"Mohon maaf, Sir. Kita harus segera berangkat." Nahkoda membungkukkan badannya untuk meminta maaf pada Sean -yang hingga detik-detik terakhir masih berharap adik dan asistennya muncul. Seluruh tubuh Sean serasa lemas mendengar penjelasan Nahkoda, ia bersandar di pagar besi dan menatap nanar ke arah pintu masuk dermaga yang telah sepi. "Sean, kita bisa kembali besok untuk mencari Dena dan Ivan," bisik Rhein memberi semangat pada suaminya yang bersedih. "Kita nggak bisa memaksakan kehendak dan mengorbankan kepentingan orang banyak di kapal ini." Dengan berat hati, Sean akhirnya mengangguk dan mempersilahkan Nahkoda untuk berangkat. Ia memperhatikan Harvey yang duduk tak jauh darinya dengan kecewa. Bagaimana bisa Harvey begitu tenang meninggalkan Dena di pulau itu? Di mana tanggung jawabnya sebagai seorang kekasih? Di lain tempat, sepeda yang Ivan kayuh melesat membelah jalanan. Adena yang duduk di boncengan belakang, berteriak-teriak kegirangan ketika kecepatan Ivan semakin bertamb
"Pergi, Ivan! Jangan mengikutiku!" usir Adena sembari terus melangkah menyusuri jalanan yang telah lengang menjelang petang. Namun, Ivan mengacuhkan gertakan itu dan terus mengikuti Dena sambil mengayuh sepedanya. Ivan sudah memperpanjang masa sewa dan mengganti denda biaya sepeda Adena yang hilang. Seperti biasa, Ivanlah yang akan membereskan semua kekacauan yang majikannya itu lakukan. "Aku bilang pergi!" teriak Adena sembari menghentakkan kakinya dengan jengkel. Jangankan meminta maaf, Ivan tak sekalipun bersuara sejak mengikuti Adena dari dermaga. Yang dia lakukan hanya mengikuti Adena, entah sampai gadis itu lelah dan memutuskan berhenti di mana. "Kau tuli?" sentak Adena ketika Ivan hanya diam dengan wajah datarnya yang tanpa ekspresi. Dengan santai, Ivan menggeleng. Ia memperhatikan buliran keringat yang membasahi kening Adena lantas mengeluarkan selembar saputangan dari saku celananya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia mengangsurkan saputangan itu pada sang majikan.Menya
Selama mengenal Ivan, Adena yang merupakan anak bungsu dan wanita satu-satunya di Chevalier setelah sang nenek, sangat dimanja dan diperhatikan oleh Sean dan asisten sang kakak. Terlebih, selisih usia yang terpaut 7 tahun, membuat Dena menemukan sosok kakak dalam wujud dan karakter yang berbeda dengan Sean. Jika Sean berapi-api, maka Ivan adalah kebalikannya. Ivan selalu ada untuk Adena, bahkan di masa-masa tersulitnya. "Nona?" panggil Ivan sekali lagi.Ia memperhatikan gelagat majikannya itu dengan bingung karena Adena tak menjawab pertanyaan terakhirnya. "Biar aku ikut denganmu. Aku--""Hanya size, Nona. Jangan berpikiran yang macam-macam pada saya. Segeralah mandi." Ivan memperingatkan Adena yang hampir saja berjalan mendekat padanya. "Size M atau S?" "Tentu saja S! Kau pikir aku segendut apa sampai--"Omelan Dena terhenti ketika Ivan lebih dulu menutup pintu sebelum ia menyelesaikan caciannya. Dengan geram, Adena berbalik badan dan berlalu ke kamar mandi. "Awas saja kau, Ivan
Flashback On."Dena, cepatlah! Kau membuatku terlambat!" Teriakan yang sama selalu terdengar setiap pagi. Dean yang selalu on time, kerap kali bertengkar dengan Adena yang lelet dan suka mengulur-ulur waktu. "Dena! Aku ada kelas praktek pagi ini!""Dean, berangkatlah dulu dengan Daddy-mu. Adikmu pasti masih--""I'm coming!!" lengkingan suara Adena membuat semua mata yang berada di meja makan sontak tertuju ke arah tangga. Adena muncul sembari membetulkan tali dasi seragamnya dengan terbirit-birit. Meskipun masih duduk di Elementary School, tubuh Adena yang tinggi hampir menyamai tinggi sang mommy."Bonjour, Mom!" sapa Dena sembari mengecup pipi Serena, mommy-nya, dan berganti mengecup pipi Tristan, sang daddy. "Bonjour, Dad!" Dean menggeram kesal, ia memperhatikan tingkah sang adik yang selalu menguras emosinya setiap pagi."Bawa saja sarapanmu! Kita makan di mobil!" perintah Dean sembari bangkit dari kursinya. "Kak, tunggulah 5 menit lagi.""Tidak mau! Kau sudah banyak membuang
"Anak bodoh, cepat berikan uangmu!" "Kau dengar apa yang aku katakan? Apa kau tuli? Dasar, Brengsek! Enyah kau dari hadapanku!!" "Hei, bodoh. Cepat cari uang sana, aku lapar!""Sebastian! Dasar, Brengsek! Apa kau mencuri uangku?" "Sebastian!!" "Tidak, jangan pukul aku. Ampun!""Sebastian!!" "Ampuni aku, jangan pukul aku lagi." "Sebastian!!""Ivan!" "Ampun, Dad. Ampun!" "Ivan!! Buka matamu!" Wajah Adena yang nampak panik tertangkap oleh netra Ivan tepat di saat ia membuka mata. Oh, God! "Kau mimpi buruk, ya?" tanya Dena sembari mengawasi Ivan yang lantas beringsut duduk dan mengusap keningnya yang basah. "Apa sangat menakutkan sampai kau teriak-teriak seperti itu?" Ivan menggelengkan kepalanya, ia melirik Adena yang masih menelisik wajahnya yang pasti pucat pasi sekarang."Kembalilah tidur, Nona. Maaf sudah membuat Anda terkejut," ucap Ivan salah tingkah.Tak ingin Adena bertanya macam-macam, Ivan lantas bangkit dan berlalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sial sekali, kena
"Aku masih ingin di sini, Ivan. Bolehkah jika kita tidak kembali ke Jeju?" Gerakan tangan Ivan yang tengah melipat selimut tebal sontak terhenti. Ia memperhatikan mimik wajah Adena yang nampak sendu memandangi ponselnya. "Apa anda takut Tuan Dean akan marah?" tebak Ivan seraya melanjutkan kegiatannya. Dengan tak bersemangat, Adena menggelengkan kepalanya. "Bukan itu. Aku hanya tidak siap bertemu Harvey." Setelah Ivan menyelesaikan beberesnya, ia lantas mendekat ke ranjang dan duduk di samping Adena."Anda harus menyelesaikan apa yang sudah anda mulai, Nona." Ivan memandangi wajah cantik majikannya, mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhir untuknya menikmati paras sempurna Adena. "Aku tahu. Tapi aku takut, Ivan. Tidak bisakah kita tetap di sini saja? Aku janji, aku tidak akan merepotkanmu, Ivan! Aku akan jadi gadis yang penurut," rengek Dena memohon. "Bawa aku pergi yang jauh, Ivan. Aku tidak mau kembali ke Jeju." "Apakah anda siap hidup serba kekurangan? Apakah anda siap kel
Sejak makan malam di restoran hotel dua hari yang lalu, Harvey sempat menaruh curiga pada sikap Ivan yang sangat overprotektif pada Adena. Sebagai asisten Sean, harusnya Ivan lebih mementingkan Sean dibanding Dena. Nyatanya, sikap dan cara pria itu menatap Adena, entah mengapa membuat Harvey bertanya-tanya. Dan, setelah dengan lancangnya Ivan menawarkan diri untuk menggendong Adena hingga ke puncak, pertanyaan-pertanyaan Harvey seolah mendapat jawaban. Padahal, jelas-jelas Harvey bisa melakukan hal itu, akan tetapi Ivan malah merendahkan dirinya dengan tak menghargai status Harvey sebagai kekasih Adena. "Saya akan menggendong anda sampai ke puncak." Ivan sudah sepenuhnya berjongkok dan berada di tengah-tengah Adena dan Harvey. Sebelum kemudian Harvey menarik lengan asisten kurang ajar itu dan melayangkan bogem mentah tepat di rahang kanannya. Sontak Ivan pun terjengkang dengan bibir berdarah. "Apa kau buta? Ada aku di sini dan kau dengan lancangnya menawarkan diri untuk menggendo
Dalam perjalanan kembali ke Indonesia. Semua orang yang berada di pesawat membawa kenangan yang indah selama di berlibur Korea. Sean dan Rhein, untuk pertama kalinya berpelesir ke luar negeri sebagai pasangan yang sesungguhnya. Adena dan Harvey, juga untuk pertama kalinya liburan berdua. Hanya Ivan yang memiliki kenangan buruk, bahkan mungkin tak layak untuk dikenang. Selama di pesawat, semua penumpang tidur dengan lelap karena perjalanan berlangsung di malam hari. Adena masih belum mengabari Sean dan Rhein terkait lamaran Harvey yang sudah ia terima. Cincin bertahtakan permata tersemat di jari manis Adena sejak Harvey melamarnya. Sementara semua telah terlelap dengan pasangan masing-masing, Ivan justru gelisah dan berkali-kali terbangun dari tidurnya. Ia sengaja duduk di kursi yang jauh dari Harvey dan Adena karena tak ingin terganggu oleh kemesraan mereka berdua. Untuk menutupi bibirnya yang masih bengkak dan luka, Ivan mengenakan masker sejak cek out dari hotel. Ia beralasan se
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga