Hari berganti minggu, hubungan Rhein dan Sean tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Setiap kali Sean memasakkan menu sarapan, Rhein selalu dengan tegas menolak dengan berbagai alasan. Kebiasaan wanita itu juga tak banyak berubah, empat kali dalam seminggu ia bisa pulang dalam keadaan mabuk. Dan Sean, tentu saja akan setia menunggu ‘istrinya’ pulang ke rumah selarut apa pun itu.
Hingga di suatu malam, setelah Rhein muak dengan semua perlakuan baik Sean padanya, ia sengaja pulang lebih awal hanya untuk menguji apakah Sean masih setia menunggunya di basement. Dan, benar saja, pria sewaannya itu sudah duduk santai di kursi panjang untuk menunggu ‘istrinya’ pulang. Melihat mobil yang dikendarai Rhein memasuki parkir basement apartemen, Sean tersenyum lega.“Apa setiap malam kamu selalu menantiku pulang seperti ini?” Selidik Rhein setelah ia dan Sean berada di dalam lift.Sean mengangguk, lesung pipinya yang memesona tak pelak membuat Rhein lupa sesaat pada tujuannya. Beruntung pintu lift yang terbuka tepat waktu kembali menyadarkan wanita itu sebelum ia semakin di mabuk kepayang.“Jangan lagi menungguku, Sean! Aku memperingatkanmu!”Langkah Sean yang hendak masuk ke dalam kamarnya mendadak terhenti. Ia berbalik dan menatap Rhein yang masih berdiri di ruang tamu dengan napas naik turun. Dari sorot matanya yang tajam dan memerah, Sean tahu bila ia sudah melakukan kesalahan fatal dengan menunggu Rhein selama ini.“Bukankah perjanjian kita sudah jelas, huh? Apa susahnya sih kamu bersikap selayaknya orang asing? Aku tidak butuh kebaikan apa pun darimu, aku menyewamu hanya sebagai suami di depan mami. Kamu tidak perlu mendalami peranmu terlalu serius!” Cecar Rhein tanpa jeda, bahkan seluruh tubuhnya ikut memanas ketika dengan lancarnya ia mencerca pria itu.Hening. Sean masih berdiri mematung di tempatnya semula tanpa berniat untuk menginterupsi.“Mulai besok tidak perlu lagi memasakkan apa pun untukku. Lakukan saja apa yang kamu mau di rumah ini, akan tetapi kamu tidak perlu melayaniku. Apa kamu paham?” Kali ini Rhein memberi sedikit penekanan di kalimat terakhirnya.Sean mengangguk. Namun, sorot matanya tak bisa berbohong. Ia kecewa, Sean terluka.“Baik. Aku paham. Jangan khawatir, istirahatlah,” sahut pria itu sebelum kemudian berbalik dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Rhein yang masih terengah-engah menahan letupan emosi di dalam dadanya.Dan esok paginya, ketika hendak berangkat ke kantor, Rhein tak lagi melihat Sean yang biasanya sibuk memasak di dapur. Meja makan tak lagi terisi oleh piring-piring berisi menu sarapan. Rhein tersenyum puas dan bergegas berangkat dengan perasaan lega bukan kepalang.Sialnya, ketika ia baru saja merasa sudah terbebas dari Sean, justru takdir kembali mempertemukan mereka berdua di lift. Ketika pintu lift baru saja terbuka dan Rhein hendak masuk ke dalam kotak besi itu, Sean ternyata sudah berada di dalam dengan mengenakan pakaian olah raga. Tatapan mereka bertemu, akan tetapi dengan cepat Rhein berpaling dan masuk ke dalam lift tanpa menyapa ‘suaminya’ itu.Masih merasakan atmosfir yang tak bersahabat, Sean meringsek keluar dari lift dengan acuh. Ia beringsut pergi begitu saja seolah mereka berdua tak saling mengenal sebelumnya.“Bagus! Teruslah seperti itu sampai masa kontrak kita selesai!” Puji Rhein sembari memencet tombol lift.Sementara itu, Sean yang sudah berada di apartemen, menyaksikan meja makan yang kini kosong melompong itu dengan tatapan hampa. Jadi seperti inikah rasanya menjadi sepasang orang asing? Setelah tidur di satu ranjang yang sama selama di Swiss, kini mereka berdua hidup selayaknya orang yang tak saling mengenal. Sean tersenyum kecut sembari memasuki kamarnya. Masih ada satu senjata yang akan ia luncurkan, dan Sean sudah memulainya...“Siapa yang mengirimkan bunga ini, Cel?”Rhein yang baru tiba di ruangan kerjanya mendadak terkejut ketika melihat sebuket besar bunga mawar teronggok di meja. Celia yang saat itu sedang menata berkas di meja bosnya, menoleh sekilas pada bunga yang sangat cantik itu.“Tidak ada namanya, Miss. Sepertinya dari pengagum rahasia anda,” jelas sekretaris bermata empat itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan berkas di meja kerja.Rhein mendekat, dengan penasaran ia meraih sebuah kartu yang terselip di tengah buket bunga yang sangat indah itu.‘Have a nice day!’Rhein membaca kalimat singkat itu dalam hati dengan kening berkerut. Selama ini tak ada yang tahu bila Rhein sangat menyukai bunga. Para pria yang menyukainya selalu mengirim barang-barang mahal entah itu cincin berlian, tas branded, jam tangan mahal, bahkan yang terakhir hampir saja memberinya mobil secara cuma-cuma seandainya Rhein menerima pinangan pria itu.Tak ingin terlalu memusingkan siapa pengirim bunga itu, Rhein pun memutuskan untuk kembali tenggelam dalam kesibukan.“Miss, untuk honor Tuan Sean bulan ini apa perlu saya transfer ke nomor rekeningnya seperti biasa?”Rhein menghentikan gerakan jemarinya yang sedang mengetik di keypad laptopnya dan mengawasi Celia dengan tajam. Mendengar nama Sean disebut entah mengapa membuat moodnya kembali memburuk.“Terserah kamu saja, Cel! Kamu bereskan saja urusan Sean sendiri!”Mendengar jawaban sinis itu, Celia seketika mengangguk paham. “Baik, Miss. Saya permisi,” pamitnya gugup.Tatapan tajam Rhein pada sekretarisnya mendadak berubah sendu ketika sebuket bunga mawar itu seolah hadir untuk menghiburnya. Hanya satu orang yang tahu bila Rhein adalah pecinta bunga, dan ia yakin bunga yang saat ini tergeletak dengan sangat memesona itu adalah kiriman darinya.“Thanks. Kamu masih saja ingat pada kesukaanku.”Rhein mengulum senyuman dengan wajah tersipu. Getaran singkat di gadget pipih yang ia letakkan di sisi kiri laptop menyita perhatian wanita itu. Sebuah pesan dari maminya.‘Jangan lupa nanti sore jadwalmu ke dokter kandungan bersama Sean! Mami sudah pesan nomor antrian, segeralah datang sebelum jam 6.’Dan sorenya, dengan sangat terpaksa Rhein menuruti kemauan Veronica. Ia bertemu Sean di lobi rumah sakit dan mereka berdua bersama-sama mendaftarkan diri di poli kandungan.“Hmm, sepertinya belum ada kantung yang terlihat di rahim.” Dokter memutar transducer mengelilingi bagian bawah perut Rhein. “Ini bulan kedua kalian berdua menikah, bukan?”Rhein mengangguk dengan keki. Bagaimana mungkin ia bisa hamil, melakukan hubungan seksual saja tidak pernah! Konyol!Setelah memastikan bila keadaan rahim Rhein sehat, dokter pun menyudahi sesi USG itu dan kembali duduk di kursinya.“Pak Sean, hubungan seks yang baik adalah yang dilakukan secara berjeda. Sperma yang berkualitas juga penting untuk membuahi sel telur. Bila boleh saya sarankan, jangan terlalu ngoyo melakukan hubungan seksual setiap hari agar kualitas sperma anda terjaga.”Sean mendadak tercekat, bibirnya seketika kelu untuk menjawab. Hubungan seksual katanya?“Iya tuh, Dok! Tolong kasih pengertian sama suami saya biar nggak melulu minta jatah tiap hari!” Rhein muncul dari ruang USG dan duduk di sebelah Sean dengan santainya.Dokter hanya tersenyum sekilas melihat sepasang pasutri yang sedang panas-panasnya itu. “Saya paham. Namun, bila anda berdua sudah tak sabar untuk segera memiliki keturunan, saran dari saya silahkan melakukan hubungan seks seminggu 3 kali saja.”Rhein mengangguk seolah-olah ia setuju dengan saran sang dokter. Ia melirik Sean yang sejak tadi bergeming dan lebih banyak bungkam.“Kapan terakhir kali anda berdua berhubungan?”Pertanyaan dokter membuat Rhein dan Sean saling bertatapan untuk beberapa detik.“Hmmm, sekitar dua hari yang lalu, Dok!” sahut Rhein asal. Ia ingin segera pulang dan menyudahi pemeriksaan tak berguna ini.“Bagus, jika begitu nanti malam kalian bisa memulai program hamil. Silahkan berhubungan dan pastikan hanya tiga kali dalam seminggu.”Sean menghela napasnya dalam-dalam sebelum kemudian ia membuka mulut. “Baik, Dok! Kami akan melakukannya nanti malam!”"A-apa?" mendadak Rhen tercekat.Semalaman Rhein tak bisa tidur karena takut Sean akan membuktikan perkataannya. Cara Sean menanggapi saran dokter obgyn semalam terdengar sangat berapi-api, seolah ia akan benar-benar meniduri Rhein dan membuatnya hamil secepat mungkin. Alhasil, pagi harinya Rhein terbangun dengan rasa kantuk yang tak tertahan, sukmanya terasa masih belum menyatu ketika ia tiba di kantor. “Buket bunga lagi?”Kantuk Rhein seketika lenyap ketika ia mendapati sebuket bunga besar tertata cantik di meja kerjanya. Bila kemarin adalah sebuket besar bunga mawar merah, maka pagi ini ia mendapat buket bunga peony, crysantium dan baby breath. “Ending lead to beautiful new beginnings. Don’t worry, I’ll be your beginning soon.”Kerutan di kening Rhein semakin rapat, tak ada lagi yang tertulis di kertas -yang terselip di antara buket bunga cantik itu, selain kalimat penyemangat. Tak ada identitas apa pun yang bisa menjadi petunjuk siapa pengirimnya. Namun, bila mengartikan kata mutiara yang tertulis di secarik ka
"Mobil siapa ini, Sean?" Veronica memperhatikan mobil mewah yang dikendarai menantunya dengan tatapan kagum.Karena tak ada waktu untuk pulang ke apartemen, akhirnya Sean memutuskan membawa mobilnya untuk menemui Veronica. Telepon dadakan tadi adalah panggilan dari mertuanya yang meminta Sean untuk datang ke acara arisan. Karena 'situasi' sudah aman, Sean akhirnya setuju untuk datang."Pinjam punya teman, Mi," sahut Sean berdusta.Veronica memicingkan mata pada menantunya itu dengan tatapan curiga. "Punyamu atau temanmu?""Punya teman, Mi." Kali ini Sean menjawab dengan serius agar Veronica percaya. "Saya tidak sekaya yang Mami pikir."Senyum Veronica mendadak pudar, ia menggamit lengan menantunya dan menariknya masuk ke dalam restoran. "Mami nggak peduli kamu kaya atau nggak, buat Mami yang penting kamu menyayangi Rhein dengan tulus." Vero sedikit menyesal karena sudah keceplosan seperti tadi, Sean pasti tersinggung. "Maafin Mami ya, Sean. Mami nggak bermaksud menyinggungmu," sesaln
Di antara puluhan mobil yang ia miliki, mobil yang saat ini Sean kendarai adalah mobil favorit yang selalu ia bawa ke mana pun dirinya pergi. Segala macam rahasia ia simpan rapi di dalam mobil ini, bahkan salah satu rahasia terbesarnya juga tersembunyi di laci dashboard itu. Ketika jemari Veronica hampir saja membukanya, fokus Sean pada kemudi seketika itu sirna. “Ada apa, Sean?” sekali lagi Veronica bertanya pada menantunya yang terlihat mematung tegang dibalik setir kemudi. Tidak, Sean tidak bisa menyembunyikan wajah paniknya. Hampir saja semua terbongkar bila ia telat satu detik saja!“Apa Mami bisa menggantikan saya menyetir?” pinta Sean seraya menoleh pada Veronica.Alih-alih menjawab, Veronica hanya terbelalak untuk beberapa lama.“Mami bisa menyetir?” ulang Sean bertanya.Dengan ragu Veronica mengangguk. “Bisa, tapi ...”“Baiklah.” Tanpa menunggu lebih lama Sean keluar mobil dan bersiap mengganti posisi. Begini lebih baik, membiarkan Veronica menyetir agar identitas Sean t
“Aku rasa aku nggak perlu menjawab pertanyaan itu!” Rhein menepis cekalan Ralp yang mencengkeram lengannya dengan kasar.Tatapan keduanya masih terkunci dan menyorotkan permusuhan, membuat Sean merasa serba salah. Aura mencekam dan tegang yang melatarbelakangi ketiganya, semakin mendinginkan suasana malam. “Kamu menyukainya.” Ralp berpaling dengan tatapan kecewa. Ia sudah menangkap jawaban atas pertanyaannya dari cara sang sahabat mendebat dirinya. “Apa salah jika dia menyukaiku, Ralp?” Akhirnya Sean membuka suara setelah ia melihat Rhein terlihat salah tingkah. Sean bukan alien, dia juga bukan siluman. Lantas di mana letak kesalahannya hingga membuat Ralp begitu membencinya.“Ayo kita pulang, Sean!” putus Rhein sembari menarik lengan ‘suaminya’ dan beringsut masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada Veronica. ..Seperti yang sudah-sudah, Rhein dan Sean tidak banyak berinteraksi selama keduanya dalam perjalanan pulang. Pun hingga sampai di apartemen, masing-masing masuk ke dala
