Flashback On[Dean, apa meeting-mu masih lama?][Mon amour, aku akan menunggu sampai kamu datang jam berapa pun itu. Je vous aime.] [Babe, kau tak lupa bila hari ini adalah hari anniversary kita, bukan? Please, jangan membuatku menunggu lebih lama lagi. Sudah 3 jam aku menunggumu, Dean.][Angkat teleponku sebentar saja, please ...][Dean, please, cepatlah datang, restoran akan tutup 30 menit lagi.][Aku pulang. Teleponlah aku bila meeting-mu sudah selesai. Je vous aime.]Angela Fransisca Peter. Wanita yang pernah singgah di hati seorang Dean Alexander kala itu. Gadis penurut, cantik dan anggun, yang mengabdikan hidupnya untuk memuja Dean sejak mereka dijodohkan. Selama 4 tahun hubungan mereka terjalin, tak sekalipun Dean memperlakukan Angela dengan penuh kasih. Fokus Dean hanya lah bekerja di perusahaan turun temurun keluarganya yang bergerak di bidang alat-alat kesehatan. Hanya sesekali saja ia bersama Angela, itupun hanya untuk sekedar menyalurkan hasrat dan setelah itu kembali si
“Loh, Rhein? Kamu nggak kerja? Di mana Sean?” berondong Veronica kala ia melihat putrinya keluar dari kamar dan menyambut kedatangannya. Alih-alih menjawab, Rhein justru segera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Sean masih menenangkan diri di dalam kamarnya.“Mami ngapain ke sini? Ngapain bawa tas segala?” Rhein balik bertanya seraya mengamati tas besar yang Veronica jinjing. “Jangan bilang Mami mau menginap?”Dengan cueknya, Vero melenggang ke ruang keluarga dan meletakkan tasnya di sana. “Betul sekali! Mami akan menginap di sini sampai besok lusa!”What? Bola mata Rhein membulat dengan dongkol. Ia sudah menduga bila suatu saat Veronica pasti akan menginap di apartemennya, akan tetapi Rhein tak mengira bila itu terjadi hari ini! Ketika ia dan Sean sedang dalam mode siaga 3. “Di mana Sean? Kenapa dia nggak keluar menyambut Mami?” dengan nyalang, Veronica mengedarkan pandangannya ke sekeliling.“Sean masih mandi, Mi.”“Mandi?!” tukas Vero membeliak. “Siang-siang begini?” sambungnya
Terjaga di samping wanita yang selama ini hanya bisa ia lihat dari ‘kejauhan’ dan tak tergapai, adalah anugerah yang Sean syukuri pagi ini. Ia sudah membuka mata sejak satu jam yang lalu, akan tetapi tubuhnya menolak untuk bangkit dan beranjak dari sisi Rhein yang masih pulas dalam buaian mimpi. Bibir mungil nan berisi itu bergerak-gerak secara lambat seperti sedang menikmati sesuatu, bila Sean boleh menebak, sepertinya Rhein bermimpi sedang makan atau mengomel?Sean tak bisa menahan senyumnya ketika tiba-tiba Rhein membuka mata, dua pasang netra itu saling tatap untuk beberapa detik lamanya. Rhein terpaku, terhenyak hingga tak sanggup berkata-kata. Sean yang sedang menelisik wajahnya pasti melihat sesuatu yang aneh di sana. Dengan ragu, Rhein mengusap sudut bibirnya, tak ada yang basah. Jemarinya berpindah ke sudut mata, barangkali ada dosa yang tertinggal di situ? Namun, matanya bersih karena Rhein tak mengenakan make up mata apapun sejak kemarin.“Selamat pagi, Rhein,” sapa Sean de
Untuk merayakan ulang tahun Veronica, Sean dan Rhein berencana memberi kejutan pada maminya di restoran skyview -yang mereka berdua datangi kemarin. Kue tart dan menu spesial sudah Sean pesan sehari sebelum kejutan itu dilaksanakan. Tiba hari spesial itu, sejak pagi Sean sudah mengirimkan kejutan pertama pada mertuanya itu berupa buket bunga 3D yang sama besar seperti yang ia berikan pada Rhein kala itu. Bunga berbentuk inisial huruf V yang cukup besar bahkan melebihi tinggi Veronica. “Happiest Birthday Mami. From your biggest fans, Sean & Rhein.” Veronica membaca secarik kertas yang terselip di antara bunga itu. Senyuman lebar sontak menghiasi wajahnya yang baru bangun tidur. Ia memeluk buket bunga inisial raksasa itu dengan erat saking bahagianya karena mendapat kejutan sepagi ini dari anak dan menantunya.“We would like to invite you to attend our intimate dinner in the Skyview Restaurant this evening. Please, prepared yourself at seven o’clock,” baca Veronica disertai jeritan t
Hidup penuh dengan misteri. Tidak ada siapapun yang tahu, apa yang akan terjadi pada beberapa hari bahkan beberapa menit ke depan. Pun begitu dengan Sean, ia tak pernah mengira akan bertemu dengan seseorang yang selalu ia hindari sejak pulang ke Indonesia. Seseorang yang telah membuatnya jadi pria yang dingin dan anti sosial sejak masih kecil. “Nyonya Chevalier, terima kasih banyak untuk sampanye-nya!” ucap Veronica ketika mereka berdua berpelukan cukup lama.Wanita berusia 70 tahun yang masih cantik dan bugar itu mengangguk dengan senyuman yang masih sangat menawan. Wangi parfum wanita itu terendus oleh indra penciuman Vero, aroma khas yang elegan dan ‘mahal’.“Selamat ulang tahun, Vero. Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini!” balas nyonya Chevalier setelah mengurai pelukannya, ia memperhatikan Sean dan Rhein yang ikut berdiri di belakang kawannya. “Jadi ini menantu yang kau bicarakan itu?” tatapannya tertuju pada Sean. Dengan gelapan, Veronica mengangguk. Ia lanta
Hari berganti minggu, kini Sean dan Rhein tak banyak berdebat seperti dulu. Perlahan namun pasti, Rhein mulai membuka hati pelan-pelan pada Sean. Kebaikan dan ketulusan pria itu entah mengapa membuat Rhein ingin mengenal sosok Sean lebih jauh. Hari ini hingga tiga hari ke depan, Rhein akan ke luar negeri untuk menghadiri acara bagi para CEO perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan. Sean mengantar Rhein hingga airport dan tak beranjak sebelum pesawat ‘istrinya’ itu lepas landas. Sebenarnya Sean bisa saja ikut, akan tetapi ia khawatir mengganggu aktivitas Rhein yang pastinya akan full dengan banyak kegiatan. Lagi pula, Sean sudah berjanji pada Veronica untuk menemaninya kontrol bulanan ke rumah sakit. “Mami yakin mau langsung pulang? Tidak mau jalan-jalan dulu?” tawar Sean ketika keduanya sudah dalam perjalanan pulang. Vero menggeleng lemah. “Mami langsung pulang saja, deh. Kamu pasti capek habis nganter Rhein dari pagi belum istirahat.”“Tidak apa, kok, Mi. Saya belum capek.”
Pepatah mengatakan, sepintar-pintarnya menyimpan bangkai pasti baunya akan tercium jua. Saat ini, di depan mata kepalanya sendiri, Ralp menatap nanar pada beberapa kartu yang berjajar rapi di mejanya. Tiga di antaranya adalah blackcard dari bank yang berbeda-beda, sementara yang lain adalah kartu member VVIP dan kartu ATM bank lokal. Di antara benda eksklusif itu, hanya jam tangan itu yang tampak biasa saja dengan merek yang tak familiar. Namun, setelah Ralp mencari tahu tentang merek arloji itu, ia semakin tercengang tak percaya. Jam tangan yang diproduksi di Prancis secara eksklusif itu pun ternyata berharga cukup fantastis. Jadi, siapa sebenarnya Sean Alexander ini? Bahkan kartu identitasnya saja beralamat fiktif. Itu berarti ia cukup berpengaruh untuk membuat identitas palsu.Bila mendengar cerita tentang Sean dari sisi Veronica, tak ada hal yang patut dicurigai secara berlebihan karena pria itu memperlakukan mertuanya dengan baik. Pun begitu dengan Rhein, sahabatnya itu sudah be
Sejak pulang dari apartemen Ralp, Sean mengurung diri di kamar. Menjelaskan tentang siapa dirinya pada orang lain ibarat menguak kembali kenangan yang ingin yang kubur dalam-dalam. Meskipun hanya menjelaskan tentang latar belakang keluarganya, Sean merasa trauma. Mengingat kembali bila dirinya adalah seorang tuan muda di keluarga konglomerat Chevalier membuat Sean muak. Suara denting pesan di ponsel Sean membuatnya menoleh pada benda pipih yang ia geletakkan begitu saja di meja nakas. Hanya ada empat orang yang tahu nomor ponselnya, Mr. Josh selaku Direktur Agensi Rental Suami, Veronica, Rhein dan Ivan. Dengan malas, ia meraih gadget pipih itu dan seketika membeliakkan mata penuh binar melihat sebaris nama yang muncul di layar. Sebuah pesan dari Rhein membuatnya kembali bersemangat.[Hai, Sean! Maaf baru membalas pesanmu. Sejak kemarin aku sibuk sekali, sampai di hotel aku langsung tidur dan baru sempat membaca pesanmu sekarang. Terima kasih sudah mengingatkanku untuk nggak telat-tel
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga