Langkah yang berderap cepat dan lebar itu segera meringsek keluar dari lift ketika pintunya perlahan terbuka. Tatapan matanya tertuju pada sebuah ruangan di mana ia akan meminta penjelasan pada orang itu terkait fakta mengejutkan yang baru ia dengar. Brak. Suara pintu yang dibuka secara kasar membuat beberapa orang yang berada di dalam ruangan itu sontak menoleh kaget ke arah pintu. Sosok yang tengah berdiri dengan napas naik turun serta mimik wajah tegang dan kaku itu membuat mereka semua saling menoleh dengan bingung. "Dena, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak lihat aku sedang meeting!?" bentak Sean marah sembari berdiri dan menghampiri adiknya. Ivan benar, ada bekas memar di pipi adiknya saat Sean melihat Adena dari dekat. Ia lantas menghela napas panjang dan berbalik mengawasi tiga orang manajer yang sedang duduk di sofa. "Kalian bisa keluar dulu. Kita lanjutkan meeting-nya satu jam lagi." Dengan sigap, tiga manajer dari sub divisi yang berbeda itu lekas berdiri dan membawa
Karena Rhein telah dijemput oleh Sean, akhirnya Ivan sampai ke kantor Rhein dengan sia-sia. Ia hendak kembali ke basement sebelum sepasang tangan tiba-tiba menarik lengannya dari belakang. Sedikit terkejut, Ivan reflek menoleh dengan cepat. Sosok Celia yang sedang memamerkan barisan gigi putihnya membuat Ivan menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. "Kau membuatku kaget, Cel!" gerutu Ivan sembari menarik lengannya dengan kasar. "Salah sendiri dipanggil malah kabur. Apa kesepian membuatmu tuli?" Celia balik menyemburkan sindiran. Sekilas, Ivan melirik teman sejawatnya itu dengan sinis."Aku tidak kesepian!" tampiknya ketus. "Masa? Buktinya kamu tak punya teman!" ejek Celia sembari terkekeh senang. Ivan mendengus kesal mendengar sindiran itu. Meskipun yang dikatakan Celia adalah kenyataan, entah mengapa Ivan malah tersinggung. "Kamu mau pulang? Boleh aku nebeng?" "Tidak. Aku masih ada urusan!" tolak Ivan sembari bersiap untuk pergi. Namun, dengan sigap Celia kembali menaha
Paris, di sore hari. Siapa yang tak menyukai suasana romantis di kota Paris? Bahkan hampir semua manusia di seluruh dunia pasti setuju jika Paris menjadi destinasi liburan romantis bersama pasangan. Hari ini adalah hari ulang tahun Adena, sebagai gadis remaja yang mulai memasuki gerbang menuju dewasa, ia merayakan pesta ulang tahunnya di kediaman milik keluarga Chevalier. Pesta yang intim dan hanya dihadiri oleh teman-teman kuliahnya dan keluarga. Semua dekorasi telah memenuhi ruang keluarga di mana pesta akan diadakan. Makanan pun sudah memenuhi meja makan lengkap dengan segala jenis minuman beralkohol. Beberapa tamu mulai berdatangan dan bersantai di taman yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Pesta bertemakan 'Red Elegant' itu terlihat meriah dan mahal di tangan Adena yang perfeksionis. Sean yang baru saja pulang dari terapi, memilih untuk duduk menyendiri sembari menunggu pesta di mulai. Sementara sang nenek yang baru tiba kemarin sore dari Indonesia, sudah bergabung dan me
Keesokan hari, karena tak bisa tidur hingga menjelang subuh, Ivan akhirnya memutuskan untuk tidak tidur sama sekali. Bola matanya yang memerah dengan rasa kantuk yang tak tertahankan akhirnya mendera dirinya ketika menunggu Rhein berangkat pagi ini. "Sean bilang besok kamu akan ke Prancis, apakah itu benar?" selidik Rhein ketika mobil sudah melaju menuju kantornya. Ivan mengangguk samar. "Benar, Nona. Saya mendapat penerbangan nanti malam." "Oh, begitu. Sebenarnya aku sudah meminta Sean untuk mencarikan sopir lain agar tak melulu merepotkanmu, Ivan. Tugasmu jadi semakin banyak sejak menjadi sopirku." "Tidak apa, Nona. Saya masih sanggup menghandle semuanya," sela Ivan cepat. "Apakah ada yang ingin anda beli di Prancis, Nona? Barangkali saya bisa mencarikannya untuk anda." "Nggak perlu, Ivan. Nikmati saja liburanmu."Namun, tak seperti yang sudah Rhein katakan, perjalanan Ivan menuju Prancis malah lebih mirip sebagai perjalanan napak tilas yang menyakitkan. Itulah mengapa Ivan seb
Adena baru saja bangun tidur ketika sore itu neneknya menyodorkan ponsel miliknya pada sang cucu. Sukma yang masih belum sepenuhnya menyatu membuat Dena lantas menerima ponsel itu dengan bingung."Apa ini, Nek?" tanyanya ragu. "Lihat saja sendiri, nanti kamu akan tahu!" Nyonya Chevalier menunjuk ponselnya dengan wajah kaku. Merasakan sikap sang nenek yang terasa janggal, Adena membuka kunci layar pada gawai canggih itu dengan was-was. Sebuah foto terpampang jelas di layar seketika itu juga. Dengan penasaran, Dena memperhatikan dua orang pria yang menjadi objek foto itu. Bukankah ini Harvey? Tapi, siapa pria yang satunya lagi? "Kau tak mengenalinya?" Nyonya Chevalier mendekat ke ranjang ketika kening cucunya nampak berkerut tegang. Dengan sigap, Adena menggelengkan kepala. "Tidak, siapa dia?" tanyanya heran. "Dia Mr. Clayton!" Deg. Dena merasa tubuhnya mendadak beku. Ia kembali mengawasi ponsel yang masih berada di genggaman tangannya dan mengamati pria yang sedang duduk di sebu
Suasana di dalam mobil menjadi sangat hening ketika Rhein dan Sean sedang dalam perjalanan pulang menuju penthouse. Tak ada yang bersuara sejak keduanya masuk, mereka berdua terhenyak antara syok dan bingung dengan penjelasan dokter beberapa menit yang lalu. Flashback On. "Saya berharap bila ini hanyalah kekeliruan. Tapi bila mengukur besar dan panjang janin melalui mesin USG, usia janin masih 11 minggu.""Apa itu berarti anak kami tidak berkembang, Dokter?" Sean bertanya dengan cemas. Dokter Hendri hanya terdiam, ia kembali mengukur besar rahim dan panjang janin. "Kita tunggu sampai minggu depan, bila janin masih berada di ukuran yang sama, bisa dinyatakan bila janin tidak bisa lagi dipertahankan." Flashback off.Gelak tawa sepasang manusia yang tadinya meramaikan suasana di dalam mobil, kini berganti pikiran kosong yang entah akan bermuara di mana. Tiba di penthouse, Rhein langsung membersihkan dirinya di kamar mandi dan naik ke ranjang tanpa mempedulikan Sean. Fakta yang baru
Ivan tak serta merta setuju saat pria-pria itu memaksa untuk membawanya ke suatu tempat, di mana seseorang telah menunggunya. Ia masih bersikeras untuk tetap berada di makam ibunya hingga sore. Karena tak ingin melakukan kekerasan, pada akhirnya para pria kekar itu mundur dan memilih menunggu Ivan di kejauhan. "Siapa mereka, Mum? Mengapa mereka memaksaku untuk ikut dengan mereka? Apakah suamimu melakukan hal buruk lagi sampai mengharuskan aku membereskan masalahnya?" Ivan menghela napas panjang sembari sesekali memperhatikan pria-pria itu. "Tidak bisakah aku tenang selama berada di negeriku sendiri?" racau Ivan entah pada siapa. Satu-satunya orang yang ia harap bisa menemaninya hingga tua telah pergi bahkan sebelum Ivan beranjak dewasa, dan orang berikutnya yang menjadi tempatnya bersandar malah membuangnya begitu saja. Ivan semakin merasa tak diinginkan dan tersisihkan oleh takdir. Angin yang berhembus dingin tak membuat Ivan beranjak dari sisi pusara ibunya. Pria-pria itu juga ma
"Hola, El Sebastian, sendirian lagi?" Sebuah sapaan dari seorang wanita yang sedang membuatkan minuman beralkohol pada semua tamu, membuat Sebastian Louis menoleh singkat. "Hola, Magdalena!" balasnya malas sembari meneguk minuman yang baru saja disodorkan oleh bartender favoritnya, Magdalena. "Apa hari ini kau sangat sibuk? Jam berapa kau pulang?" Mendengar pertanyaan yang seolah menyiratkan rasa kesepian itu, Magdalena lantas menggeleng. "Tidak terlalu, sih. Setelah jam kerjaku selesai, aku tak punya jadwal apapun. Aku pulang pukul tiga jika tak ada yang mengacau di tempat ini." Sebastian Louis adalah konglomerat real estate yang rutin mendatangi kelab malam, di mana Magdalena bekerja setahun belakangan. Kerap kali bertemu membuat keduanya sering terlibat obrolan basa-basi yang tak penting. Namun, untuk pertama kali, kini Sebastian Louis malah bertanya jadwal kerjanya alih-alih bertanya pukul berapa sekarang, seperti kebiasaannya. "Baiklah, aku akan menunggumu!" Dan, hingga pu
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga