POV ZAVIERHari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa, ujian akhir kami sebagai siswa akhirnya tiba. Deg-degan? Sudah pasti.Aku duduk di bangkuku, sambil memutar bolpoin tanpa sadar. Sesekali, pandanganku melirik ke arah Aluna yang duduk beberapa baris di depan.Pandangannya fokus ke kertas ujian. Raut wajahnya begitu tenang—terlalu tenang, malah. Mungkin soal-soal ujian kami sangat mudah baginya, pasalnya dia pintar. Hanya saja, ada hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati ketika melihatnya. Mengapa beberapa hari terakhir ini sikapnya cukup aneh?Dia berubah. Dingin. Tidak seperti Aluna yang kukenal sebelumnya. Padahal, sebelum ujian, dia masih baik-baik saja dan kami sering belajar bersama.Dia dengan sabar mengajariku materi yang tidak kumengerti, meskipun sesekali sengaja membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal karena dia makin kesal, makin menggemaskan.Aku masih ingat saat dia kesal padaku sampai ngambek karena dia sudah sibuk menjelaskan, tetapi aku malah tert
POV ZAVIER Pikiranku semakin kalut hingga memutuskan untuk pergi mencari Aluna ke tempat yang kemungkinan dia datangi. Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba ponselku di saku celana bergetar, membuatku langsung menepikan motor dan berhenti, berharap ada kabar baik yang akan mempertemukan kami. Aku sempat ragu beberapa detik begitu melihat pesan dari nomor tak dikenal, tetapi karena penasaran akhirnya aku menggeser layar untuk membaca pesannya. “Halo, Zavier. Apa lo sedang mencari Aluna, pacar kesayangan lo?” Aku menelan ludah sambil berpikir kenapa orang ini tahu kalau aku sedang mencari Aluna? “Siapa lo?” balasku cepat. “Lo tidak perlu tau siapa gue. Tapi, lo harus tau tentang ini?” Ting! Pesan kembali masuk. Kali ini, beserta foto seorang perempuan yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Mulutnya dilakban, terdapat beberapa luka di wajahnya. Deg! Aluna. Aku sontak melebarkan mata melihat istriku ternyata sedang dalam bahaya. “Pacar lo ada di tangan gue. Kalo ma
POV ZAVIERPintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras dan saat itu juga, lampu yang temaram langsung menyala, menerangi seluruh ruangan.Hal yang membuatku lebih terkejut lagi saat 2 pria berbadan tinggi besar masuk dan langsung Mira dan teman-temannya hingga tersungkur di hadapan kami. Mereka tampak babak belur, dengan tangan terikat dan lakban yang menutupi mulut mereka.Salah satu pria itu melepas lakban dari mulut mereka membuat 3 gadis itu menjerit kesakitan.Mira menatap mereka emosi, napasnya memburu. “Brengsek kalian! Lepasin kami! Siapa yang nyuruh lo?!”Aku mengernyit bingung, menatap mereka satu per satu. Kalau Mira juga disekap … lantas, siapa yang sebenarnya melakukan semua ini?Perasaanku mulai tak nyaman. Aku berbalik ke arah Aluna, setidaknya mencari solusi darinya. Namun, Aluna yang seharusnya masih terikat di kursi, kini sudah berdiri. Dengan gerakan santai, melepas tali yang kukira mengikat erat tangannya tadi.Jantungku berdegup kencang. Merasa ada yang salah d
POV ALUNA Hari yang mendebarkan itu sudah tiba, hal itu berarti sudah tiba saatnya juga aku mulai menjalankan misi terselebung yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari, sebelum pindah ke sekolah ini. Soal Zavier, yang aku tahu terlibat penganiayaan Kak Alina, tetapi dia sepertinya tak berniat untuk menjelaskan padaku atau sekadar meminta maaf akan perbuatannya. Walau mulutnya berkata tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu. Pembicaraan dengan ibunya saat itu menguatkan pradugaku. Sejauh ini, aku sudah cukup memberikan pria bergelar suamiku itu perhatian penuh. Puncaknya, saat hampir tiba waktu ujian. Aku setiap hari, mengajarinya pelajaran yang tidak dimengerti, mengulang materi yang dia malas pelajari, dan mengawasi dia agar tidak seenaknya sendiri. Meskipun semuanya tak berjalan mulus karena dia sangat menyebalkan. Masih jelas dalam ingatanku saat dia tiba-tiba merebut bukuku hanya karena dia bosan belajar. “Gue pusing banget, Lun. Kita ist
Aku langsung melempar tubuh ke sofa begitu tiba di apartemen Tama seolah-olah menghempas segala beban yang sejak tadi menumpuk di dada. Aku bisa merasakan Kak Aidan yang saat ini sedang fokus ke laptopnya, beralih menatapku. Sementara itu, Tama hanya berdiri di dekat dapur dengan tangan terlipat di depan dada.“Tumben kalian udah pulang kantor jam segini?” tanyaku sambil melirik jam tangan. Sudah menunjukkan pukul 4 lebih 30 menit.“Entah siapa yang nyuruh kami berdua pulang cepat?” cibir Tama yang membuatku tertawa cengengesan. Sebelumnya, aku memang meminta mereka pulang cepat karena ingin berbicara perihal investasi terselebungku malam ini. Paling tidak, aku akan meminta bantuan, meskipun sepertinya ini agak sulit. Soalnya, mereka pernah bilang tidak mau ikut campur, bahkan sudah memperingatiku berulang kali agar tak melanjutkan misiku.Tanpa basa-basi, aku pun berkata, “Malam ini, gue mau nyulik orang-orang yang udah nyakitin Kak Alina.”Kak Aidan langsung menatapku tajam. Ada r
Setelah orang suruhanku kembali dan melaporkan kalau sudah menyelesaikan misi, aku pun berjalan untuk memastikan.Kini, aku berdiri di balik pintu, mengamati dengan saksama. Mira dan teman-temannya terduduk di lantai yang penuh tumpukan debu itu. Mara mereka tertutup kain hitam, jelas tak bisa melihatku. Mulut ditutupi menggunakan plaster hitam agar tak berteriak. Tangan mereka diikat erat di belakang punggung. Ada semacam kelegaan mengalir dalam diriku saat melihat mereka terperangkap seperti ini. Aku senang, meskipun sisi lain hatiku merasa perbuatanku ini cukup jahat. Namun, perbuatan mereka lebih jahat pada kakakku. Dan, juga telah berniat ingin membuatku seperti Kak Alina. Jadi, biar aku saja yang membuatnya merasakan itu.Aku tersenyum tipis. Tidak kasihan sama sekali. Tidak juga menyesal. Mereka semua harus tahu seperti apa rasanya disiksa, seperti yang telah mereka lakukan pada Kak Alina.Aku berbalik dan tanpa berkata banyak, aku memerintahkan dengan suara yang tegas, “Bik
Mendengar perkataanku, Zavier langsung terpaku. Mungkin sibuk mencerna maksudku.Tatapannya yang tajam, lurus ke arahku, seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Suasana yang senyap ini makin terasa mencekam, Mira yang kini terduduk di lantai menatapku dengan tatapan beringas sambil menggerak-gerakkan tubuh dengan kesal berusaha melepaskan diri. “Lo gila, Aluna! Jadi, ini perbuatan lo. Brengsek lo?”Aku tersenyum bengis ke arahnya. Lantas berjalan mendekat dan mencengkeram wajah gadis yang membuatku sangat muak itu. “Gue sudah bilang, jangan macam-macam sama gue!” Plak! Aku menamparnya tanpa perasaan. Seperti yang pernah dilakukannya padaku, juga pada Kak Alina dulu.Aku bangkit, sempat menoleh ke arah Zavier yang menatapku seperti butuh penjelasan. Namun, aku tak peduli, hingga orang suruhanku kembali datang menyeret Adnan dan Raka masuk ke ruangan.Dengan satu dorongan keras, mereka be
Kedatangan mereka tak sedikit pun mengurungkan niatku. Balok kayu di tangan kuangkat tinggi-tinggi, siap untuk menghajar Mira lagi, tetapi sebelum benda itu dapat menyentuh Mira, tubuhku langsung tertarik menjauh.“Cukup, Aluna, cukup!” tegas Kak Aidan yang langsung menarikku ke dalam pelukannya.Aku meronta di pelukannya, berusaha melawan. “Lepasin, Kak! Gue belum selesai sama mereka!”Kak Aidan tetap memelukku erat, menekan kepalaku ke dadanya seakan enggan membiarkanku lepas. “Sudah cukup, Lun. Lo akan kena masalah kalau melakukan yang lebih dari ini.”“Gue enggak peduli, Kak! Mereka sudah nyiksa Kak Alina. Gue harus membalas lebih dari itu!” bentakku.“Tapi lo salah orang, Lun! Lo menyiksa Zavier dan teman-temannya. Mereka enggak bersalah!”Deg!Aku langsung terpaku. Diam, mendengar perkataan Kak Aidan. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan itu? Dari mana dia tahu Zavier tidak bersalah?Saat aku mulai lengah, Kak Aidan menarik balok kayu dari tanganku dan membuangnya ke sisi ruangan. “
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j
POV ALUNA Sebab kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kemacetan panjang membuat perjalananku menuju bandara subuh tadi terhambat. Sempat kuminta supir agar putar balik dan mencari jalan pintas agar cepat tiba di tujuan, tetapi tidak bisa karena di belakang dan damping kami sudah penuh dengan mobil lain. Dan, kemacetan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya, tiba di bandara, aku tergesa-gesa menuju counter check-in. Saking buru-burunya, aku sampai menabrak orang. Untungnya, orang itu tak mempersalahkan setelah aku meminta maaf. Entah, ini yang namanya sial atau bukan, tetapi bagiku tidak ada keberuntungan hari ini. “Maaf, Bu. Penerbangan Anda sudah boarding. Kami tidak bisa mengizinkan penumpang masuk setelah boarding gate ditutup.” Begitu kata petugas maskapai tadi, menambah daftar ketidakberuntunganku hari ini. Aku mengernyit. Masih mencoba bernegosiasi. “Tolong, Pak. Saya benar-benar harus n
Aku tidak peduli dengan apa pun lagi sekarang. Tidak dengan nyeri di perutku bekas hantaman kemarin. Pun tidak dengan teriakan supir yang meminta agar aku bisa tenang dulu, yang kupikirkan hanya satu hal—Aluna.Setelah mendapat kabar buruk itu, aku langsung memutuskan ke bandara untuk mencari informasi terbaru, berharap kabar itu tidak benar dan Aluna masih baik-baik saja.Setibanya di bandara, aku l berlari melewati orang-orang yang berkerumun. Suara isak tangis memenuhi area, wajah-wajah putus asa bertebaran di mana-mana. Aku bukan satu-satunya yang kehilangan seseorang hari ini. Aku berlari menghampiri petugas dengan napas tersengal. “Korban kecelakaan pesawat … tujuan Indonesia–Australia .…” Aku nyaris tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Aluna … istriku salah satu penumpang pesawat itu! Apa … apa ada kabar tentang korban yang selamat?”Petugas itu menatapku dengan raut muram. “Saat ini, tim penyelamat masih dalam proses pencarian,
POV ZAVIERPulang dari rumah sakit, aku hanya duduk termenung di tepi ranjang, istirahat agar cepat pulih. Sesekali, menatap foto di ponselku dengan senyum miris. Foto Aluna. Gadis itu tersenyum lebar ke arah kamera.Tiba-tiba, perasaan bersalah mencekam di dadaku. Sembari mengusap wajahnya di dalam layar itu, aku berkata, “Maaf, harusnya gue jujur aja dari awal soal Alina. Tidak perlu menyembunyikan kalau gue mengenalnya. Harusnya, gue enggak perlu takut lo membenci gue dan keluarga gue jika tau apa yang sebenarnya terjadi?”Aku menghela napas berat. Tahu diri kalau salah. Sengaja berbohong bukan karena ingin menyembunyikan darinya, tapi karena aku takut. Takut dia semakin membenciku. Takut dia menjauhiku. Dan, takut kehilangan Aluna, karena sejak awal aku sudah menyukainya. Mungkin, ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.Aku menggeser layar, berganti melihat foto Kak Zavran. Wajahnya memang sangat mirip denganku, wajar
Kini, aku berjalan perlahan, menuntun Zavier yang baru keluar dari ruang rawatnya. Dia memegang perut. Raut wajahnya sedikit tertekuk, mungkin menahan sakit yang masih terasa bekas pukulan di tubuhnya. Aku menggenggam tangan kirinya, mencoba membantu agar langkahnya tak terlalu berat. Meskipun dokter sudah mengizinkan pulang, tetapi aku tahu bahwa tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih.Tiba di lobby rumah sakit, terlihat sudah ada mobil yang sedang menunggu. Ada orang tua Zavier juga Oma di sana. Mereka tersenyum, tampak lega begitu melihat kami.“Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” ujarku pelan, berusaha berbicara menggunakan bahasa yang sedikit lebih sopan, karena di depan orang tua. Takut mereka mengomel panjang lebar.Zavier tampak terkejut, langsung menoleh padaku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Kenapa?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar sedikit tertahan.Aku menghela napas, mencoba tetap tenang, meskipun hati ini s
“Mengapa kamu kekeh membela pembawa sial ini, Zavier?!” Kak Zeny masih tak terima Zavier membelaku. Tatapannya tajam, seakan ingin menelanku hidup-hidup.Aku tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Lagi-lagi batin ini merasa sangat terluka mendengar perkataan Kak Zeny. Namun, aku tak bisa melawan, walau sebenarnya mampu. Tak ingin makin memperkeruh suasana.Seraya menggigit bibir, aku menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Namun, semakin kutahan, semakin deras butiran-butiran itu jatuh tanpa bisa kucegah.“Heh! Tidak usah menangis! Palingan itu air mata palsu untuk cari perhatian atau pembelaan Zavier!” Kak Zeny mendengus sinis. “Dasar munafik!”Sebuah tamparan keras seperti menghantamku. Namun, bukan di pipi, melainkan di hatiku.Aku tertegun. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menelan mentah-mentah perkataan Kak Zeny yang terus memojokkanku.“Pergi dari sini cewek sialan! Kamu tid—”“Kak, cukup!” seru Zavier.
Aku masih berdiri, mengerjap beberapa kali, memastikan kalau tidak salah dengar. Namun, tatapan Zavier padaku tidak berubah, tetap serius. Sesaat, tetap bergeming ketika Zavier menepuk kasur di sampingnya, seolah ingin memastikan aku mengerti maksudnya.“Kalau lo tidur di sofa yang ada besok tubuh lo sakit semua. Jadi, tidur di sini. Gue enggak bakal macem-macem,” katanya dengan nada santai. Namun, aku tetap melihat kilatan nakal di sana. “Yang benar aja? Nanti lo sempit kalau gue tidur di situ.”“Enggak. Ini luas, kok. Bisa nampung kita berdua.”Aku memutar bola mata. Berusaha mencari alasan agar tidak sampai tidur bersamanya. Ngadi-ngadi saja Zavier itu. “Gue tidur di sofa aja, deh, Zav. Biar lo lebih leluasa.”Dia mendengus, tampak kesal. Sebelum benar-benar berbalik, tangannya terulur menarikku mendekat. Kali ini, genggamannya lebih erat dari tadi. Jarak kami tinggal beberapa senti sekarang, bahkan aku bisa menciu