"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra itu selalu jadi yang terbaik di mata mereka, kan?” gumam Nadya pada dirinya sendiri, duduk di meja riasnya yang penuh dengan parfum mahal dan kosmetik. “Sementara aku? Aku cuma bayangan yang tak dianggap.”Pikirannya terus berkecamuk, mengingat bagaimana keluarga Bramantyo lebih memuja kakak tirinya, yang kini sedang hamil anak Raka. Kakek Bramantyo bahkan memberikan perhatian yang tak pernah Nadya rasakan. Semuanya terasa menusuk harga dirinya.Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunannya. Nadya segera merapikan wajahnya.“Nadya, kamu sudah siap?” suara Bu Ratna, ibu mertuanya, terdengar dari luar.Nadya berdehem pelan. “Iya, Ma. Sebentar lagi.”“Cepat sedikit, ya. Jangan terlambat.”Setelah suara langkah menjauh, Nadya menatap bayangannya di cermin. “Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerima aku. Tapi aku akan buat mereka lihat betapa pentingnya aku.”*"Mana Arga?" tanya Kakek Bramantyo, sambil menyendokkan sup ke piringnya. Matanya menyapu seluruh meja, jelas mencari sos
Mas, aku cuma pergi ke dapur, nggak usah diikutin terus,” ucap Citra, meletakkan piring di wastafel dengan nada kesal.Raka, yang berdiri tidak jauh darinya, hanya tersenyum sambil menyilangkan tangan di dada. “Aku cuma mau memastikan kamu nggak kecapekan, Sayang. Tahu sendiri kan, dokter bilang kamu harus banyak istirahat.”Citra menghela napas panjang, melirik suaminya yang kini semakin protektif. “Istirahat itu kan nggak berarti aku cuma boleh duduk atau tidur terus. Aku masih bisa beraktivitas ringan.”“Tapi aktivitas ringan itu juga bisa aku bantu, jadi kamu nggak perlu repot,” balas Raka, mendekati Citra sambil mengambil alih piring yang hendak dicucinya. “Sudah, sini. Kamu duduk saja di ruang tamu. Biar aku yang beresin.”“Mas!” Citra memprotes, tapi suaminya tidak menggubris.Raka langsung menggulung lengan kemejanya dan mulai mencuci piring dengan ekspresi serius. Citra hanya bisa menggelengkan kepala sambil bersandar di meja dapur.“Kamu sadar nggak, sekarang aku jadi merasa
“Citra, kamu sudah siap?” suara Raka terdengar dari ruang tamu, menggema hingga ke kamar.“Sebentar, Mas!” Citra membalas sambil menyisir rambutnya dengan tergesa-gesa. Ia melirik jam di dinding dan menghela napas panjang. “Kenapa sih kamu harus selalu buru-buru?” gumamnya pelan.Raka muncul di ambang pintu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku nggak buru-buru, Sayang. Aku cuma nggak mau kita terlambat. Ini kan hari penting.”Citra memutar mata sambil menyimpan sisirnya. “Hari penting? Itu kan cuma USG. Kenapa kamu heboh banget sih?”“Bukan cuma USG, Citra. Kita bakal lihat bayi kita untuk pertama kalinya. Aku nggak mau ada yang terlewat.” Raka mendekat, mengambil tas kecil yang sudah dipersiapkan Citra di atas meja. “Ayo, sebelum aku yang deg-degan duluan.”Citra tertawa kecil melihat suaminya yang lebih antusias daripada dirinya. “Baiklah, tuan suami siaga. Aku siap sekarang.”*Di ruang tunggu klinik, Citra duduk sambil menggenggam tangan Raka. Ruangan itu cukup penuh dengan pasang
“Pa, kenapa muka kamu tegang begitu? Ada masalah?” tanya Ratna, sambil menyajikan secangkir kopi di meja makan.Andi mendongak dari ponselnya, wajahnya muram. “Masalah? Selalu ada masalah, Ma. Apalagi kalau menyangkut keluarga Bramantyo.”Siska mengernyitkan dahi, meletakkan cangkirnya. “Ini soal Raka lagi, ya?”Andi mendengus. “Kabar Citra hamil anak laki-laki itu seperti menjadi bahan bakar tambahan buat Papa.”“Bukannya itu wajar, Pa? Mereka memang bahagia sekarang,” ujar Ratna berusaha terdengar netral.“Bahagia? Jangan bikin aku ketawa, Ma. Aku tahu apa yang Papa lakukan. Ini sama persis dengan perlakuannya padaku dan Rudi dulu,” jawab Andi, nada suaranya mulai meninggi.Ratna menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menyimpan dendam. Papa mungkin punya alasannya sendiri.”“Alasan?” Andi membanting ponselnya ke meja. “Alasan apa yang bisa membenarkan dia memperlakukan aku seperti sampah? Dan sekarang, anakku—Arga—juga diperlakukan seperti it
“Mas, apa kita benar-benar harus ke rumah Kakek hari ini?” tanya Citra sambil menata kerudungnya di depan cermin.“Harus, Citra. Kakek Bramantyo harus tahu kabar baik ini langsung dari kita,” jawab Raka dari ruang tamu, suaranya terdengar mantap.Citra keluar dari kamar, menyipitkan mata ke arah suaminya. “Tapi aku punya firasat aneh, Mas. Kalau Nadya ada di sana, dia pasti akan bikin suasana nggak enak.”“Kalau Nadya ada di sana, aku yang urus. Kamu nggak usah khawatir,” Raka menenangkannya sambil meraih tas kecil berisi dokumen hasil pemeriksaan kandungan.“Baiklah, tapi aku nggak mau ribut,” ucap Citra sambil berjalan menuju pintu.Raka membuka pintu mobil dan membantu Citra masuk. “Percayalah, ini cuma kunjungan biasa.”*Sesampainya di rumah Kakek Bramantyo, suasana terasa sedikit sepi. Pintu utama terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang biasa menyambut mereka“Kok sepi ya?” bisik Citra sambil menggenggam tangan Raka.“Mungkin mereka lagi di ruang keluarga. Ayo masuk,” ujar Raka
“Citra, kamu sudah siap?” suara Raka terdengar dari ruang tamu, menggema hingga ke kamar.“Sebentar, Mas!” Citra membalas sambil menyisir rambutnya dengan tergesa-gesa. Ia melirik jam di dinding dan menghela napas panjang. “Kenapa sih kamu harus selalu buru-buru?” gumamnya pelan.Raka muncul di ambang pintu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku nggak buru-buru, Sayang. Aku cuma nggak mau kita terlambat. Ini kan hari penting.”Citra memutar mata sambil menyimpan sisirnya. “Hari penting? Itu kan cuma USG. Kenapa kamu heboh banget sih?”“Bukan cuma USG, Citra. Kita bakal lihat bayi kita untuk pertama kalinya. Aku nggak mau ada yang terlewat.” Raka mendekat, mengambil tas kecil yang sudah dipersiapkan Citra di atas meja. “Ayo, sebelum aku yang deg-degan duluan.”Citra tertawa kecil melihat suaminya yang lebih antusias daripada dirinya. “Baiklah, tuan suami siaga. Aku siap sekarang.”*Di ruang tunggu klinik, Citra duduk sambil menggenggam tangan Raka. Ruangan itu cukup penuh dengan pasang
Mas, aku cuma pergi ke dapur, nggak usah diikutin terus,” ucap Citra, meletakkan piring di wastafel dengan nada kesal.Raka, yang berdiri tidak jauh darinya, hanya tersenyum sambil menyilangkan tangan di dada. “Aku cuma mau memastikan kamu nggak kecapekan, Sayang. Tahu sendiri kan, dokter bilang kamu harus banyak istirahat.”Citra menghela napas panjang, melirik suaminya yang kini semakin protektif. “Istirahat itu kan nggak berarti aku cuma boleh duduk atau tidur terus. Aku masih bisa beraktivitas ringan.”“Tapi aktivitas ringan itu juga bisa aku bantu, jadi kamu nggak perlu repot,” balas Raka, mendekati Citra sambil mengambil alih piring yang hendak dicucinya. “Sudah, sini. Kamu duduk saja di ruang tamu. Biar aku yang beresin.”“Mas!” Citra memprotes, tapi suaminya tidak menggubris.Raka langsung menggulung lengan kemejanya dan mulai mencuci piring dengan ekspresi serius. Citra hanya bisa menggelengkan kepala sambil bersandar di meja dapur.“Kamu sadar nggak, sekarang aku jadi merasa
“Citra itu selalu jadi yang terbaik di mata mereka, kan?” gumam Nadya pada dirinya sendiri, duduk di meja riasnya yang penuh dengan parfum mahal dan kosmetik. “Sementara aku? Aku cuma bayangan yang tak dianggap.”Pikirannya terus berkecamuk, mengingat bagaimana keluarga Bramantyo lebih memuja kakak tirinya, yang kini sedang hamil anak Raka. Kakek Bramantyo bahkan memberikan perhatian yang tak pernah Nadya rasakan. Semuanya terasa menusuk harga dirinya.Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunannya. Nadya segera merapikan wajahnya.“Nadya, kamu sudah siap?” suara Bu Ratna, ibu mertuanya, terdengar dari luar.Nadya berdehem pelan. “Iya, Ma. Sebentar lagi.”“Cepat sedikit, ya. Jangan terlambat.”Setelah suara langkah menjauh, Nadya menatap bayangannya di cermin. “Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerima aku. Tapi aku akan buat mereka lihat betapa pentingnya aku.”*"Mana Arga?" tanya Kakek Bramantyo, sambil menyendokkan sup ke piringnya. Matanya menyapu seluruh meja, jelas mencari sos
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha