"Kamu akan datang ke acara itu?" Entah sudah berapa kali Ralp bertanya pada Rhein dan sahabatnya itu tak sekalipun memberi jawaban pasti. Sambil mengibaskan undangan ulang tahun Nyonya Chevalier di depan wajah kawan karibnya, Ralp berharap Rhein segera memberi kepastian. "Segera putuskan, Rhein! Besok jadwalku padat," jelas Ralp geregetan. "Aku bingung, Ralp! Apa menurutmu aku harus datang?" Rhein balik bertanya dengan tatapan memelas. "Tapi aku nggak siap ketemu Sean. Dia pasti datang, kan?" "Menurutmu?" Ralp mengangkat sebelah alisnya dan bersedekap. "Pastikan dulu untuk apa tujuanmu ke sana. Kalau hanya ingin memenuhi undangan nenek-nenek itu, aku akan menemanimu. Tapi kalau tujuanmu untuk bertemu Sean, silahkan berangkat sendiri! Aku nggak mau jadi obat nyamuk buat kalian berdua!" Rhein merengut ketika Ralp mengejeknya. Sambil mendengus, ia lantas menyahut, "enak saja! Justru aku malas datang karena pasti Sean juga ada di tempat itu!" "Jadi mau datang atau nggak?" ulang Ralp
Sehari sebelum hari H, pihak EO telah menurunkan kru-nya untuk mensterilkan lokasi sebelum dihias sesuai dengan permintaan Nyonya Chevalier. Tenda dengan atap transparan yang menjulang tinggi di halaman belakang, ratusan macam bunga yang menghiasi setiap sudut, lampu-lampu kristal bergantungan juga panggung yang akan menjadi pusat acara inti di tengah-tengah taman dengan tenda yang mengelilingi. Semua beres sejak pagi sebelum acara akan berlangsung di sore hari. Sementara Adena dan Nyonya Chevalier sangat antusias pada pesta itu, Sean justru merasa sebaliknya. Bertemu dengan banyak orang, tersenyum dan berpura-pura bahagia itu sangat melelahkan. Bahkan sejak pagi, neneknya telah mewanti-wanti Sean agar bersikap ramah pada semua tamu-tamu besar yang akan hadir di acara itu. "Ingat, Sean. Pesta ini juga akan menjadi pestamu karena Nenek akan mengenalkanmu secara resmi sebagai penerus Valier Corp." Berulang kali sang nenek mengingatkan Sean agar cucunya itu mau bergabung dengan yang
Di tempat yang berbeda tanpa ada gangguan dari suara bising dan seliweran orang-orang, Sean dan Veronica kini duduk berdua dengan pandangan mata yang saling memindai. Sambil menikmati segelas kopi yang dihidangkan oleh pelayan, Veronica lantas memperhatikan taman indoor yang berada di dalam Mansion lengkap dengan air terjun mini buatan. Definisi dari orang kaya bisa melakukan apapun tergambar dengan jelas di Mansion mewah ini. "Jadi Mami harus memanggilmu dengan nama Sean atau Dean?" Veronica mengalihkan tatapannya pada sang menantu. Sean tersenyum samar, ia menundukkan kepalanya sekejap sebelum kemudian mengawasi Veronica dengan teduh. "Terserah Mami saja. Baik Dean maupun Sean, dua-duanya tetaplah menantu Mami." "Mami sudah mendengar sebagian cerita tentangmu melalui Ralp. Tapi, Mami ingin mendengar cerita yang sebenarnya dari bibirmu sendiri, Sean," paksa Veronica. "Apa sebenarnya tujuanmu mengelabui kami? Kenapa harus Rhein?" "Tidak ada tujuan apapun, Mi. Saya berani bersump
Lantunan lagu selamat ulang tahun menggema diiringi oleh musik orkestra. Pun semua tamu menyanyikan lagu yang sama sambil bertepuk tangan dengan riuh. Lilin angka 75 tahun yang berada di tengah-tengah cake berbentuk mahkota itu lantas ditiup oleh Nyonya Chevalier ketika host memberi aba-aba. Tepuk tangan yang semakin gaduh pun terdengar bergantian dengan kembang api yang melesat tinggi ke angkasa. Semua tamu terperangah takjub ketika kembang api itu lantas meledak di langit dan menampilkan percikan-percikan api berwarna-warni yang mempesona. Tak terkecuali Rhein yang duduk di antara ratusan tamu yang diundang. Dengan tenda yang beratap transparan, kilauan kembang api itu bisa ia lihat dengan jelas dari tempatnya duduk. Untuk sejenak, Rhein melupakan rasa takut yang sesaat lalu menderanya ketika berjumpa dengan Sean. Rhein terpukau hingga tanpa sadar ia ikut tertawa girang kala letusan kembang api itu menggema di angkasa. Sementara itu, dari atas panggung, Sean bisa melihat dengan s
Entah sudah berapa lama Rhein terkurung di dalam ruangan kerja ini bersama Sean. Tak ada obrolan apapun karena Sean malah sibuk dengan laptop di hadapannya. Bukan tanpa alasan Sean mengacuhkan Rhein, ia ingin menyelesaikan beberapa dokumen yang harus ia periksa agar esok lusa di hari Senin, Sean bisa cuti sejenak untuk menikmati waktunya bersama sang istri. Hari minggu saja tak cukup, ia ingin menghabiskan sebanyak mungkin hari agar bisa terus berduaan dengan Rhein. "Kamu lapar?" tanya Sean ketika Rhein nampak mengelus perutnya yang ramping. Dengan cepat, Rhein menggeleng tanpa memperhatikan Sean. Terbiasa membelai perutnya membuat Rhein lupa jika ada Sean di tempat yang sama. Sejak hamil, Rhein selalu reflek melakukan kebiasaan itu untuk berkomunikasi dengan janinnya."Kamu belum makan, kan? Apa perlu aku minta pelayan membawakan makanan untukmu?""Nggak usah! Aku nggak lapar. Aku cuma mau keluar dari sini!" tukas Rhein dengan ketus. Enak saja mengurung Rhein tanpa ijin! Memangnya
Sejak Angela meninggal, Sean baru menyadari bila pusat dunianya telah lenyap bersama jasad tunangannya yang terkubur di dalam tanah. Selama berbulan-bulan, Sean terkatung-katung dalam kelamnya duka. Ia tak pernah menyangka bila kehilangan akan sesakit ini ketika dibarengi oleh rasa bersalah dan penyesalan. Sean pikir, hidupnya tak akan pernah sama lagi sejak kepergian Angela, ia akan terus menerus dihantui rasa bersalah seumur hidup dan tak akan pernah layak dicintai oleh perempuan manapun. Namun, sejak melihat Rhein malam itu, semangat Sean untuk menjalani hidup seolah bersemi kembali. Ia melihat Angela dalam wujud yang berbeda, ia ingin melindungi perempuan ini, Sean ingin terus berada di dekat wanita ini! Dan malam ini, setelah semua kejadian menyakitkan yang sempat ia lalui, akhirnya Sean bisa memeluk Rhein tanpa harus takut akan identitasnya terbongkar lagi. Sebelum acara neneknya selesai, Sean menculik Rhein pergi dari Mansion dan membawanya ke penthouse. Tanpa berpamitan pad
Sean tak menyukai anak-anak. Dia benci pada anak kecil. Pemahaman yang terpatri dipikiran Rhein membuatnya galau untuk mengakui kehamilannya pada Sean. Mereka baru saja berbaikan dan berdamai, Rhein tak sampai hati membuat Sean kembali bersedih dan kecewa bila mendengar kenyataan yang saat ini terjadi. "Mulai hari ini, untuk sementara waktu, biar Ivan yang mengantarmu pergi ke manapun. Aku tidak mau kamu menyetir sendiri, Rhein." Entah harus sedih atau bahagia dengan perlakuan Sean yang sangat protektif, nyatanya Rhein menurut saja ketika Ivan sudah bersiap sedari pagi untuk mengantarnya bekerja di hari selasa. "Jadi namamu Ivan?" tanya Rhein sembari memperhatikan pria yang sedang mengemudikan mobil milik suaminya."Betul, Nona." Ivan mengangguk dengan hormat tanpa berani melirik sang majikan dari spion."Sudah berapa lama kamu bekerja pada Sean?" Rhein kembali bertanya. Ivan nampak terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat berapa tahun yang ia habiskan untuk mengabdi pada kelu
Ketika hari mulai petang, Rhein baru saja keluar dari kantor. Ivan yang selalu standby menunggunya, sontak membukakan pintu mobil ketika melihat Rhein keluar dari lobi. "Iya, Mi. Nanti Rhein pasti bilang kok sama Sean." Sambil meringsek masuk ke dalam mobil SUV itu, Rhein tetap fokus dengan handphone-nya. "Iya, beres. Mami jangan khawatir!" sambungnya berjanji. Setelah menyelesaikan percakapannya dengan Veronica, Rhein lantas memperhatikan Ivan yang masih belum menjalankan mobil. "Kenapa nggak jalan?" "Oh," pekik Ivan terkejut. Rupanya ia sempat melamun ketika Rhein tengah asyik bertelepon tadi. "Maaf, Nona. Apa kita langsung pulang?" "Iya. Kita langsung pulang." Tiba di penthouse setelah melalui perjalanan yang macet selama satu jam, Rhein tak menemukan Sean di dalam. Ia lantas memutuskan untuk mandi agar ketika suaminya datang, Rhein sudah wangi dan segar. Sayangnya, setelah Rhein cukup lama menunggu dengan perut yang mulai kelaparan, Sean lantas mengabari jika neneknya meng
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga