“Rumah sakit?”
Rhein bertanya-tanya, siapa gerangan yang membawanya ke rumah sakit? Seingatnya, ia tak sempat menelepon orang rumah semalam. Lagi pula, bukankah dia seharusnya masih di pinggir jalan, di dalam mobilnya?Tak lama, pintu kamar rawatnya terbuka. Suara lembut yang begitu dihafalnya kemudian menyapa. "Sudah bangun?""Mami?""Hm. Memangnya kamu berharap siapa lagi yang akan menjagamu selain Mami? Kamu bahkan belum punya suami!" gerutu Veronica, dengan tangan terlipat di dada.Mendengar kata suami membuat bulu kuduk Rhein seketika berdiri. Kata itu ibarat phobia yang membuatnya sesak napas tiap kali dibahas."Kenapa aku ada di sini? Siapa yang membawaku?""Tuh, kan! Bahkan kamu nggak ingat kejadian terakhir yang kamu alami. Sudahlah, memang keputusan yang terbaik buat kamu adalah menikah!"Rhein memutar matanya malas. Apa-apa dijawab maminya dengan satu kata yakni menikah. "Kenapa bahas menikah terus, sih!" protes Rhein jengkel. "Aku pasti nikah, Mi. Tapi nggak sekarang juga kali! Sabar, dong.""Terus kapan? Nunggu Mami mati?""Mi!" Rhein mendelik kaget. "Mami sabar, dong. Aku lagi membujuk dia buat datang ke sini dan nikahin aku."Veronica tersenyum kecut sembari mendengus. "Memangnya kamu punya pacar? Orang yang dekat kamu aja cuma temanmu yang ‘itu’!” sindir maminya."Mami ngeremehin aku?" tantang Rhein tanpa pikir panjang. “Tunggu aja, aku pasti akan kenalin dia ke Mami secepatnya.”"Mami mau bukti. Bukan cuma janji-janji doang yang nggak jelas akhirnya kaya gimana!"**"Rental Suami Agency".Sore hari, Celia datang menjenguknya dan memberikan beberapa data yang berhasil wanita itu peroleh. Maminya tentu saja sudah ia minta pulang. Bisa gawat kalau maminya tahu dari mana pria yang ia janjikan akan menikahinya sebentar lagi.Nama yang tercetak tebal di halaman sampul membuat Rhein tersenyum sumbang. Sebuah dengusan kemudian lolos dari bibir wanita bermata abu tua itu.“Apa kamu tidak punya kandidat lain, Cel?”Rhein bertanya usai selesai membolak-balik lembar berisi foto dan data diri pria-pria sewaan itu. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pengusaha, ada juga yang berprofesi sebagai artis dan bintang film. Hal itu membuat Rhein berpikir … sebenarnya apa tujuan mereka menjadi pria sewaan? Uang sudah pasti bukan alasan, sebab hidup mereka sudah lebih dari berkecukupan. Apakah mereka melakukannya demi melakukan hubungan seksual secara cuma-cuma dan dibayar mahal?"Apa ada masalah, Miss?"Rhein menghela napas panjang. "Begini, Cel … mereka semua memang bukan pria sembarangan.” Ia berhenti sejenak dan memperhatikan sekelilingnya. "Tapi, apa tidak ada lelaki yang benar-benar masih fresh?" bisiknya kemudian.Celia terdiam sejenak mendengar permintaan wanita di hadapannya. "Fresh?" ulangnya gugup."Uh-um. Aku mau pria yang masih 'baru' dan belum berpengalaman." Rhein memberi tanda kutip dengan dua jarinya saat mengatakan kata 'baru'. "Aku tidak mau lelaki bekas wanita lain, Cel. Tolong carikan yang seperti itu, secepatnya!"Entah bagaimana Celia menemukan kandidat yang ia minta, tetapi … malam itu juga sekretaris andalannya menelepon."Halo, apa kamu sudah mendapatkannya?" bisik Rhein."Sudah, Miss. Saya akan mengirimkan datanya pada anda via email. Bila anda setuju, saya akan menjadwalkan anda bertemu dengan dia secepatnya setelah keluar dari Rumah Sakit."Bagai menemukan oase di tengah gersangnya gurun pasir, Rhein sontak menghembuskan napasnya lega setelah mendengar penjelasan sekretarisnya itu."Bagus! Segera kirimkan datanya padaku! Secepatnya!"......."Bertahanlah sebentar."Suara berat yang terdengar panik itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Rhein ketika ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang menimpanya. Siapakah pria yang menyelamatkannya malam itu?Setiap kali Rhein berusaha memusatkan pikiran untuk mengingat apapun yang tersisa di otaknya, nyatanya hanya suara itu yang melintas. Tapi ... tunggu, Rhein memejamkan matanya sejenak, ketika berada dipelukan hangat pria itu ... ada bekas sayatan luka yang sempat ia lihat lengannya.'Siapa kamu sebenarnya? Bagaimana caraku berterima kasih setelah kamu telah menyelamatkanku dari preman-preman itu.' Rhein membatin sembari menatap lurus ke arah jendela kamar rumah sakit.[Dia mengenakan kemeja hitam.]Malam itu, setelah Celia mengirimkan biodata serta foto calon suami sewaannya, Rhein langsung menyetujui. Wanita itu bahkan meminta sang sekretaris untuk mengatur pertemuannya dengan sang kandidat segera. Dan, di sinilah Rhein, di depan sebuah kafe dengan jantung yang berdegup cepat. Matanya memindai, memperhatikan ciri-ciri teman kencannya sesuai dengan instruksi Celia. Saat ia memasuki kafe, seorang pria yang berdiri di pojok ruangan dan melambaikan tangannya, membuat tatapan Rhein segera tertuju padanya.‘Itu … dia, kan?’ batinnya memperhatikan penampilan sang teman kencan.Kemeja hitam lengan panjang yang dilipat hingga ke siku dan celana jeans baby blue, cocok dengan keterangan sang sekretaris. Sambil berjalan menghampirinya, Rhein menilai penampilan pria tersebut dan tersenyum tipis.Ia menyukai pria ini dari penampilannya yang tampak sederhana. Wajahnya juga tak terlalu buruk untuk dipamerkan pada maminya. Dan oh, senyumannya yang menampilkan lesu
“Mami kenapa masih nangis? Kan, harapan Mami sudah Rhein kabulkan.”Jawaban atas pertanyaan Veronica akhirnya terlaksana satu bulan berikutnya. Meskipun terkesan mendadak, akan tetapi Rhein berhasil meyakinkan maminya bila ia sudah tak sabar untuk segera menikah dengan kekasih palsunya. Dan prosesi pernikahan berlangsung dengan khidmat sejak pagi. Hanya sebuah pesta sederhana yang intim dengan jumlah tamu terbatas. Rhein sengaja beralasan pada Veronica bahwa ia ingin pesta yang bisa dikenang seumur hidup bersama orang-orang yang ia sayangi.Melihat putri kesayangannya kini telah resmi menjadi istri, membuat Veronica menangis sepanjang acara. Semua berjalan begitu cepat dalam ingatannya, terasa masih kemarin ia menyusui Rhein dan mengantarnya sekolah TK. Kini, anak gadisnya itu telah menjadi wanita cantik yang mapan.Sang mami hanya mengangguk sambil mengulas senyuman. Ia memperhatikan anak dan menantunya yang kini sedang sungkem padanya."Mami nitip jaga Rhein ya, Sean. Jangan pernah
"Swiss??"Bola mata indah Rhein membulat ketika usai acara pesta pernikahan, maminya memberi kado paket bulan madu ke Swiss untuknya dan Sean."Iya, Mami sudah pesankan paket honeymoon untuk kalian berdua selama 5 hari di sana!" Veronica menyerahkan sebuah amplop berisi tiket pesawat lengkap dengan voucher hotel dan tempat pariwisata selama berada di sana.Dengan tangan gemetaran, Rhein menerima amplop berwarna putih itu. Sesekali ia melirik Sean yang bergeming tak jauh darinya."Tiket pesawatnya untuk besok lusa! Jadi segera siapkan koper kalian berdua besok," sambung wanita paruh baya yang masih mengenakan gaun pestanya itu."I-iya, Mi."Sungguh di luar dugaan, Rhein tak menyangka bila kejutan dari sang mami berhasil membuatnya terkejut setengah mati. Ia pikir setelah resmi menikah, ia akan terbebas dari intervensi maminya. Namun, kenyataan justru berkata sebaliknya.Sepanjang perjalanan pulang dari gedung, Sean dan Rhein tak saling bersuara. Sean fokus menyetir sementara Rhein sibuk
1. Dilarang melakukan physical touch.2. Tidak diperbolehkan untuk melayani kebutuhan satu sama lain. 3. Dilarang ikut campur terkait hal-hal yang bersifat privasi. 4. Sean tidak diperbolehkan untuk mengajak teman atau siapapun masuk ke dalam apartemen. "Jadi kamu nggak perlu lagi memasak sarapan atau melayaniku, Sean. Selama nggak ada mami, anggap saja kita sepasang manusia asing yang sedang terjebak di apartemen yang sama!" Rhein menggigit bibirnya dengan ragu, apakah ia terlalu jahat pada Sean? Apakah perkataannya -sebelum masuk ke dalam kamar- tadi terdengar tak berperikemanusiaan? Bahkan sebelum membuka pintu kamar, Rhein sempat kembali berujar, "Setelah masa kontrak selesai, jalani kehidupan masing-masing. Dan jangan pernah lagi muncul di hadapanku!" 'Ah, bodohnya kau, Rhein! Bagaimana jika Sean tersinggung dan memutuskan untuk membatalkan kontrak, huh!?' logika di pikiran Rhein mulai mengintervensi. "Apakah harus minta maaf?" desis Rhein bingung. Ini adalah kali pertama
Bagi pasutri pada umumnya, bulan madu adalah momen yang akan menjadi kenangan indah seumur hidup. Bersenang-senang, bercumbu, berpelesir sepuas hati, menikmati setiap pemandangan sambil berpelukan dan mengobrol sepanjang hari untuk mengenal pasangan lebih dalam, nyatanya hanya ada dalam impian. Momen bulan madu kali ini, meskipun terlaksana di tempat yang paling romantis di Eropa, tak berarti apapun bagi Rhein yang sejak awal tak menginginkan perjalanan mereka. Berkebalikan dengan wanita itu, Sean justru sangat bersemangat untuk segera sampai di Swiss. Semalam Veronica telah memberinya sedikit bocoran tentang kejutan yang akan dia dan Rhein terima begitu sampai di hotel. Mertuanya itu sudah merencanakan segalanya dengan baik agar momen indah putrinya menjadi semakin tak terlupakan.Di pesawat, Rhein lebih banyak tidur dan menyibukkan dirinya dengan menonton film. Selama 18 jam ke depan, ia akan terjebak bersama Sean di kursi yang berdampingan. Karena penerbangannya malam, jadi Rhein t
Lantunan biola terdengar semakin mendayu-dayu, pria berdasi yang membawa buket bunga itu mempersilahkan Rhein dan Sean untuk duduk di sofa. Tak ada pilihan lain selain menurut, keduanya duduk berdempetan tanpa jarak dengan jemari saling bertautan. Sebuket bunga mawar lantas diserahkan oleh pria tadi, Rhein menerimanya dengan wajah berbinar. Kali ini bukan akting, karena Rhein memang sangat mencintai bunga! Setelahnya, pria tadi menuangkan wine di gelas berkaki tinggi dan membawanya pada sepasang suami-istri itu. Dengan canggung, Rhein menyesap minuman berwarna ungu kemerahan itu perlahan-lahan, ia tak boleh mabuk! Tidak sekarang! Sementara Rhein bergulat dengan batinnya, Sean justru sangat menikmati suasana romantis yang terjadi. Ia meneguk wine mahal itu sesekali sambil mengeratkan genggamannya. Andai saja setelah ini mereka tidur bersama, pasti segalanya akan menjadi lebih sempurna! Setelah sekitar satu jam berlalu, pertunjukan singkat itu akhirnya usai. Betapa leganya Rhein dan S
"Mamiiiiiiii!!" jerit Rhein kesal. Tanpa menunggu lebih lama, Rhein bergegas naik ke atas ranjang untuk membuang hadiah memalukan itu. Sebuah kertas yang teronggok di tengah cambuk berbulu membuat Rhein berhenti melemparkan barang-barang laknat itu. Ia meraih dan membacanya dalam hati. 'Surpriseeee! Semoga kalian berdua suka dengan kejutan mami kali ini. Dan semoga suasana malam pertama kalian lebih berwarna berkat hadiah kecil dari mami. Selamat menguleni Sean dan Rhein Junior!'..Selama empat hari di Swiss, Rhein lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tiduran daripada jalan-jalan bersama Sean. Ada saja alasan wanita itu untuk menolak bepergian. Alhasil, tiket kereta dan tempat pariwisata yang telah dihadiahkan oleh Veronica hangus begitu saja. Hanya Sean yang memanfaatkan tiket itu dengan baik karena ia ingin menapak tilas beberapa tempat yang dulu pernah ia datangi. Naik kereta menuju Zermatt Matterhorn untuk melihat salju, juga berkeliling memutari gunung salju menggunakan
"Aku berangkat, Sean!"Rhein berpamitan sembari memasang sepatunya dengan terburu-buru. Dengan menggunakan setelan blazer merah dipadu dengan sepatu high heels 7 cm berwarna senada, penampilan Rhein pagi ini sangat mempesona. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai dengan blow ikal, hanya sebuah jepitan kecil yang bertengger di atas dahinya sebagai aksesori untuk menjepit poninya. Sean yang tengah mencuci gelas bekas kopinya, tertegun untuk beberapa saat memandangi sosok cantik yang kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu keluar. "Hati-hati, Rhein." Teriakan Sean terdengar sia-sia karena 'istrinya' sudah menutup pintu sebelum ia berhasil menyelesaikan perkataannya. Sambil meletakkan gelas yang sudah ia bilas di rak, Sean memperhatikan ponselnya yang bergetar di atas meja pantry. Mami Veronica is calling ...Dahi Sean berkerut heran, tumben mertuanya menelepon sepagi ini. "Halo, Mami?" sapa Sean cepat sambil menggosok tangannya yang masih basah ke celana. "Sean, apa a
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga