Lantunan biola terdengar semakin mendayu-dayu, pria berdasi yang membawa buket bunga itu mempersilahkan Rhein dan Sean untuk duduk di sofa. Tak ada pilihan lain selain menurut, keduanya duduk berdempetan tanpa jarak dengan jemari saling bertautan. Sebuket bunga mawar lantas diserahkan oleh pria tadi, Rhein menerimanya dengan wajah berbinar. Kali ini bukan akting, karena Rhein memang sangat mencintai bunga!
Setelahnya, pria tadi menuangkan wine di gelas berkaki tinggi dan membawanya pada sepasang suami-istri itu. Dengan canggung, Rhein menyesap minuman berwarna ungu kemerahan itu perlahan-lahan, ia tak boleh mabuk! Tidak sekarang!Sementara Rhein bergulat dengan batinnya, Sean justru sangat menikmati suasana romantis yang terjadi. Ia meneguk wine mahal itu sesekali sambil mengeratkan genggamannya. Andai saja setelah ini mereka tidur bersama, pasti segalanya akan menjadi lebih sempurna!Setelah sekitar satu jam berlalu, pertunjukan singkat itu akhirnya usai. Betapa leganya Rhein dan Sean setelah lima pria itu keluar dari kamar mereka. Sungguh, momen yang harusnya berjalan dengan romantis, justru terasa awkward karena Sean dan Rhein tak melakukan persiapan apapun dengan penampilan mereka berdua. Sean mengenakan celana training dan T-shirt lengan panjang, sementara Rhein masih mengenakan bathrobe dengan underwear dibaliknya. Sangat tak romantis dan memalukan!Rhein bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk mengenakan piyama tidurnya sambil mengomel."Awas saja kalo mami melakukan hal konyol seperti itu lagi!" dengusnya geram.Saat hendak naik ke tempat tidur, ia mendapati Sean sedang berusaha menyamankan tubuhnya di atas sofa panjang. Tatapan mereka bersirobok untuk beberapa detik. Namun, dengan cepat Rhein berpaling sebelum ia mulai iba.Dua puluh menit kemudian, Rhein yang sudah bersembunyi dibalik hangatnya selimut, mengintip Sean yang masih bergerak tak nyaman di atas sofa itu."Aku tidak bisa tidur selama di pesawat."Ucapan pria itu kembali terngiang dan membuat Rhein mendesah galau. Ranjang yang ia tempati cukup besar untuk ditiduri seorang diri, akan tapi mengijinkan Sean tidur di sebelahnya juga bukan ide yang bagus!Suara berisik dari gesekan tubuh Sean dan sofa yang terbuat dari kulit membuat Rhein beringsut duduk dengan sangat terpaksa. Sepertinya reaksi alkohol dari wine itu sudah merasuki otaknya."Kemarilah, Sean. Tidurlah di sini."..Bagaimana rasanya memenangkan lotere ketika kamu sedang tak memiliki uang sepeser pun?Itulah yang saat ini Sean rasakan ketika Rhein menawarkan untuk tidur di satu ranjang yang sama dengannya. Kesempatan emas tak boleh disia-siakan begitu saja, bukan?"Apa kamu yakin?" Sean mengawasi Rhein yang terlihat ragu.Melihat wanita itu mengangguk, rasanya jantung Sean ingin melompat saat itu juga. Ia bangkit dari sofa sambil menenteng bantalnya."Tapi dengan satu syarat! Jangan macam-macam dan melewati batas ini!" Rhein memberi garis batas tak kasat mata di tengah-tengah ranjang dengan menggunakan jari telunjuknya yang runcing. "Mengerti!?" pungkasnya sembari menatap Sean dengan tajam.Dengan cepat, Sean mengangguk. Ia sudah sangat mengantuk dan lelah. Menyetujui apapun yang 'istrinya' itu inginkan pastinya akan mempercepat proses istirahatnya di atas ranjang empuk itu!"Baiklah. Awas saja kalo besok kamu--""Bisakah aku naik ke sana sekarang?" Sean menunjuk sisi ranjang yang kosong dengan putus asa. "Aku sangat lelah, Rhein," imbuhnya.Rhein mengangguk. Ketika Sean perlahan naik ke sisi sebelah ranjang yang kosong, wanita itu menahan napas dan lekas merebahkan diri. Rhein pasti sudah benar-benar mabuk! Bisa-bisanya ia mengundang Sean untuk tidur di ranjang yang sama!?Alih-alih tidur karena lelah, Rhein justru tak bisa menutup mata. Suara dengkuran halus dari sisi kanan ranjangnya membuat dada wanita itu berdesir hangat. Seperti inikah hidup sebagai suami istri? Tidur seranjang dengan pria dan menghabiskan waktu bersama-sama seharian?Biasanya Rhein sangat membenci suara berisik apapun saat sedang tidur, akan tetapi kali ini suara hembusan napas Sean terdengar sangat merdu dan sopan. Apa-apaan ini! Tidak mungkin ia terbawa suasana secepat ini! Pasti semua ini gara-gara wine sialan itu, logika Rhein kalah telak dibanding perasaannya.Entah di menit ke berapa, bola mata indah berwarna dark grey itupun akhirnya menutup perlahan. Rhein larut dalam dunia mimpi."Arrrg!!"Suara teriakan melengking yang dibarengi dengan dorongan tangan seseorang dibagian dadanya secara paksa, membuat Sean seketika membuka mata. Yang pertama tertangkap oleh indranya adalah sosok Rhein yang mendekap tubuh dibalik selimut tebal.Tunggu, tunggu dulu ... Ada apa ini sebenarnya?Sean beringsut duduk dengan bingung. Ia memperhatikan pakaiannya yang masih utuh."Sudah kubilang, kan, jangan melewati batas ini!!" jerit Rhein sembari menggarisi batas yang ia buat semalam. "Kamu melanggar kesepakatan kita, Sean!""Apa aku menidurimu?" tanya Sean cemas, tapi bila memang benar demikian harusnya mereka berdua sudah telanjang bulat sekarang!"Kamu tidur sambil memelukku!" sungut Rhein sembari melemparkan sebuah bantal ke arah pria yang sejak semalam tidur seranjang dengannya.Dengan sigap, Sean menangkap bantal itu sebelum tepat mengenai wajahnya."Maaf, Rhein. Aku tidak sengaja!" pinta Sean memelas sembari mengembalikan bantal itu pada 'istrinya'.Rhein merampas bantal itu dan kembali melemparkannya ke arah Sean. Kesal karena pria itu bisa menangkap lemparannya dengan sigap, Rhein akhirnya turun dari ranjang."Nanti malam kamu tidur di sofa! Aku nggak peduli meskipun kamu akan tidur sambil duduk atau kayang sekalipun! Kamu dilarang mendekati ranjangku lagi!" omelnya sembari berlalu ke kamar mandi.Sean tersenyum mendengar omelan sang 'istri'. Ini seperti menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. Di mana setiap pagi semua wanita pasti akan mengomel dan mengomentari hal-hal sepele lantas menjadikannya hal besar yang ujung-ujungnya menjadi kesalahan para pria."Enak saja tidur di sofa, aku akan membuatmu betah tidur di dekatku mulai hari ini!" janji Sean sepenuh hati.Karena tak sempat menikmati fasilitas yang disediakan hotel di hari pertama, akhirnya Sean memutuskan untuk mencoba fasilitas infinity pool yang tersedia keesokan harinya. Untuk pertama kalinya ia berenang di kolam dengan suhu udara 0° Celcius.Sambil menikmati kolam air hangat itu, Sean menoleh ke sisi kanan di mana balkon kamarnya berada. Rhein masih mandi ketika ia memutuskan keluar dan berendam di kolam ini.Sementara itu di kamar hotel, Rhein yang tak menemukan Sean di dalam kamar pada akhirnya memilih untuk menonton film. Udara yang cukup dingin di luar membuat Rhein merapatkan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya."Dari mana kamu?" tanya Rhein ketika melihat Sean masuk ke dalam kamar sambil mengenakan bathrobe."Berenang." Sean menyahut sambil berlalu ke kamar mandi.Berenang?Rhein mengerjapkan matanya untuk mencerna kembali perkataan Sean. Berenang di suhu sedingin ini? Apa Sean sudah sinting?Tak berapa lama, Sean keluar dengan mengenakan pakaian yang lebih rapi. Ia memperhatikan Rhein yang masih berada di atas ranjang sambil sesekali menggigil kedinginan."Kamu tidak mau turun untuk sarapan?" ajak Sean sembari mengenakan arlojinya dan menoleh sekilas pada Rhein."Apa sarapannya nggak bisa diantar ke kamar? Kakiku membeku, Sean!" keluh wanita itu.Tanpa banyak bicara, Sean mendekat ke perapian dan menata beberapa kayu kering di tengahnya. Setelah memastikan membuka penutup cerobong, Sean menyalakan korek dan membakar kertas yang sudah ia tata di bawah kayu-kayu kering itu.Dalam sekejap, kamar yang tadinya sedingin kulkas kini menjadi sehangat microwave. Rhein memperhatikan cara Sean menyalakan api di perapian itu dengan seksama."Apa kamu juga memiliki perapian di rumahmu?" selidik Rhein kepo.Tak mungkin Sean paham dengan cara menyalakan perapian bila tidak terbiasa melakukan itu sebelumnya. Terlebih Sean tahu bagaimana caranya membuka penutup cerobong sebelum menyalakan api."Kamu tidak mau ikut sarapan?" Sean balik bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka berdua.Sepertinya ia terlalu banyak bertingkah hingga membuat Rhein curiga."Baiklah, aku ikut. Kamu turunlah dulu nanti aku menyusul!"Di restoran.Sean memilih menu kaya protein untuk mempertahankan staminanya selama berada di suhu dingin. Dua porsi chicken breast dengan siraman saus lemon serta salad sayuran dan sedikit mashed potato. Sambil memperhatikan danau Lucerne dari balik jendela restoran, Sean melahap sarapannya perlahan.Rhein tiba sepuluh menit kemudian dan duduk di meja yang berbeda. Sean hanya menoleh sekilas pada 'istrinya' itu lantas kembali fokus menyantap menu favoritnya."Rhein?"Suara lelaki yang memanggil namanya sontak membuat Rhein menoleh dan mendelik tak percaya."Harvey!?" Rhein bangkit dan berhambur memeluk pria di hadapannya dengan erat. "Bagaimana kamu bisa ada di sini?" imbuh Rhein seolah tak percaya dengan penglihatannya.Pria bernama Harvey itu mengurai pelukan dan menatap Rhein cukup lama."Aku sedang mengunjungi kolegaku. Kamu sendiri bagaimana bisa terdampar di tempat ini?"Sean menoleh untuk mendengar jawaban Rhein. Diam-diam ia menguping dari mejanya."Aku..." Rhein melirik Sean yang sedang menatapnya. "Aku sedang mengadakan riset untuk salah satu produk terbaruku, Harv!" lanjut wanita itu berdusta.Cih!Sean tersenyum kecut saat mendengar jawaban 'istrinya' itu. Ia kembali melanjutkan sarapannya dan memilih untuk menulikan kedua telinga."I see ... Kamu semakin sukses dengan bisnismu, Rhein! Aku bangga padamu!" puji Harvey tanpa menyadari bila seorang pria yang sedang duduk di belakangnya mulai cemburu."Sure! Apa kamu sendiri? Sarapanlah denganku sebentar." Rhein menunjuk mejanya yang terisi penuh oleh makanan."Sayang sekali, aku harus segera ke bandara untuk kembali ke London. Kapan-kapan saja kita makan bersama jika aku pulang ke Indonesia, bagaimana?""Kamu sudah berjanji, Harv! Awas saja jika tak segera pulang ke Indonesia!"Terdengar suara tawa keduanya memecah keheningan di restoran yang mulai sepi. Sean meraih gelasnya dan meneguk teh herbal itu hingga tandas.'Siapa Harvey ini? Mengapa Rhein terlihat sangat akrab dengannya?' batin Sean penasaran.Setelah mereka berpisah, Sean berbalik badan dan menatap Rhein yang melahap sarapannya."Apa lihat-lihat!?" gerutu Rhein karena cara Sean menatapnya terlihat menyeramkan, seperti hendak menerkam dan mengunyahnya hidup-hidup."Tidak apa. Aku kembali dulu ke kamar. Bisa serahkan kuncinya padaku?" Sean menadahkan tangan pada wanita yang masih menatapnya penuh curiga."Nih!" Rhein menyerahkan kartu kamar mereka berdua tanpa menoleh.Sean mengantongi kartu itu sambil berterima kasih dan pergi. Ia tak menyadari bila di dalam kamar mereka berdua saat ini ada kejutan lain yang sedang menanti.Ketika keluar dari lift, sepanjang jalan menuju kamar yang dipenuhi oleh kelopak bunga mawar membuat pria itu mengernyit curiga. Karena merasa firasat buruk, Sean memilih menunggu hingga Rhein selesai sarapan."Apa ini, Sean?" Rhein yang baru keluar dari lift, mendadak bingung melihat hamparan kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju kamar mereka."Aku juga tidak tahu. Itulah kenapa aku menunggumu untuk masuk ke dalam!" Sean menyodorkan kembali kartu kunci pada Rhein dengan gesit.Setelah menempelkan kartu itu pada sensor di handle pintu, Rhein mendorong pintu kamar dengan ragu. Benar saja, seluruh lantai yang telah tertutupi oleh kelopak mawar membuat keduanya mematung tak percaya."Apakah ini kejutan dari mami?" desis Rhein terheran-heran.Sepertinya berlalu banyak menonton film telah membuat ide brilian di otak Veronica bermunculan. Dan Rhein adalah korban dari ide-ide gila itu."Sepertinya begitu." Sean menjawab sembari meringsek masuk ke dalam kamar.Melewati ribuan kelopak yang berhamburan di lantai tak pelak membuat Rhein merasa sayang untuk menginjakkan kakinya. Ia berjalan sambil menepikan kelopak-kelopak itu ke tepian.Tiba di ranjang. Tubuh Sean yang kembali membeku, membuat Rhein seketika penasaran pada apa yang sedang dilihat pria itu. Ia mendekat dan terbelalak tak percaya melihat lingerie, borgol, cambuk serta sex toys lain ditata dengan sangat rapi di atas ranjang. Tak lupa juga ada sebuah celana dalam pria yang berlubang di bagian tengahnya."Mamiiiiiiii!!" jerit Rhein kesal. Tanpa menunggu lebih lama, Rhein bergegas naik ke atas ranjang untuk membuang hadiah memalukan itu. Sebuah kertas yang teronggok di tengah cambuk berbulu membuat Rhein berhenti melemparkan barang-barang laknat itu. Ia meraih dan membacanya dalam hati. 'Surpriseeee! Semoga kalian berdua suka dengan kejutan mami kali ini. Dan semoga suasana malam pertama kalian lebih berwarna berkat hadiah kecil dari mami. Selamat menguleni Sean dan Rhein Junior!'..Selama empat hari di Swiss, Rhein lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tiduran daripada jalan-jalan bersama Sean. Ada saja alasan wanita itu untuk menolak bepergian. Alhasil, tiket kereta dan tempat pariwisata yang telah dihadiahkan oleh Veronica hangus begitu saja. Hanya Sean yang memanfaatkan tiket itu dengan baik karena ia ingin menapak tilas beberapa tempat yang dulu pernah ia datangi. Naik kereta menuju Zermatt Matterhorn untuk melihat salju, juga berkeliling memutari gunung salju menggunakan
"Aku berangkat, Sean!"Rhein berpamitan sembari memasang sepatunya dengan terburu-buru. Dengan menggunakan setelan blazer merah dipadu dengan sepatu high heels 7 cm berwarna senada, penampilan Rhein pagi ini sangat mempesona. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai dengan blow ikal, hanya sebuah jepitan kecil yang bertengger di atas dahinya sebagai aksesori untuk menjepit poninya. Sean yang tengah mencuci gelas bekas kopinya, tertegun untuk beberapa saat memandangi sosok cantik yang kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu keluar. "Hati-hati, Rhein." Teriakan Sean terdengar sia-sia karena 'istrinya' sudah menutup pintu sebelum ia berhasil menyelesaikan perkataannya. Sambil meletakkan gelas yang sudah ia bilas di rak, Sean memperhatikan ponselnya yang bergetar di atas meja pantry. Mami Veronica is calling ...Dahi Sean berkerut heran, tumben mertuanya menelepon sepagi ini. "Halo, Mami?" sapa Sean cepat sambil menggosok tangannya yang masih basah ke celana. "Sean, apa a
Hari berganti minggu, hubungan Rhein dan Sean tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Setiap kali Sean memasakkan menu sarapan, Rhein selalu dengan tegas menolak dengan berbagai alasan. Kebiasaan wanita itu juga tak banyak berubah, empat kali dalam seminggu ia bisa pulang dalam keadaan mabuk. Dan Sean, tentu saja akan setia menunggu ‘istrinya’ pulang ke rumah selarut apa pun itu. Hingga di suatu malam, setelah Rhein muak dengan semua perlakuan baik Sean padanya, ia sengaja pulang lebih awal hanya untuk menguji apakah Sean masih setia menunggunya di basement. Dan, benar saja, pria sewaannya itu sudah duduk santai di kursi panjang untuk menunggu ‘istrinya’ pulang. Melihat mobil yang dikendarai Rhein memasuki parkir basement apartemen, Sean tersenyum lega.“Apa setiap malam kamu selalu menantiku pulang seperti ini?” Selidik Rhein setelah ia dan Sean berada di dalam lift. Sean mengangguk, lesung pipinya yang memesona tak pelak membuat Rhein lupa sesaat pada tujuannya. Beruntung pintu lif
Semalaman Rhein tak bisa tidur karena takut Sean akan membuktikan perkataannya. Cara Sean menanggapi saran dokter obgyn semalam terdengar sangat berapi-api, seolah ia akan benar-benar meniduri Rhein dan membuatnya hamil secepat mungkin. Alhasil, pagi harinya Rhein terbangun dengan rasa kantuk yang tak tertahan, sukmanya terasa masih belum menyatu ketika ia tiba di kantor. “Buket bunga lagi?”Kantuk Rhein seketika lenyap ketika ia mendapati sebuket bunga besar tertata cantik di meja kerjanya. Bila kemarin adalah sebuket besar bunga mawar merah, maka pagi ini ia mendapat buket bunga peony, crysantium dan baby breath. “Ending lead to beautiful new beginnings. Don’t worry, I’ll be your beginning soon.”Kerutan di kening Rhein semakin rapat, tak ada lagi yang tertulis di kertas -yang terselip di antara buket bunga cantik itu, selain kalimat penyemangat. Tak ada identitas apa pun yang bisa menjadi petunjuk siapa pengirimnya. Namun, bila mengartikan kata mutiara yang tertulis di secarik ka
"Mobil siapa ini, Sean?" Veronica memperhatikan mobil mewah yang dikendarai menantunya dengan tatapan kagum.Karena tak ada waktu untuk pulang ke apartemen, akhirnya Sean memutuskan membawa mobilnya untuk menemui Veronica. Telepon dadakan tadi adalah panggilan dari mertuanya yang meminta Sean untuk datang ke acara arisan. Karena 'situasi' sudah aman, Sean akhirnya setuju untuk datang."Pinjam punya teman, Mi," sahut Sean berdusta.Veronica memicingkan mata pada menantunya itu dengan tatapan curiga. "Punyamu atau temanmu?""Punya teman, Mi." Kali ini Sean menjawab dengan serius agar Veronica percaya. "Saya tidak sekaya yang Mami pikir."Senyum Veronica mendadak pudar, ia menggamit lengan menantunya dan menariknya masuk ke dalam restoran. "Mami nggak peduli kamu kaya atau nggak, buat Mami yang penting kamu menyayangi Rhein dengan tulus." Vero sedikit menyesal karena sudah keceplosan seperti tadi, Sean pasti tersinggung. "Maafin Mami ya, Sean. Mami nggak bermaksud menyinggungmu," sesaln
Di antara puluhan mobil yang ia miliki, mobil yang saat ini Sean kendarai adalah mobil favorit yang selalu ia bawa ke mana pun dirinya pergi. Segala macam rahasia ia simpan rapi di dalam mobil ini, bahkan salah satu rahasia terbesarnya juga tersembunyi di laci dashboard itu. Ketika jemari Veronica hampir saja membukanya, fokus Sean pada kemudi seketika itu sirna. “Ada apa, Sean?” sekali lagi Veronica bertanya pada menantunya yang terlihat mematung tegang dibalik setir kemudi. Tidak, Sean tidak bisa menyembunyikan wajah paniknya. Hampir saja semua terbongkar bila ia telat satu detik saja!“Apa Mami bisa menggantikan saya menyetir?” pinta Sean seraya menoleh pada Veronica.Alih-alih menjawab, Veronica hanya terbelalak untuk beberapa lama.“Mami bisa menyetir?” ulang Sean bertanya.Dengan ragu Veronica mengangguk. “Bisa, tapi ...”“Baiklah.” Tanpa menunggu lebih lama Sean keluar mobil dan bersiap mengganti posisi. Begini lebih baik, membiarkan Veronica menyetir agar identitas Sean t
“Aku rasa aku nggak perlu menjawab pertanyaan itu!” Rhein menepis cekalan Ralp yang mencengkeram lengannya dengan kasar.Tatapan keduanya masih terkunci dan menyorotkan permusuhan, membuat Sean merasa serba salah. Aura mencekam dan tegang yang melatarbelakangi ketiganya, semakin mendinginkan suasana malam. “Kamu menyukainya.” Ralp berpaling dengan tatapan kecewa. Ia sudah menangkap jawaban atas pertanyaannya dari cara sang sahabat mendebat dirinya. “Apa salah jika dia menyukaiku, Ralp?” Akhirnya Sean membuka suara setelah ia melihat Rhein terlihat salah tingkah. Sean bukan alien, dia juga bukan siluman. Lantas di mana letak kesalahannya hingga membuat Ralp begitu membencinya.“Ayo kita pulang, Sean!” putus Rhein sembari menarik lengan ‘suaminya’ dan beringsut masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada Veronica. ..Seperti yang sudah-sudah, Rhein dan Sean tidak banyak berinteraksi selama keduanya dalam perjalanan pulang. Pun hingga sampai di apartemen, masing-masing masuk ke dala
Memulai hubungan sebagai sepasang teman mungkin keputusan yang terbaik untuk saat ini. Sean tak menampik bila ia butuh status yang lebih dari sekedar teman karena tujuannya sejak awal adalah menjadi pendamping hidup Rhein meskipun harus berkedok sebagai suami sewaan. Namun, setidaknya dianggap sebagai teman adalah kemajuan dibanding hanya dianggap sebagai pajangan. Setiap hari, Rhein selalu membawa buket bunga baru ke apartemen. Ia membiarkan buket-buket bunga itu memenuhi ruang tamu hingga kamarnya. Tak boleh ada satu pun bunga yang dibuang, Rhein tetap menyimpannya meskipun sudah mengering. Sean bahkan tak berani menyentuh bunga-bunga itu karena Rhein melarangnya mendekat. Bagi Rhein, bunga itu adalah barang sakral yang tidak boleh disentuh siapa pun selain dirinya. Pernah suatu kali, Sean membaca kartu yang terselip di buket bunga yang dibawa Rhein dari kantor, alhasil ‘istrinya’ itu mengamuk dan mengancam akan memotong tangan Sean bila berani lancang menyentuh buket itu lagi. B
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga