Di lain tempat, Ivan masih mengikuti langkah Celia menyusuri mall demi mall. Tanpa dijelaskan, Ivan tahu bila tugas ini hanyalah taktik agar Rhein bisa bebas tanpa pengawasan Ivan. Beruntungnya tadi ia sempat mengirim pesan pada Sean. "Ivan, apa kamu nggak lapar?" Celia berbalik badan mengawasi Ivan yang melangkah perlahan di belakangnya. "Tidak." Ivan menggeleng dengan malas. "Kita tinggal mengecek mall ini saja, bukan? Jadi segera selesaikan agar kita bisa segera pulang!" Sambil berbalik badan, Celia memutar bola matanya dengan dongkol. Seandainya boleh memberi nilai dalam hal akhlak, mungkin nilai 4 adalah angka yang cocok untuk Ivan. Tampan tapi tak sopan dan menyebalkan, apa hebatnya? Lima belas menit kemudian, setelah mengecek display dan juga kerapian store, Celia dan Ivan bergegas keluar dari toko bernuansa serba pink dan hitam itu. Masih menjaga jarak, Ivan terus mengikuti langkah Celia yang kemudian berhenti di sebuah restoran Jepang. "Mau makan di sini? Biar aku yang t
Sesuai permintaan Adena, taman kolam renang telah disulap sedemikian apik. Jembatan yang melintang di tengah kolam, telah terpasang sejak pagi. Saat Ivan selesai berolahraga tadi, ia sengaja memantau pekerjaan kru dekorasi yang cakap dan tanggap. Semalaman, Ivan tak bisa tidur gara-gara perkataan Celia yang ceplas-ceplos. Dengan mudahnya perempuan itu menawarkan diri menjadi kekasih, padahal mereka baru saja kenal tanpa pernah akrab sebelumnya. Hanya karena Ivan bersandiwara di depan Adena, bukan berarti ia benar-benar akan menjadikan Celia sebagai kekasih. "Ivan, apa kau melihat Adena?" Suara yang memanggilnya dari arah belakang membuat Ivan menoleh dengan gesit. "Nona Dena sepertinya belum bangun, Nyonya." Nyonya Chevalier menggeleng. "Dia bahkan tidak pulang semalam! Nomornya juga tidak aktif," rutuknya gemas. Sekujur tubuh Ivan meremang seketika, keningnya mengernyit dengan bingung. Tidak pulang? Tumben sekali!"Apa dia tak menghubungimu sama sekali?" selidik Nyonya Chevali
Rasa sakit di seluruh tubuhnya, serta ngilu di tulang sendi, membuat Adena merintih kesakitan kala pintu kamar hotel diketuk dengan paksa dari luar. Ia tak bisa mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi semalam. Bagaimana ia bisa berakhir babak belur seperti sekarang serta siapa yang membawanya ke hotel, semua masih abu-abu diingatan Dena. Dengan tertatih-tatih, Adena mengayunkan langkahnya menuju pintu yang masih diketuk oleh seseorang. Suhu dingin yang menusuk tulang, malah membuat langkahnya menjadi semakin melambat. Setelah bersusah payah, akhirnya Dena sampai di pintu. Ia tak bisa melihat dengan jelas melalui kaca intip, siapa yang berada di luar. Namun, entah mengapa hati kecilnya terus mendorong Adena untuk segera membuka pintu itu. Wajah Ivan yang sedang terbelalak menatapnya, membuat Dena seketika menundukkan kepala. Ia menutupi sebagian memar di lengannya dengan tangan, sebelum kemudian Ivan mencecarnya dengan banyak pertanyaan. "Nona, apa yang terjadi?" Entah sudah
Hanya manusia bodoh yang merelakan seseorang yang ia cintai dan mencintainya, lepas begitu saja tanpa sempat dipertahankan. Dan, manusia bodoh itu tak lain adalah Ivan. Ia bahkan kalah sebelum berperang, ia menyerah sebelum berjuang. Cintanya pada Adena kalah tinggi dibandingkan egonya sebagai seorang pria. Ketakutan dan kekhawatiran Ivan lebih membuatnya menahan diri. Sore itu, saat mengantarkan Adena pulang, Ivan tak lantas turun dari mobil. Selepas Dena pergi, dadanya yang telah sesak oleh berbagai rasa, meruntuhkan kembali air matanya. Andai ia tak terlahir sebagai pria melarat, mungkin Ivan masih bisa memiliki harga diri untuk menjadikan Adena sebagai kekasih. Nyatanya, dia hanyalah pekerja biasa. Dia hanya kacung yang tak berharga. Gaun halter neck yang sudah Dena pesan jauh-jauh hari, pada akhirnya tak bisa ia kenakan. Luka memar ditubuhnya tentu akan membuat semua orang heboh, jadi sebisa mungkin Adena mengenakan gaun yang menutupi lengannya. Make-up bold dengan lipstik mera
Orang bilang pupil mata kita akan membesar ketika berpandangan dengan orang yang kita cintai. Dan, kecurigaan Harvey yang selama ini ia pendam, seolah terbukti tatkala ia melihat pupil mata milik Ivan membesar dan berbinar ketika bertatapan dengan Adena, meskipun sepasang mata teduh itu menyorotkan mendung. Tepat ketika Ivan baru saja mengucapkan selamat, sebelum asisten itu berlalu pergi, sebuah ide cemerlang mendadak muncul di benak Harvey. Ia ingin mengetes Ivan sekali lagi. "Ivan, tunggu!" panggil Harvey sembari menarik lengan Ivan dengan sigap. Rhein dan Sean yang hendak menuruni podium, jadi urung melangkah dan berbalik mengawasi dua pria yang kini saling berhadapan dengan tatapan saling terkunci. "Apa kamu tidak mau berfoto berdua dengan Adena?" sambung Harvey sembari tersenyum datar. Sebelum menjawab, Ivan lebih dulu melirik Adena sekilas. Secara samar, Adena menggelengkan kepalanya. Ia tak mau membuat Ivan semakin sakit hati. "Bukankah kalian sudah seperti adik kakak? T
"Ada apa dengan wajahmu?" Sean memperhatikan wajah asistennya dengan terkejut, ketika pagi itu Ivan datang menjemput Rhein dengan rahang bengkak dan membiru serta pelipis yang telah diperban. Rhein yang baru keluar dari lift bersama Sean, sontak ikut menoleh dengan penasaran. Ia mengamati Ivan dengan seksama hingga asisten suaminya itu berdiri di hadapan Sean. "Hanya kejadian kecil, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas Ivan keki sembari menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Dengan geram, Sean mengangkat dagu Ivan untuk melihat dengan jelas memar membiru itu. Saat luka di pelipis kanan itu membuat mata Ivan jadi menyipit, Sean lantas merebut kunci mobil asistennya. "Biar aku yang mengantarkan Rhein. Kau langsung ke kantorku. Aku tidak mau istriku kenapa-kenapa di jalan!" pungkasnya sebelum kemudian membukakan pintu mobil untuk Rhein dan berlalu pergi setelah melemparkan kunci mobilnya sendiri pada Ivan. "Apa menurutmu Ivan terluka karena berkelahi dengan Harvey?" t
Langkah yang berderap cepat dan lebar itu segera meringsek keluar dari lift ketika pintunya perlahan terbuka. Tatapan matanya tertuju pada sebuah ruangan di mana ia akan meminta penjelasan pada orang itu terkait fakta mengejutkan yang baru ia dengar. Brak. Suara pintu yang dibuka secara kasar membuat beberapa orang yang berada di dalam ruangan itu sontak menoleh kaget ke arah pintu. Sosok yang tengah berdiri dengan napas naik turun serta mimik wajah tegang dan kaku itu membuat mereka semua saling menoleh dengan bingung. "Dena, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak lihat aku sedang meeting!?" bentak Sean marah sembari berdiri dan menghampiri adiknya. Ivan benar, ada bekas memar di pipi adiknya saat Sean melihat Adena dari dekat. Ia lantas menghela napas panjang dan berbalik mengawasi tiga orang manajer yang sedang duduk di sofa. "Kalian bisa keluar dulu. Kita lanjutkan meeting-nya satu jam lagi." Dengan sigap, tiga manajer dari sub divisi yang berbeda itu lekas berdiri dan membawa
Karena Rhein telah dijemput oleh Sean, akhirnya Ivan sampai ke kantor Rhein dengan sia-sia. Ia hendak kembali ke basement sebelum sepasang tangan tiba-tiba menarik lengannya dari belakang. Sedikit terkejut, Ivan reflek menoleh dengan cepat. Sosok Celia yang sedang memamerkan barisan gigi putihnya membuat Ivan menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. "Kau membuatku kaget, Cel!" gerutu Ivan sembari menarik lengannya dengan kasar. "Salah sendiri dipanggil malah kabur. Apa kesepian membuatmu tuli?" Celia balik menyemburkan sindiran. Sekilas, Ivan melirik teman sejawatnya itu dengan sinis."Aku tidak kesepian!" tampiknya ketus. "Masa? Buktinya kamu tak punya teman!" ejek Celia sembari terkekeh senang. Ivan mendengus kesal mendengar sindiran itu. Meskipun yang dikatakan Celia adalah kenyataan, entah mengapa Ivan malah tersinggung. "Kamu mau pulang? Boleh aku nebeng?" "Tidak. Aku masih ada urusan!" tolak Ivan sembari bersiap untuk pergi. Namun, dengan sigap Celia kembali menaha
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga