“Pa, kenapa muka kamu tegang begitu? Ada masalah?” tanya Ratna, sambil menyajikan secangkir kopi di meja makan.Andi mendongak dari ponselnya, wajahnya muram. “Masalah? Selalu ada masalah, Ma. Apalagi kalau menyangkut keluarga Bramantyo.”Siska mengernyitkan dahi, meletakkan cangkirnya. “Ini soal Raka lagi, ya?”Andi mendengus. “Kabar Citra hamil anak laki-laki itu seperti menjadi bahan bakar tambahan buat Papa.”“Bukannya itu wajar, Pa? Mereka memang bahagia sekarang,” ujar Ratna berusaha terdengar netral.“Bahagia? Jangan bikin aku ketawa, Ma. Aku tahu apa yang Papa lakukan. Ini sama persis dengan perlakuannya padaku dan Rudi dulu,” jawab Andi, nada suaranya mulai meninggi.Ratna menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menyimpan dendam. Papa mungkin punya alasannya sendiri.”“Alasan?” Andi membanting ponselnya ke meja. “Alasan apa yang bisa membenarkan dia memperlakukan aku seperti sampah? Dan sekarang, anakku—Arga—juga diperlakukan seperti it
“Oh, Arga … kamu hebat sekali.”Citra tercengang manakala ia mendengar suara seorang wanita mendesahkan nama tunangannya dari dalam kamar hotel. “Ya, Sayang! Seperti itu … ah!”Suara pergumulan itu semakin keras begitu pintu hotel Citra buka tanpa dua orang di dalam sadari.Selagi memberanikan diri, Citra mengintip dari celah pintu untuk memastikan apa yang terjadi di dalam sana. Dan seketika, dia pun membeku dengan tangan menutup mulut.Di dalam ruangan, Citra mendapati Arga, tunangannya, tengah bergumul dengan seorang wanita yang tidak lain adalah kakak tiri Citra sendiri, Nadya!‘Oh, Tuhan!’ batin Citra dengan tubuh bergetar dan mata berkaca-kaca.Hari itu, Citra diminta Wedding Organizer untuk memeriksa sejumlah hal, termasuk kamar hotel yang akan menjadi tempat dirinya dan sang calon suami menghabiskan malam pertama mereka beberapa hari lagi. Akan tetapi, siapa yang menyangka dirinya malah berakhir menangkap perselingkuhan pria itu dengan kakak tirinya sendiri?!Dengan tangan
Ucapan Nadya membuat seisi ruangan menegang. Bukan hanya Bramantyo yang tampak terkejut dengan pernyataan Nadya, tapi ayah Citra sendiri juga. Karena satu pernyataan putri tirinya itu, terbukti bahwa pernyataannya mengenai Arga tidak akan berselingkuh lagi setelah menikah dengan Citra sama saja dengan omong kosong belaka! Buktinya, mereka sudah melakukannya berulang kali!Bramantyo menatap cucunya dengan tatapan dingin, penuh kekecewaan. “Memalukan! Kamu telah mempermalukan keluarga kita dan mengkhianati Citra yang tulus!”“Ini salah kalian karena terlalu memanjakannya,” seru Bramantyo yang kini menatap kedua orang tua Arga yang juga hanya dapat menundukan kepala mereka. “Kamu benar-benar adalah aib bagi keluarga Bramantyo!” Bramantyo menunjuk-nunjuk wajah Arga dengan penuh emosi, sehingga membuat nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Kakek,” Citra kemudian memegang lengan Bramantyo dan menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Bramantyo memejamkan matanya berusaha menahan rasa amarah
Citra menelan ludah seraya menatap wajah Arga. Dirinya tidak mau menikah dengan Raka, tapi dia lebih tidak mau menikah dengan pria brengsek di depannya ini, “Keputusanku tak akan pernah berubah sampai kapan pun, Arga.”Arga menggigit bibir bawahnya, tahu jika wanita di hadapannya tak gampang berpindah haluan. Sesaat kemudian dia pun tersenyum licik.“Citra, kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi,” Arga berkata dengan nada mengejek, matanya menyala dengan amarah yang bercampur frustasi. “Kamu pikir Bang Raka adalah solusi? Dia punya penyakit aseksual! Kamu akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Hidupmu hanya akan menjadi neraka, Citra.”Citra menatap Arga dengan tatapan tajam, “Arga, aku tidak akan kembali padamu. Bahkan jika aku harus menikahi Mas Raka, setidaknya aku tidak akan menjadi istri dari pria yang mengkhianati kepercayaannya sendiri.”Arga terdiam, tidak menyangka Citra akan memberikan jawaban tegas. “Citra, aku serius. Kamu harus tah
Citra tertegun. Pria itu adalah Raka. Bukan Raka yang dilihatnya di foto beberapa hari yang lalu—kusut, tidak terurus, dan kasar. Ini adalah Raka yang sangat berbeda, Raka yang tampan, matang dan gagah, dengan aura yang membuat setiap orang di ruangan itu terpana. Nadya dan Anita tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya saling pandang, bingung dan terkejut, sementara Raka berjalan mendekati Nadya dengan langkah mantap. “Apa yang kalian katakan tadi?” tanya Raka lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, tetapi masih dipenuhi dengan otoritas. Anita berusaha mencari kata-kata, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Nadya pun hanya bisa menggeleng, tidak mampu menghadapi tatapan tajam Raka. Kemudian keduanya pergi meninggalkan ruangan. Raka kemudian memalingkan wajahnya ke arah Citra dan tersenyum tipis. “Maaf, Citra. Aku sedikit terlambat,” bisiknya dengan lembut, berbeda sekali dari kesan keras yang terpancar dari penampilannya. “Terima kasih telah menolongku,” ucap Citra deng
Raka menerima amplop dari tangan Citra dengan alis terangkat. Dia membuka amplop dan membaca isinya. Citra mencoba memperhatikan raut wajah Raka ketika membaca surat kontrak tersebut. “Kalau Mas mau menambahkan poin lainnya atau ada keberatan, kita bisa diskusikan kembali,” suara Citra terdengar lemah. Dalam benaknya, ia merasa khawatir apabila Raka menolak perjanjian itu. “Apa ada alasan kenapa kamu mengajukan ini?” Citra ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. Setelah menimbang beberapa saat, Citra akhirnya berkata, “Uhmm, aku hanya merasa ini akan menguntungkan kita berdua. Kita sama-sama terpaksa menerima pernikahan ini. Dan, aku juga tahu bahwa Mas Raka memiliki aseksual, jadi…” Ucapan Citra terhenti begitu melihat wajah Raka yang kelihatan tidak senang setelah mendengar aib-nya dibuka begitu saja. Citra menggigit bibirnya, merasa telah salah berbicara dan takut menyinggung Raka. “Aseksual?” Raka mendengus geli. Ia kemudian kembali menatap Citra, “Baiklah kal
Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan. Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyu
Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
“Pa, kenapa muka kamu tegang begitu? Ada masalah?” tanya Ratna, sambil menyajikan secangkir kopi di meja makan.Andi mendongak dari ponselnya, wajahnya muram. “Masalah? Selalu ada masalah, Ma. Apalagi kalau menyangkut keluarga Bramantyo.”Siska mengernyitkan dahi, meletakkan cangkirnya. “Ini soal Raka lagi, ya?”Andi mendengus. “Kabar Citra hamil anak laki-laki itu seperti menjadi bahan bakar tambahan buat Papa.”“Bukannya itu wajar, Pa? Mereka memang bahagia sekarang,” ujar Ratna berusaha terdengar netral.“Bahagia? Jangan bikin aku ketawa, Ma. Aku tahu apa yang Papa lakukan. Ini sama persis dengan perlakuannya padaku dan Rudi dulu,” jawab Andi, nada suaranya mulai meninggi.Ratna menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menyimpan dendam. Papa mungkin punya alasannya sendiri.”“Alasan?” Andi membanting ponselnya ke meja. “Alasan apa yang bisa membenarkan dia memperlakukan aku seperti sampah? Dan sekarang, anakku—Arga—juga diperlakukan seperti it
“Mas, apa kita benar-benar harus ke rumah Kakek hari ini?” tanya Citra sambil menata kerudungnya di depan cermin.“Harus, Citra. Kakek Bramantyo harus tahu kabar baik ini langsung dari kita,” jawab Raka dari ruang tamu, suaranya terdengar mantap.Citra keluar dari kamar, menyipitkan mata ke arah suaminya. “Tapi aku punya firasat aneh, Mas. Kalau Nadya ada di sana, dia pasti akan bikin suasana nggak enak.”“Kalau Nadya ada di sana, aku yang urus. Kamu nggak usah khawatir,” Raka menenangkannya sambil meraih tas kecil berisi dokumen hasil pemeriksaan kandungan.“Baiklah, tapi aku nggak mau ribut,” ucap Citra sambil berjalan menuju pintu.Raka membuka pintu mobil dan membantu Citra masuk. “Percayalah, ini cuma kunjungan biasa.”*Sesampainya di rumah Kakek Bramantyo, suasana terasa sedikit sepi. Pintu utama terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang biasa menyambut mereka“Kok sepi ya?” bisik Citra sambil menggenggam tangan Raka.“Mungkin mereka lagi di ruang keluarga. Ayo masuk,” ujar Raka
“Citra, kamu sudah siap?” suara Raka terdengar dari ruang tamu, menggema hingga ke kamar.“Sebentar, Mas!” Citra membalas sambil menyisir rambutnya dengan tergesa-gesa. Ia melirik jam di dinding dan menghela napas panjang. “Kenapa sih kamu harus selalu buru-buru?” gumamnya pelan.Raka muncul di ambang pintu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku nggak buru-buru, Sayang. Aku cuma nggak mau kita terlambat. Ini kan hari penting.”Citra memutar mata sambil menyimpan sisirnya. “Hari penting? Itu kan cuma USG. Kenapa kamu heboh banget sih?”“Bukan cuma USG, Citra. Kita bakal lihat bayi kita untuk pertama kalinya. Aku nggak mau ada yang terlewat.” Raka mendekat, mengambil tas kecil yang sudah dipersiapkan Citra di atas meja. “Ayo, sebelum aku yang deg-degan duluan.”Citra tertawa kecil melihat suaminya yang lebih antusias daripada dirinya. “Baiklah, tuan suami siaga. Aku siap sekarang.”*Di ruang tunggu klinik, Citra duduk sambil menggenggam tangan Raka. Ruangan itu cukup penuh dengan pasang
Mas, aku cuma pergi ke dapur, nggak usah diikutin terus,” ucap Citra, meletakkan piring di wastafel dengan nada kesal.Raka, yang berdiri tidak jauh darinya, hanya tersenyum sambil menyilangkan tangan di dada. “Aku cuma mau memastikan kamu nggak kecapekan, Sayang. Tahu sendiri kan, dokter bilang kamu harus banyak istirahat.”Citra menghela napas panjang, melirik suaminya yang kini semakin protektif. “Istirahat itu kan nggak berarti aku cuma boleh duduk atau tidur terus. Aku masih bisa beraktivitas ringan.”“Tapi aktivitas ringan itu juga bisa aku bantu, jadi kamu nggak perlu repot,” balas Raka, mendekati Citra sambil mengambil alih piring yang hendak dicucinya. “Sudah, sini. Kamu duduk saja di ruang tamu. Biar aku yang beresin.”“Mas!” Citra memprotes, tapi suaminya tidak menggubris.Raka langsung menggulung lengan kemejanya dan mulai mencuci piring dengan ekspresi serius. Citra hanya bisa menggelengkan kepala sambil bersandar di meja dapur.“Kamu sadar nggak, sekarang aku jadi merasa
“Citra itu selalu jadi yang terbaik di mata mereka, kan?” gumam Nadya pada dirinya sendiri, duduk di meja riasnya yang penuh dengan parfum mahal dan kosmetik. “Sementara aku? Aku cuma bayangan yang tak dianggap.”Pikirannya terus berkecamuk, mengingat bagaimana keluarga Bramantyo lebih memuja kakak tirinya, yang kini sedang hamil anak Raka. Kakek Bramantyo bahkan memberikan perhatian yang tak pernah Nadya rasakan. Semuanya terasa menusuk harga dirinya.Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunannya. Nadya segera merapikan wajahnya.“Nadya, kamu sudah siap?” suara Bu Ratna, ibu mertuanya, terdengar dari luar.Nadya berdehem pelan. “Iya, Ma. Sebentar lagi.”“Cepat sedikit, ya. Jangan terlambat.”Setelah suara langkah menjauh, Nadya menatap bayangannya di cermin. “Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerima aku. Tapi aku akan buat mereka lihat betapa pentingnya aku.”*"Mana Arga?" tanya Kakek Bramantyo, sambil menyendokkan sup ke piringnya. Matanya menyapu seluruh meja, jelas mencari sos
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha