“Mas, apa kita benar-benar harus ke rumah Kakek hari ini?” tanya Citra sambil menata kerudungnya di depan cermin.“Harus, Citra. Kakek Bramantyo harus tahu kabar baik ini langsung dari kita,” jawab Raka dari ruang tamu, suaranya terdengar mantap.Citra keluar dari kamar, menyipitkan mata ke arah suaminya. “Tapi aku punya firasat aneh, Mas. Kalau Nadya ada di sana, dia pasti akan bikin suasana nggak enak.”“Kalau Nadya ada di sana, aku yang urus. Kamu nggak usah khawatir,” Raka menenangkannya sambil meraih tas kecil berisi dokumen hasil pemeriksaan kandungan.“Baiklah, tapi aku nggak mau ribut,” ucap Citra sambil berjalan menuju pintu.Raka membuka pintu mobil dan membantu Citra masuk. “Percayalah, ini cuma kunjungan biasa.”*Sesampainya di rumah Kakek Bramantyo, suasana terasa sedikit sepi. Pintu utama terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang biasa menyambut mereka“Kok sepi ya?” bisik Citra sambil menggenggam tangan Raka.“Mungkin mereka lagi di ruang keluarga. Ayo masuk,” ujar Raka
“Pa, kenapa muka kamu tegang begitu? Ada masalah?” tanya Ratna, sambil menyajikan secangkir kopi di meja makan.Andi mendongak dari ponselnya, wajahnya muram. “Masalah? Selalu ada masalah, Ma. Apalagi kalau menyangkut keluarga Bramantyo.”Siska mengernyitkan dahi, meletakkan cangkirnya. “Ini soal Raka lagi, ya?”Andi mendengus. “Kabar Citra hamil anak laki-laki itu seperti menjadi bahan bakar tambahan buat Papa.”“Bukannya itu wajar, Pa? Mereka memang bahagia sekarang,” ujar Ratna berusaha terdengar netral.“Bahagia? Jangan bikin aku ketawa, Ma. Aku tahu apa yang Papa lakukan. Ini sama persis dengan perlakuannya padaku dan Rudi dulu,” jawab Andi, nada suaranya mulai meninggi.Ratna menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menyimpan dendam. Papa mungkin punya alasannya sendiri.”“Alasan?” Andi membanting ponselnya ke meja. “Alasan apa yang bisa membenarkan dia memperlakukan aku seperti sampah? Dan sekarang, anakku—Arga—juga diperlakukan seperti it
Nadya segera keluar dari kafe, mengabaikan tatapan penasaran beberapa pengunjung. Dia menekan nomor Arga dengan cepat. Panggilan pertama tidak dijawab. Panggilan kedua juga diabaikan. Pada percobaan ketiga, akhirnya tersambung.“Kenapa teleponku bertubi-tubi? Aku lagi sibuk,” suara Arga terdengar malas di ujung sana.“Arga, kamu di mana sekarang?” tanya Nadya tanpa basa-basi.“Itu urusanmu? Aku nggak perlu lapor setiap kali aku keluar rumah.”“Dengar, ini penting. Papa marah besar, dan dia nyuruh aku cari kamu. Kalau kamu nggak mau pulang sekarang, aku yang kena,” kata Nadya dengan nada serius.Arga tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Nggak ada waktu buat bercanda, Arga. Kalau aku diusir dari rumah Kakek gara-gara kamu, aku nggak akan tinggal diam,” ancam Nadya.“Jadi, ini tentang kamu, ya? Bukan tentang aku atau keluarga?” sindir Arga.Nadya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku cuma minta tolong, Arga. Kalau nggak mau bantu aku, minimal bantu dirimu sendiri. Pula
“Arga, buka pintunya!” Nadya mengetuk keras pintu apartemen itu, suaranya terdengar tegas. Ia sudah tahu suaminya ada di dalam, karena mobil Arga terparkir di depan.“Arga! Jangan pura-pura nggak dengar!”Dari dalam, terdengar suara langkah kaki mendekat, lalu pintu terbuka sedikit. Wajah Arga muncul di celah pintu, terlihat lelah dan kusut.“Apa lagi, Nadya?” Arga menghela napas panjang. “Kenapa kamu terus datang mencariku?”“Kamu pikir aku mau? Aku di sini karena Papa yang memaksaku,” Nadya menjawab dengan tajam. “Kamu nggak bisa terus-terusan kabur seperti ini, Arga.”“Papa memaksamu? Atau kamu cuma takut kehilangan tempatmu di keluarga Bramantyo?” Arga membuka pintu lebih lebar, menatap Nadya dengan tatapan tajam.Nadya mendelik. “Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan. Yang jelas, aku di sini untuk bawa kamu pulang. Papa sangat marah, dan aku nggak mau jadi sasaran amarahnya.”Arga tertawa pendek, penuh sarkasme. “Tentu saja, Nadya. Kamu nggak pernah peduli soal aku. Yang kamu p
“Arga, kamu mau makan malam dulu atau langsung istirahat?” Nadya berdiri di ambang pintu kamar, senyumnya terlihat lebih hangat dari biasanya.Arga, yang sedang melepas jas di dalam kamar, menoleh dengan ekspresi datar. “Aku nggak lapar. Aku cuma mau tidur.”Nadya mendekat dengan langkah ringan, membawa nampan kecil berisi segelas susu dan beberapa potong roti. “Kalau begitu, minum ini dulu. Kamu butuh tenaga. Lihat dirimu, kelihatan lelah sekali.”Arga mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba perhatian sekali?”Nadya tertawa kecil, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku cuma mencoba memperbaiki hubungan kita, Arga. Aku tahu aku nggak sempurna, tapi aku mau kita kembali seperti dulu.”“Dulu?” Arga mendengus, mengambil gelas susu tanpa banyak berpikir. “Dulu kita juga nggak pernah benar-benar bahagia, Nadya.”Nadya tersenyum tipis, meskipun matanya terlihat tegang. “Itu karena kita selalu sibuk mendengarkan apa kata orang lain. Aku ingin mulai mendengarkan kamu, Arg
Bab 88“Arga, kamu sudah bangun?” Nadya bertanya dengan nada lembut, berdiri di dekat jendela sambil membenahi tirai. Cahaya matahari pagi masuk ke kamar mereka, memberikan suasana hangat yang kontras dengan suasana hati Arga.Arga, yang masih terbaring di tempat tidur, hanya mendengus pelan. “Aku bangun, tapi aku nggak mau bicara, Nadya.”Nadya menoleh, senyumnya tipis tapi penuh kemenangan. “Kenapa? Apa kamu masih marah?”Arga duduk perlahan di tepi tempat tidur, kepalanya terasa berat. “Marah? Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam, tapi aku tahu ada yang nggak beres.”Nadya mendekat dengan langkah pelan, duduk di sebelahnya. “Arga, aku hanya ingin kita kembali ke jalur yang benar. Aku nggak mau hubungan kita terus seperti ini.”Arga menatap Nadya dengan mata yang penuh kecurigaan. “Kamu pikir dengan cara seperti ini semuanya bisa diperbaiki? Kamu memanfaatkan aku, Nadya. Itu jelas!”Nadya menarik napas panjang, mencoba menenangkan
“Kamu serius mau ngasih tahu mereka sekarang?” Arga bertanya sambil melipat tangan di depan dada. Matanya menatap tajam ke arah Nadya, yang sedang berdiri di depan cermin sambil membenarkan riasannya.Nadya tersenyum kecil, memoleskan lipstik dengan hati-hati. “Tentu saja. Aku harus mengabarkan berita baik ini secepat mungkin. Keluarga Bramantyo berhak tahu.”Arga mendengus pelan. “Kamu benar-benar percaya mereka akan peduli? Atau ini cuma caramu buat dapat perhatian mereka lagi?”Nadya menoleh dengan ekspresi serius. “Arga, ini tentang keluarga kita. Tentang anak kita. Aku hanya ingin memastikan posisiku di keluarga ini kuat. Apa itu salah?”Arga tidak langsung menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke jendela. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.Di ruang keluarga, Raka dan Citra sedang duduk bersama Kakek Bramantyo. Mereka tengah membahas rencana perusahaan ketika suara langkah Nadya menggema di lorong.“Nadya,” Citra menoleh, s
"Mas, aku nggak ngerti. Ada yang nggak beres sama Nadya," ucap Citra sambil menatap Raka dengan ekspresi serius. Mereka sedang duduk di sofa dalam kamar mereka di kediaman Kakek Bramantyo. Suasana rumah terasa tegang setelah pengumuman kehamilan Nadya tadi pagiRaka menghela napas, mencoba meredakan kekhawatiran istrinya. "Citra, jangan langsung berprasangka buruk. Lagi pula kita juga nggak punya bukti apa-apa sekarang."Citra menggeleng tegas. "Aku tahu Mas, tapi aku nggak bisa diam. Cara Nadya ngomong tadi ... kayak dia terlalu memaksa supaya kita percaya. Apalagi Arga, kelihatan banget dia nggak nyaman.""Memang kelihatan aneh," gumam Raka. Dia teringat bagaimana Arga nyaris tidak bereaksi saat Nadya dengan bangga mengumumkan kehamilannya. Tetapi, Raka merasa perlu untuk tetap tenang."Kalau memang ada sesuatu, kita bakal tahu kok. Kamu jangan terlalu dipikirin, ya?" tambah Raka, mencoba mengalihkan perhatian istrinya.Sekarang kehamilan Citra lebih penting dan dia tidak ingin Cit
Awal dari Kebahagiaan"Mama, kapan adik bayinya lahir?" suara Aidan terdengar riang di ruang keluarga.Citra tersenyum, mengelus perutnya yang sudah besar. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin beberapa minggu lagi."Aidan mengangguk, lalu menoleh ke Raka yang sedang menyiapkan makanan ringan di dapur. "Papa, kalau adik bayi lahir, aku boleh main sama dia tiap hari?"Raka tertawa kecil, berjalan mendekati putranya. "Tentu saja, tapi kamu harus hati-hati. Adik bayi masih kecil dan butuh banyak istirahat."Citra menatap dua lelaki kesayangannya dengan perasaan penuh syukur. Setelah semua yang mereka lalui—pengkhianatan, konflik keluarga, ancaman, bahkan kehilangan—akhirnya mereka bisa sampai di titik ini. Kehidupan mereka kini jauh lebih damai.Pernikahan Sederhana NadyaDi tempat lain, Nadya berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih sederhana. Matanya berbinar, campuran gugup dan bahagia."Kamu cantik sekali, Nadya," puji Citra yang berdiri di belakangnya.Nadya tersenyum malu. "Kak,
Bab 128: Awal Baru"Nadya, aku di sini," ujar Raka lembut sambil menepuk pundak adik iparnya. Suaranya tenang, namun penuh kekhawatiran.Nadya duduk di kursi belakang mobil dengan tubuh gemetar. Ia memandang Raka dengan mata yang basah. "Terima kasih, Raka... kalau bukan karena kamu, aku mungkin..." Suaranya terputus oleh isak tangis."Sudah, jangan pikirkan itu lagi," potong Raka. "Yang penting sekarang kamu selamat. Kita akan bawa kamu pulang.""Aku nggak tahu apa aku bisa kembali," kata Nadya pelan. "Semua ini terlalu berat. Aku malu...""Nggak ada yang perlu kamu malu, Nadya," sahut Raka tegas. "Apa yang terjadi ini bukan salahmu. Kamu adalah korban."Di kursi depan, salah satu anggota tim keamanan berbalik. "Pak Raka, kita sebaiknya menuju tempat aman dulu sebelum membawa dia pulang. Gudang tadi mungkin masih diawasi anak buah Fajar."Raka mengangguk. "Benar. Kita ke tempat yang sudah disiapkan. Nadya butuh istirahat.""Aku... aku nggak ingin merepotkan," kata Nadya, suaranya ham
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay