saja bangun. "Pagi calon, Mama." Dengan senyum merekah. Alma tercenung. "Gak ngambek?" "Ngambek sih, semalem, tapi orang jatuh cinta beneran mana bisa ngambek lama-lama?" Yogi justru menggoda Alma dengan kerlingan jahil. Alma bergidik geli lantas menyibak selimut dan berlari menuju kamar mandi. "Pertama ketemu aja kaya papan catur, lempeng banget, kenapa sekarang pinter gombal sih?" Gerutuan Alma disambut tawa riang dari Yogi di luar kamar mandi, "aku denger kamu ngomong apa, Sayang!" "Apaan, sih?" Alma mendengkus kesal sekaligus jengah. "Serius, aku makin jatuh cinta sama kamu setelah kita nikah!" seru Yogi yang memantik kejengahan Alma dan perempuan itu buru-buru menghidupkan shower, mengalihkan percakapan gila itu. Dalam guyuran shower Alma resah memikirkan pernyataan Yogi, ia merasa perlu menemukan cara yang lebih jitu untuk merusak ru
Tesa dan Alma berpelukan erat, kawan lama yang sudah saling melupakan. Namun, selama bisa saling mutualisme kenapa tidak ingat? Batin Alma.Sebagai model, Tesa perlu jaringan orang-orang high class seperti Alma. Pemilik perusahaan yang barangkali memerlukan jasannya. Setidaknya mengenalkan diri lebih dulu. Alma memahami itu dan ia takkan sungkan memberikan apa saja yang Tesa inginkan dari dirinya selama bisa diajak bekerja sama.Setengah jam awal keduanya berbincang tentang masa remaja mereka dulu, kemudian beralih ke perbincangan bisnis dan sebagainya. Hingga diujung percakapan, Alma menawarkan idenya.“Nih, fotonya, kalo lo minat gue kenalin.”“Gila, suami sendiri ditawar-tawarin.”Alma tertawa keras hingga beberapa orang menatapnya sebal. “Ya, mau gimana lagi, gak cinta.”“Ada-ada aja lu!”“Serius Tes, oke, gini aja, kalo lo mau bantuin
Keesokan siang Tesa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mengajak Yogi makan siang dengan dalih Alma akan ikut makan siang. Ternyata setelah Yogi datang Tesa mengabarkan bahwa Alma tiba-tiba ada meeting dengan klien. Berakhirlah mereka makan hanya berdua saja.“Saya balik ke kantor saja, gak enak berdua sama orang asing.” Yogi beranjak dari kursinya.Tesa kelabakan, bingung hendak mencegah dengan alasan apa.Beruntung, seorang pelayan membawa makanan pesanan mereka. Yogi masih tetap tidak perduli, wajahnya justru kian membeku.Tesa berseru riang dalam batin, ia menemukan ide. “Mas Yogi, Mas!” panggilnya dengan suara lantang. Ia tak perduli orang-orang di sekitar menatapnya risih.Yogi menghentikan langkah, ia menoleh dengan enggan.Tesa meraih pergelangan tangan Yogi. “Maaf Mas, dompetku ternyata ketinggalan di rumah, bisa tolong temenin aku makan, besok gantian
Pagi yang kelabu, mendung menghias langit, tampak jelas dari jendela kaca besar di apartemen Damar. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan baju kantornya. Berdiri menatap kota kelahiran ditemani secangkir kopi dalam genggaman.Damar menerawang jauh, memikirkan keadaan Alma. Rasa bersalah, kembali muncul dalam benaknya. Menimbulkan pedih yang tak terperi. Belum lagi gejolak cemburu yang diam-diam menguasai hati, panas menyulut dadanya. Semua perasaan itu berkecamuk membuatnya tak keruan pagi ini.Sejenak, lelaki berpotongan rambut curtain haircut itu menarik napas sedalam-dalamnya. “Aku harus jenguk Alma dan mungkin ini yang terakhir kalinya, dia sudah menemukan lelaki baik menurut definisi keluarganya, kaya, seorang eksekutif, tampan dan kelihatannya baik. Tidak ada lagi alasan untuk kami melanjutkan hubungan.” Damar berusaha meneguhkan hatinya.Damar pun bergegas keluar apartemen menuju rumah sakit dengan mobil yang dipinjamkan perusahaan tem
Alma yang masih syok saat hampir terjatuh belum menyadari siapa penolongnya yang kini justru tanpa permisi memeluknya. Alma tertegun. Hampir saja Alma mendorong sosok yang lancang memeluknya, tetapi sosok itu lebih dulu bersuara. “Alma,” ujar sosok itu dengan suara parau. Alma yang tak asing dengan si pemilik suara seketika tercekat. “Da—mar?” “Maaf, aku bukan laki-laki yang bertanggung jawab.” Alma mencelos. Ia justru kebingungan dengan sikap Damar. “Seharusnya kamu bilang secepatnya buat kita putus, biar hubungan ini gak ganggu rumah tangga kamu.” Alma melepas rengkuhan Damar. Menggeleng pelan, tangannya yang ditusuk infus perlahan terangkat, menghapus rintik air mata di wajah Damar. Hangat rasanya tapi menyesakkan. “Gak ada yang perlu diakhiri dari hubungan kita, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Alma dengan nanar. Air mata Damar mengalir lebi
Pukul tujuh malam, Yogi baru saja pulang dari kantor. Alma kebingungan harus memasang sikap bagaimana, marah? Melanjutkan drama queen-ku? Tapi bagaimana jika Damar menceritakan hubungan kami yang belum putus? Bisa-bisa aku yang dituntut balik oleh Yogi. Batin Alma cemas, ia tak henti menggigit-gigit bibirnya frustrasi. Saking frustrasinya tiba-tiba perutnya terasa kram, bertepatan dengan Yogi masuk kamar dan melihat Alma yang kesakitan bergegas membopong istrinya keluar rumah. Masuk ke mobil dan menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Alma di sisinya hanya bisa mengerang menahan sakit. “Tahan ya Sayang, kamu dan anak kita pasti baik-baik aja.” Satu tangan Yogi menggenggam tangan Alma yang berkeringat dingin dan mulai melemah. Namun, Alma justru membuang muka kesal, sembari terus menggigiti bibirnya, menahan dua sumber rasa sakit sekaligus, hatinya dan kandungannya. Di
“Loh, saya gak pesan dimsum ini.” Yogi terheran-heran bahkan jam makan siang belum tiba, tapi sekotak dimsum datang tanpa ia pesan, diantar kurir. “Dari Bu Alma, Pak,” kata kurirnya melihat nama si pengirim melalui aplikasi pemesan makanan.Yogi lantas semringah. Istri hamil perasaannya kaya rollercoaster, kah? Marah-marah terus perhatian, padahal masalah yang kemarin belum sempat dijelasin sama sekali, batin Yogi terheran-heran sekaligus senang. “Ya sudah, tolong taruh di meja dekat sofa saja. Terima kasih,” tukas Yogi, lalu kurir tersebut berpamitan. Yogi lekas beranjak dari duduknya, membereskan beberapa berkas yang sedang digarapnya, mematikan laptop lantas beralih ke sofa. Tanpa merasa perlu menunggu jam makan siang, Yogi menyantap dimsum kiriman istrinya. Sejenak sebelum menyuap ia hidu aroma gurih perpaduan antara nori dan daging cincang yang terbungkus itu. Tak butuh waktu lama, Yogi dengan
‘Tes, ini anting Lo?’ Alma mengirimi pesan singkat pada Tesa. Jarinya memilin-milin sebuah anting berlian yang tersangkut di jas Yogi. Tesa membalas dengan emot tersenyum malu-malu. 'Lo emang bisa diandelin.’ Alma mengamati kembali anting-anting itu. ‘Eh, kalo suami lo jatuh cinta beneran sama gue gimana?’ Alma mengirim emot tertawa dengan air mata. “Berarti lo dapet rejeki nomplok, liburan ke Eropa sekalian honeymoon entar sama Yogi.” ‘Parah, yang penting lo ga nyesel sih.’ Alma tertegun mendapat balasan semacam itu dari Tesa. Perlahan ia meraba-raba isi hatinya, adakah bibit-bibit penyesalan akan semua hal yang sedang ia rencanakan? Sepertinya tidak ada. Ia tersenyum pongah, menutupi kekhawatiran dalam relung paling dalam, penyesalan pasti ada nantinya entah menyesal karena melepas orang yang tepat atau dalam aspek lainnya. Alma kemudian menjelaskan pada dirinya lagi, sudah di tengah jalan rencana tida
Keesokan siang Tesa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mengajak Yogi makan siang dengan dalih Alma akan ikut makan siang. Ternyata setelah Yogi datang Tesa mengabarkan bahwa Alma tiba-tiba ada meeting dengan klien. Berakhirlah mereka makan hanya berdua saja.“Saya balik ke kantor saja, gak enak berdua sama orang asing.” Yogi beranjak dari kursinya.Tesa kelabakan, bingung hendak mencegah dengan alasan apa.Beruntung, seorang pelayan membawa makanan pesanan mereka. Yogi masih tetap tidak perduli, wajahnya justru kian membeku.Tesa berseru riang dalam batin, ia menemukan ide. “Mas Yogi, Mas!” panggilnya dengan suara lantang. Ia tak perduli orang-orang di sekitar menatapnya risih.Yogi menghentikan langkah, ia menoleh dengan enggan.Tesa meraih pergelangan tangan Yogi. “Maaf Mas, dompetku ternyata ketinggalan di rumah, bisa tolong temenin aku makan, besok gantian
Tesa dan Alma berpelukan erat, kawan lama yang sudah saling melupakan. Namun, selama bisa saling mutualisme kenapa tidak ingat? Batin Alma.Sebagai model, Tesa perlu jaringan orang-orang high class seperti Alma. Pemilik perusahaan yang barangkali memerlukan jasannya. Setidaknya mengenalkan diri lebih dulu. Alma memahami itu dan ia takkan sungkan memberikan apa saja yang Tesa inginkan dari dirinya selama bisa diajak bekerja sama.Setengah jam awal keduanya berbincang tentang masa remaja mereka dulu, kemudian beralih ke perbincangan bisnis dan sebagainya. Hingga diujung percakapan, Alma menawarkan idenya.“Nih, fotonya, kalo lo minat gue kenalin.”“Gila, suami sendiri ditawar-tawarin.”Alma tertawa keras hingga beberapa orang menatapnya sebal. “Ya, mau gimana lagi, gak cinta.”“Ada-ada aja lu!”“Serius Tes, oke, gini aja, kalo lo mau bantuin
Pagi harinya, Yogi menyapa Alma yang baru saja bangun. "Pagi calon, Mama." Dengan senyum merekah. Alma tercenung. "Gak ngambek?" "Ngambek sih, semalem, tapi orang jatuh cinta beneran mana bisa ngambek lama-lama?" Yogi justru menggoda Alma dengan kerlingan jahil. Alma bergidik geli lantas menyibak selimut dan berlari menuju kamar mandi. "Pertama ketemu aja kaya papan catur, lempeng banget, kenapa sekarang pinter gombal sih?" Gerutuan Alma disambut tawa riang dari Yogi di luar kamar mandi, "aku denger kamu ngomong apa, Sayang!" "Apaan, sih?" Alma mendengkus kesal sekaligus jengah. "Serius, aku makin jatuh cinta sama kamu setelah kita nikah!" seru Yogi yang memantik kejengahan Alma dan perempuan itu buru-buru menghidupkan shower, mengalihkan percakapan gila itu. Dalam guyuran shower Alma resah memikirkan pernyataan Yogi, ia merasa perlu menemukan cara yang lebih jitu untuk merusak ru
Hujan turun begitu derasnya, dari jendela kamar Alma yang terlapisi gorden luxury tampak kilatan-kilatan petir menyambar di luar sana. Suara gemuruhnya pun menggelegar, membuat si empu kamar yang kesepian bergidik ngeri. Alma pun mencoba menghubungi Damar lewat panggilan video untuk mengalihkan rasa takutnya yang tengah sendirian dengan kondisi hujan badai. "Hai, Sayang," sapa Alma antusias ketika panggilannya telah diterima Damar. "Hai, Al,” sapa Damar singkat dengan pipi menggelembung. "Ih, suara kamu kaya orang lagi kumur-kumur! Ngapain, sih?" seru Alma, tawanya menyebur. Damar terkekeh, “aku lagi makan, nih abis masak ayam semur!" "Enak kayanya deh, mau dong...," rengek Alma. "Udah habis, ini suapan terakhir." Damar memasukkan suapan terakhirnya. Alma seketika memberengut, yang ditanggapi tawa oleh Damar. Sesaat hening, Damar menyelesaikan kunyahannya, sedangka