“Oh, Arga … kamu hebat sekali.”Citra tercengang manakala ia mendengar suara seorang wanita mendesahkan nama tunangannya dari dalam kamar hotel. “Ya, Sayang! Seperti itu … ah!”Suara pergumulan itu semakin keras begitu pintu hotel Citra buka tanpa dua orang di dalam sadari.Selagi memberanikan diri, Citra mengintip dari celah pintu untuk memastikan apa yang terjadi di dalam sana. Dan seketika, dia pun membeku dengan tangan menutup mulut.Di dalam ruangan, Citra mendapati Arga, tunangannya, tengah bergumul dengan seorang wanita yang tidak lain adalah kakak tiri Citra sendiri, Nadya!‘Oh, Tuhan!’ batin Citra dengan tubuh bergetar dan mata berkaca-kaca.Hari itu, Citra diminta Wedding Organizer untuk memeriksa sejumlah hal, termasuk kamar hotel yang akan menjadi tempat dirinya dan sang calon suami menghabiskan malam pertama mereka beberapa hari lagi. Akan tetapi, siapa yang menyangka dirinya malah berakhir menangkap perselingkuhan pria itu dengan kakak tirinya sendiri?!Dengan tangan
Ucapan Nadya membuat seisi ruangan menegang. Bukan hanya Bramantyo yang tampak terkejut dengan pernyataan Nadya, tapi ayah Citra sendiri juga. Karena satu pernyataan putri tirinya itu, terbukti bahwa pernyataannya mengenai Arga tidak akan berselingkuh lagi setelah menikah dengan Citra sama saja dengan omong kosong belaka! Buktinya, mereka sudah melakukannya berulang kali!Bramantyo menatap cucunya dengan tatapan dingin, penuh kekecewaan. “Memalukan! Kamu telah mempermalukan keluarga kita dan mengkhianati Citra yang tulus!”“Ini salah kalian karena terlalu memanjakannya,” seru Bramantyo yang kini menatap kedua orang tua Arga yang juga hanya dapat menundukan kepala mereka. “Kamu benar-benar adalah aib bagi keluarga Bramantyo!” Bramantyo menunjuk-nunjuk wajah Arga dengan penuh emosi, sehingga membuat nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Kakek,” Citra kemudian memegang lengan Bramantyo dan menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Bramantyo memejamkan matanya berusaha menahan rasa amarah
Citra menelan ludah seraya menatap wajah Arga. Dirinya tidak mau menikah dengan Raka, tapi dia lebih tidak mau menikah dengan pria brengsek di depannya ini, “Keputusanku tak akan pernah berubah sampai kapan pun, Arga.”Arga menggigit bibir bawahnya, tahu jika wanita di hadapannya tak gampang berpindah haluan. Sesaat kemudian dia pun tersenyum licik.“Citra, kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi,” Arga berkata dengan nada mengejek, matanya menyala dengan amarah yang bercampur frustasi. “Kamu pikir Bang Raka adalah solusi? Dia punya penyakit aseksual! Kamu akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Hidupmu hanya akan menjadi neraka, Citra.”Citra menatap Arga dengan tatapan tajam, “Arga, aku tidak akan kembali padamu. Bahkan jika aku harus menikahi Mas Raka, setidaknya aku tidak akan menjadi istri dari pria yang mengkhianati kepercayaannya sendiri.”Arga terdiam, tidak menyangka Citra akan memberikan jawaban tegas. “Citra, aku serius. Kamu harus tah
Citra tertegun. Pria itu adalah Raka. Bukan Raka yang dilihatnya di foto beberapa hari yang lalu—kusut, tidak terurus, dan kasar. Ini adalah Raka yang sangat berbeda, Raka yang tampan, matang dan gagah, dengan aura yang membuat setiap orang di ruangan itu terpana. Nadya dan Anita tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya saling pandang, bingung dan terkejut, sementara Raka berjalan mendekati Nadya dengan langkah mantap. “Apa yang kalian katakan tadi?” tanya Raka lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, tetapi masih dipenuhi dengan otoritas. Anita berusaha mencari kata-kata, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Nadya pun hanya bisa menggeleng, tidak mampu menghadapi tatapan tajam Raka. Kemudian keduanya pergi meninggalkan ruangan. Raka kemudian memalingkan wajahnya ke arah Citra dan tersenyum tipis. “Maaf, Citra. Aku sedikit terlambat,” bisiknya dengan lembut, berbeda sekali dari kesan keras yang terpancar dari penampilannya. “Terima kasih telah menolongku,” ucap Citra deng
Raka menerima amplop dari tangan Citra dengan alis terangkat. Dia membuka amplop dan membaca isinya. Citra mencoba memperhatikan raut wajah Raka ketika membaca surat kontrak tersebut. “Kalau Mas mau menambahkan poin lainnya atau ada keberatan, kita bisa diskusikan kembali,” suara Citra terdengar lemah. Dalam benaknya, ia merasa khawatir apabila Raka menolak perjanjian itu. “Apa ada alasan kenapa kamu mengajukan ini?” Citra ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. Setelah menimbang beberapa saat, Citra akhirnya berkata, “Uhmm, aku hanya merasa ini akan menguntungkan kita berdua. Kita sama-sama terpaksa menerima pernikahan ini. Dan, aku juga tahu bahwa Mas Raka memiliki aseksual, jadi…” Ucapan Citra terhenti begitu melihat wajah Raka yang kelihatan tidak senang setelah mendengar aib-nya dibuka begitu saja. Citra menggigit bibirnya, merasa telah salah berbicara dan takut menyinggung Raka. “Aseksual?” Raka mendengus geli. Ia kemudian kembali menatap Citra, “Baiklah kal
Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan. Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyu
Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
"Mas, aku nggak ngerti. Ada yang nggak beres sama Nadya," ucap Citra sambil menatap Raka dengan ekspresi serius. Mereka sedang duduk di sofa dalam kamar mereka di kediaman Kakek Bramantyo. Suasana rumah terasa tegang setelah pengumuman kehamilan Nadya tadi pagiRaka menghela napas, mencoba meredakan kekhawatiran istrinya. "Citra, jangan langsung berprasangka buruk. Lagi pula kita juga nggak punya bukti apa-apa sekarang."Citra menggeleng tegas. "Aku tahu Mas, tapi aku nggak bisa diam. Cara Nadya ngomong tadi ... kayak dia terlalu memaksa supaya kita percaya. Apalagi Arga, kelihatan banget dia nggak nyaman.""Memang kelihatan aneh," gumam Raka. Dia teringat bagaimana Arga nyaris tidak bereaksi saat Nadya dengan bangga mengumumkan kehamilannya. Tetapi, Raka merasa perlu untuk tetap tenang."Kalau memang ada sesuatu, kita bakal tahu kok. Kamu jangan terlalu dipikirin, ya?" tambah Raka, mencoba mengalihkan perhatian istrinya.Sekarang kehamilan Citra lebih penting dan dia tidak ingin Cit
“Kamu serius mau ngasih tahu mereka sekarang?” Arga bertanya sambil melipat tangan di depan dada. Matanya menatap tajam ke arah Nadya, yang sedang berdiri di depan cermin sambil membenarkan riasannya.Nadya tersenyum kecil, memoleskan lipstik dengan hati-hati. “Tentu saja. Aku harus mengabarkan berita baik ini secepat mungkin. Keluarga Bramantyo berhak tahu.”Arga mendengus pelan. “Kamu benar-benar percaya mereka akan peduli? Atau ini cuma caramu buat dapat perhatian mereka lagi?”Nadya menoleh dengan ekspresi serius. “Arga, ini tentang keluarga kita. Tentang anak kita. Aku hanya ingin memastikan posisiku di keluarga ini kuat. Apa itu salah?”Arga tidak langsung menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke jendela. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.Di ruang keluarga, Raka dan Citra sedang duduk bersama Kakek Bramantyo. Mereka tengah membahas rencana perusahaan ketika suara langkah Nadya menggema di lorong.“Nadya,” Citra menoleh, s
Bab 88“Arga, kamu sudah bangun?” Nadya bertanya dengan nada lembut, berdiri di dekat jendela sambil membenahi tirai. Cahaya matahari pagi masuk ke kamar mereka, memberikan suasana hangat yang kontras dengan suasana hati Arga.Arga, yang masih terbaring di tempat tidur, hanya mendengus pelan. “Aku bangun, tapi aku nggak mau bicara, Nadya.”Nadya menoleh, senyumnya tipis tapi penuh kemenangan. “Kenapa? Apa kamu masih marah?”Arga duduk perlahan di tepi tempat tidur, kepalanya terasa berat. “Marah? Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam, tapi aku tahu ada yang nggak beres.”Nadya mendekat dengan langkah pelan, duduk di sebelahnya. “Arga, aku hanya ingin kita kembali ke jalur yang benar. Aku nggak mau hubungan kita terus seperti ini.”Arga menatap Nadya dengan mata yang penuh kecurigaan. “Kamu pikir dengan cara seperti ini semuanya bisa diperbaiki? Kamu memanfaatkan aku, Nadya. Itu jelas!”Nadya menarik napas panjang, mencoba menenangkan
“Arga, kamu mau makan malam dulu atau langsung istirahat?” Nadya berdiri di ambang pintu kamar, senyumnya terlihat lebih hangat dari biasanya.Arga, yang sedang melepas jas di dalam kamar, menoleh dengan ekspresi datar. “Aku nggak lapar. Aku cuma mau tidur.”Nadya mendekat dengan langkah ringan, membawa nampan kecil berisi segelas susu dan beberapa potong roti. “Kalau begitu, minum ini dulu. Kamu butuh tenaga. Lihat dirimu, kelihatan lelah sekali.”Arga mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba perhatian sekali?”Nadya tertawa kecil, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku cuma mencoba memperbaiki hubungan kita, Arga. Aku tahu aku nggak sempurna, tapi aku mau kita kembali seperti dulu.”“Dulu?” Arga mendengus, mengambil gelas susu tanpa banyak berpikir. “Dulu kita juga nggak pernah benar-benar bahagia, Nadya.”Nadya tersenyum tipis, meskipun matanya terlihat tegang. “Itu karena kita selalu sibuk mendengarkan apa kata orang lain. Aku ingin mulai mendengarkan kamu, Arg
“Arga, buka pintunya!” Nadya mengetuk keras pintu apartemen itu, suaranya terdengar tegas. Ia sudah tahu suaminya ada di dalam, karena mobil Arga terparkir di depan.“Arga! Jangan pura-pura nggak dengar!”Dari dalam, terdengar suara langkah kaki mendekat, lalu pintu terbuka sedikit. Wajah Arga muncul di celah pintu, terlihat lelah dan kusut.“Apa lagi, Nadya?” Arga menghela napas panjang. “Kenapa kamu terus datang mencariku?”“Kamu pikir aku mau? Aku di sini karena Papa yang memaksaku,” Nadya menjawab dengan tajam. “Kamu nggak bisa terus-terusan kabur seperti ini, Arga.”“Papa memaksamu? Atau kamu cuma takut kehilangan tempatmu di keluarga Bramantyo?” Arga membuka pintu lebih lebar, menatap Nadya dengan tatapan tajam.Nadya mendelik. “Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan. Yang jelas, aku di sini untuk bawa kamu pulang. Papa sangat marah, dan aku nggak mau jadi sasaran amarahnya.”Arga tertawa pendek, penuh sarkasme. “Tentu saja, Nadya. Kamu nggak pernah peduli soal aku. Yang kamu p
Nadya segera keluar dari kafe, mengabaikan tatapan penasaran beberapa pengunjung. Dia menekan nomor Arga dengan cepat. Panggilan pertama tidak dijawab. Panggilan kedua juga diabaikan. Pada percobaan ketiga, akhirnya tersambung.“Kenapa teleponku bertubi-tubi? Aku lagi sibuk,” suara Arga terdengar malas di ujung sana.“Arga, kamu di mana sekarang?” tanya Nadya tanpa basa-basi.“Itu urusanmu? Aku nggak perlu lapor setiap kali aku keluar rumah.”“Dengar, ini penting. Papa marah besar, dan dia nyuruh aku cari kamu. Kalau kamu nggak mau pulang sekarang, aku yang kena,” kata Nadya dengan nada serius.Arga tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Nggak ada waktu buat bercanda, Arga. Kalau aku diusir dari rumah Kakek gara-gara kamu, aku nggak akan tinggal diam,” ancam Nadya.“Jadi, ini tentang kamu, ya? Bukan tentang aku atau keluarga?” sindir Arga.Nadya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku cuma minta tolong, Arga. Kalau nggak mau bantu aku, minimal bantu dirimu sendiri. Pula
“Pa, kenapa muka kamu tegang begitu? Ada masalah?” tanya Ratna, sambil menyajikan secangkir kopi di meja makan.Andi mendongak dari ponselnya, wajahnya muram. “Masalah? Selalu ada masalah, Ma. Apalagi kalau menyangkut keluarga Bramantyo.”Siska mengernyitkan dahi, meletakkan cangkirnya. “Ini soal Raka lagi, ya?”Andi mendengus. “Kabar Citra hamil anak laki-laki itu seperti menjadi bahan bakar tambahan buat Papa.”“Bukannya itu wajar, Pa? Mereka memang bahagia sekarang,” ujar Ratna berusaha terdengar netral.“Bahagia? Jangan bikin aku ketawa, Ma. Aku tahu apa yang Papa lakukan. Ini sama persis dengan perlakuannya padaku dan Rudi dulu,” jawab Andi, nada suaranya mulai meninggi.Ratna menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menyimpan dendam. Papa mungkin punya alasannya sendiri.”“Alasan?” Andi membanting ponselnya ke meja. “Alasan apa yang bisa membenarkan dia memperlakukan aku seperti sampah? Dan sekarang, anakku—Arga—juga diperlakukan seperti it
“Mas, apa kita benar-benar harus ke rumah Kakek hari ini?” tanya Citra sambil menata kerudungnya di depan cermin.“Harus, Citra. Kakek Bramantyo harus tahu kabar baik ini langsung dari kita,” jawab Raka dari ruang tamu, suaranya terdengar mantap.Citra keluar dari kamar, menyipitkan mata ke arah suaminya. “Tapi aku punya firasat aneh, Mas. Kalau Nadya ada di sana, dia pasti akan bikin suasana nggak enak.”“Kalau Nadya ada di sana, aku yang urus. Kamu nggak usah khawatir,” Raka menenangkannya sambil meraih tas kecil berisi dokumen hasil pemeriksaan kandungan.“Baiklah, tapi aku nggak mau ribut,” ucap Citra sambil berjalan menuju pintu.Raka membuka pintu mobil dan membantu Citra masuk. “Percayalah, ini cuma kunjungan biasa.”*Sesampainya di rumah Kakek Bramantyo, suasana terasa sedikit sepi. Pintu utama terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang biasa menyambut mereka“Kok sepi ya?” bisik Citra sambil menggenggam tangan Raka.“Mungkin mereka lagi di ruang keluarga. Ayo masuk,” ujar Raka
“Citra, kamu sudah siap?” suara Raka terdengar dari ruang tamu, menggema hingga ke kamar.“Sebentar, Mas!” Citra membalas sambil menyisir rambutnya dengan tergesa-gesa. Ia melirik jam di dinding dan menghela napas panjang. “Kenapa sih kamu harus selalu buru-buru?” gumamnya pelan.Raka muncul di ambang pintu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku nggak buru-buru, Sayang. Aku cuma nggak mau kita terlambat. Ini kan hari penting.”Citra memutar mata sambil menyimpan sisirnya. “Hari penting? Itu kan cuma USG. Kenapa kamu heboh banget sih?”“Bukan cuma USG, Citra. Kita bakal lihat bayi kita untuk pertama kalinya. Aku nggak mau ada yang terlewat.” Raka mendekat, mengambil tas kecil yang sudah dipersiapkan Citra di atas meja. “Ayo, sebelum aku yang deg-degan duluan.”Citra tertawa kecil melihat suaminya yang lebih antusias daripada dirinya. “Baiklah, tuan suami siaga. Aku siap sekarang.”*Di ruang tunggu klinik, Citra duduk sambil menggenggam tangan Raka. Ruangan itu cukup penuh dengan pasang