Memulai hubungan sebagai sepasang teman mungkin keputusan yang terbaik untuk saat ini. Sean tak menampik bila ia butuh status yang lebih dari sekedar teman karena tujuannya sejak awal adalah menjadi pendamping hidup Rhein meskipun harus berkedok sebagai suami sewaan. Namun, setidaknya dianggap sebagai teman adalah kemajuan dibanding hanya dianggap sebagai pajangan. Setiap hari, Rhein selalu membawa buket bunga baru ke apartemen. Ia membiarkan buket-buket bunga itu memenuhi ruang tamu hingga kamarnya. Tak boleh ada satu pun bunga yang dibuang, Rhein tetap menyimpannya meskipun sudah mengering. Sean bahkan tak berani menyentuh bunga-bunga itu karena Rhein melarangnya mendekat. Bagi Rhein, bunga itu adalah barang sakral yang tidak boleh disentuh siapa pun selain dirinya. Pernah suatu kali, Sean membaca kartu yang terselip di buket bunga yang dibawa Rhein dari kantor, alhasil ‘istrinya’ itu mengamuk dan mengancam akan memotong tangan Sean bila berani lancang menyentuh buket itu lagi. B
Acara launching berjalan dengan lancar hingga selesai. Rhein dan Sean pulang bersama setelah terlebih dahulu mengantar Veronica. Selama di perjalanan hingga sampai di apartemen, senyuman tak lepas dari wajah cantik wanita itu. Ia tak paham bagaimana Harvey bisa tahu jika saat ini ia tengah merayakan peluncuran produk skincare terbarunya. Satu yang pasti, Rhein tak peduli!Selama Harvey memperlakukannya bak ratu, ia tak akan ambil pusing dari mana mantan kekasihnya itu tahu apa saja yang terjadi padanya di Indonesia. Setelah mengirim pesan tadi, hati Rhein semakin berbunga-bunga dan tak sabar menunggu balasan dari Harvey. Namun, hingga malam tiba tak ada pesan yang masuk ke ponsel canggihnya. “Apa suasana hatimu sedang baik?” tebak Sean ketika mereka berdua kembali makan malam bersama. Kali ini, Sean memasak menu spesial kesukaan ‘istrinya’.Sembari menyantap seporsi mie kwetiaw buatan Sean yang sangat lezat, Rhein mengangguk. “Aku sangat bahagia karena mantanku ternyata masih sang
Rasa pening yang mengganyang kepalanya ketika sosok itu membuka mata, membuat netra wanita itu kembali terpejam dengan cepat. Kali ini, hang over yang menderanya entah mengapa terasa sangat berbeda. Denyutan demi denyutan yang masih terasa di kepala, serta rasa mual yang perlahan-lahan muncul membuatnya serta merta beranjak duduk dengan sangat terpaksa.Siapa yang menggendongnya hingga ke ranjang? Ralp, kah? Atau jangan-jangan Sean?Dengan gontai, tubuh langsing itu berdiri dan berlari menuju kamar mandi. Rasa mual itu tak bisa lagi ia tahan hingga tubuhnya membungkuk di closet dengan cepat.“Hoeek!” Rhein mengeluarkan semua isi di perutnya hingga bola matanya memerah. Hentakan dari dalam perut itu terus memaksanya mengeluarkan cairan memabukkan yang semalam ia teguk hingga teler. Setelah gejolak itu mereda, Rhein bangkit dan membersihkan bibirnya di wastafel. Seperti biasa, aroma masakan yang sangat lezat terendus oleh indranya kala Rhein memutuskan untuk kembali naik ke atas ranja
Pagi itu, keesokan harinya, Sean tak menemukan Rhein keluar kamar seperti biasa. Aroma masakan yang wangi dan menguar ke seluruh ruangan tak membuat wanita itu terpanggil seperti biasanya. Hingga Sean menyelesaikan sarapan, Rhein tak terlihat sama sekali. “Rhein, kamu tidak ngantor?” panggil Sean setelah mengetuk pintu kamar ‘istrinya’ itu.Hening. Tak ada sahutan. Jam tujuh biasanya Rhein sudah berangkat ke kantornya, akan tetapi hingga menjelang pukul delapan tidak ada tanda-tanda wanita itu bersiap untuk berangkat. “Rhein, are you ok?” Dengan perasaan yang mulai cemas, Sean kembali memanggil dan mengetuk pintu dengan tak sabar. Sean tak bisa masuk begitu saja ke dalam kamar karena baginya hal itu terlarang. Tak kehilangan akal, ia akhirnya mencoba menghubungi nomor Rhein hingga bunyi dering ponsel terdengar di dalam kamar. Sekali lagi, Sean mencoba menghubungi karena ia masih berpikir bila mungkin Rhein sedang tidur. Setelah lima kali menelepon dan tak diangkat, rasa panik pun m
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga