“Benar ini anak aku, Nadya?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Arga begitu saja, tanpa pikir panjang. Mereka sedang duduk di ruang tamu, Nadya sibuk memeriksa ponselnya, sementara Arga hanya memandangi cangkir kopinya yang tak disentuh. Nadya mendongak perlahan, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Apa maksud kamu ngomong kayak gitu, Arga?” “Aku cuma... merasa ada yang aneh. Kamu tahu kan hubungan kita belakangan ini nggak baik,” jawab Arga pelan, mencoba menahan emosi. “Jadi kamu nuduh aku selingkuh? Begitu maksudnya?” Nadya meletakkan ponselnya dengan keras di meja, nadanya mulai meninggi. “Nggak ada yang bilang begitu,” kata Arga, mencoba tetap tenang. “Aku cuma mau tahu. Ini anak aku, ‘kan?” “Kamu benar-benar nggak tahu malu, Arga! Kamu tega ngomong kayak gitu ke istri kamu sendiri? Aku ini hamil anak kamu, dan sekarang kamu malah nuduh aku yang aneh-aneh!” Nadya berdiri dari kursinya, wajahnya memerah karena amarah. Arga menghela napas panjang. Ia tahu percakapan ini tidak akan be
"Jadi, menurutmu gimana, Tante Ratih? Aku harus gimana supaya Citra nggak salah paham sama aku?" Nadya memulai percakapan dengan suara lembut, seperti mencoba memancing simpati.Nadya tahu dia sudah tidak bisa mendapatkan dukungan lagi di keluarga utama Bramantyo. Namun, menurutnya itu tidak masalah. Nadya bisa mencari dukungan lain dari keluarga besar Bramantyo.Maka itu yang ia lakukan sekarang.Tante Ratih, salah satu anggota keluarga Bramantyo yang terkenal sering mendengarkan gosip, menatap Nadya dengan alis mengerut. "Salah paham gimana maksud kamu, Nadya?"Nadya menghela napas panjang, lalu menunduk, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan. "Aku cuma merasa akhir-akhir ini Citra ... ya, seperti nggak suka sama aku. Mungkin karena aku hamil, dia jadi merasa tersaingi."“Citra tersaingi? Ah, nggak mungkin,” balas Tante Ratih sambil melipat tangan di depan dada.“Aku juga nggak mau berpikiran jelek, Tante. Tapi, ya, aku lihat dia selalu menghindar setiap aku ajak ngobrol. Kalau
“Arga, aku butuh bicara,” suara Citra terdengar tegas, tetapi nadanya tetap lembut. Ia berdiri di depan pintu ruang kerja Arga, mengetuk dengan pelan.Arga yang sedang duduk termenung dengan secangkir kopi dingin di mejanya mengangkat kepala. Tatapannya kosong, mencerminkan kegelisahan yang telah ia pendam. “Masuklah, Citra,” jawabnya pelan.Citra melangkah masuk, menutup pintu dengan hati-hati. Ia menarik napas panjang sebelum duduk di kursi di depan Arga.“Arga, aku nggak akan bertele-tele. Aku mau tahu ... apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Nadya?” Citra memulai tanpa basa-basi, menatap langsung ke mata Arga.Arga terdiam sejenak, memutar cangkir di tangannya. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Karena aku tahu ada yang nggak beres. Aku tahu hubungan kalian nggak seperti yang kalian tunjukkan di depan keluarga. Aku bisa lihat dari caramu bersikap,” ujar Citra dengan nada serius.Arga menghela napas panjang, tubuhnya tampak lebih merosot di kursi. “Aku ... aku ng
"Pak Raka, saya ada informasi baru," suara Budi terdengar berat di telepon.Raka mengernyit, mencondongkan tubuh di kursinya. "Apa itu, Bud? Langsung saja.""Dari beberapa kali saya mengikuti Ibu Nadya, ada satu hal yang mencurigakan," kata Budi hati-hati. "Dia sering bertemu dengan seseorang. Namanya Rama. Saya cek, dia teman lama dari lingkungan yang sama dengan Bu Nadya."Raka menghela napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya yang mulai memuncak. "Sering bertemu, ya? Di mana biasanya?""Beberapa kali di kafe kecil di pusat kota. Dan terakhir saya lihat mereka bicara di mobil Rama, cukup lama. Nadya tampaknya sangat nyaman bersamanya," jelas Budi.Raka mengetuk meja kerjanya dengan ujung jari, pikirannya berputar cepat. "Kamu yakin ini bukan hanya pertemuan biasa?""Pak, maaf kalau saya lancang. Tapi dari cara mereka berinteraksi, kelihatannya ini lebih dari sekadar pertemanan," Budi menjawab dengan nada tegas."Baik. Kamu teruskan penyelidikan ini. Kalau bisa, pastikan ada bu
"Pak, ini file yang saya kumpulkan," ujar Budi sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal.Raka mengambil amplop itu dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hatinya berkecamuk berbagai emosi. "Apa saja isinya?""Foto-foto dan beberapa rekaman video. Salah satu video menunjukkan Bu Nadya dan Rama masuk ke sebuah hotel beberapa minggu sebelum pengumuman kehamilan," jelas Budi sambil menunduk hormat.Raka membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya ada serangkaian foto yang diambil dari berbagai sudut, menunjukkan Nadya dan Rama berbicara dengan akrab di lobi hotel. Ada juga cuplikan video pendek yang merekam mereka memasuki lift bersama."Bagus," kata Raka singkat, suaranya dingin. "Simpan salinan dari semua ini. Kalau ada yang terjadi, aku nggak mau bukti ini hilang.""Siap, Pak. Semuanya sudah saya backup di tempat aman," jawab Budi dengan penuh keyakinan.Raka mengangguk, lalu menyimpan amplop itu di dalam laci meja kerjanya. "Budi, tugasmu selesai untuk sekarang. Tetap waspada, tapi
“Pak, ada sesuatu yang penting ini,” suara Budi terdengar serius di ujung telepon. “Saya sudah dapat dokumennya. Kalau ini benar, ini bakal jadi bukti yang sangat kuat.”Raka meraih ponselnya dan mendengar dengan seksama. “Budi, kamu yakin datanya valid? Pastikan bukti itu sudah sangat matang.”“Iya, Pak, ini valid,” jawab Budi yakin.“Baik. Temui saya di rumah nanti malam,” kata Raka singkat sebelum menutup telepon.Pukul delapan malam, Budi tiba di rumah Raka dengan setumpuk dokumen di tangan. Mereka memilih berbicara di ruang kerja.“Ini dia, Pak,” Budi menyerahkan dokumen itu. “Ini adalah hasil tes DNA yang saya lakukan beberapa waktu ini antara Bu Nadya, Pak Arga dan pria lain yang Bu Nadya temui. Dan hasilnya di salah satu kamar hotel yang saya selidiki hanya ada DNA Bu Nadya dengan pria lain, bukan dengan Pak Arga.”Raka memeriksa dokumen itu dengan saksama, lalu satu sudut bibirnya terangkat. “Nadya memang gila.” Raka menatap Budi sambil memasukkan kembali dokumen ke dalam amp
“Tante Dewi, saya benar-benar nggak tahu lagi harus bagaimana…” Nadya berkata pelan, suaranya dibuat terdengar lemah. Ia duduk di ruang tamu sambil menundukkan kepala, sesekali mengusap matanya seolah mencoba menahan tangis.Bu Dewi, salah satu anggota keluarga Bramantyo, yang duduk di depannya menghela napas. “Nadya, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih sekali?”“Saya hanya merasa semua orang di rumah ini sudah nggak peduli sama saya, Tante. Mereka hanya pura-pura baik demi menjaga nama baik keluarga besar. Apalagi Raka dan Citra…” Nadya terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan.Mata Bu Dewi menyipit, penasaran. “Kenapa dengan Raka dan Citra?”Nadya memainkan ujung kerudungnya, berpura-pura ragu. “Saya nggak mau menuduh, Tante, tapi saya lihat mereka itu seperti hanya berpura-pura bahagia. Semuanya terasa… palsu. Mungkin demi menyenangkan Kakek Bramantyo saja.”Bu Dewi terdiam, memikirkan kata-kata Nadya. “Maksudmu, mereka tidak benar-benar bahagia?”“Entahlah, Tante. Tapi setiap kali say
“Mas, aku harus bicara sama Nadya. Ini sudah keterlaluan,” kata Citra dengan nada tegas, menatap Raka yang sedang duduk di meja kerjanya.Raka menghela napas panjang. “Sayang, aku tahu kamu marah. Tapi ini bukan cara yang tepat. Nadya bisa memutarbalikkan semua perkataanmu.”“Justru karena itu aku harus bicara langsung. Kalau aku diam terus, dia akan merasa menang dan terus menyebarkan fitnahnya. Aku nggak mau keluarga kita hancur karena dia,” jawab Citra dengan sorot mata yang tajam.Raka bangkit dari kursinya dan mendekati Citra. “Aku ngerti perasaanmu, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kamu terpancing emosinya. Nadya itu licik.”“Aku nggak akan marah, Mas. Aku cuma mau dia tahu kalau aku nggak akan tinggal diam,” kata Citra sambil menggenggam tangan Raka.Raka menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi aku tetap ada di dekatmu. Kalau dia mulai melampaui batas, aku akan turun tangan.”*Citra berjalan di ruang tamu, di mana Nadya sedang duduk santai sambil
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny
"Mas, aku nggak tenang," suara Citra terdengar lirih saat ia duduk di sofa, tangannya memegang perutnya yang semakin membesar. "Nadya nggak kasih kabar sama sekali. Aku nggak tahu dia di mana atau gimana keadaannya."Raka meletakkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Citra, kamu harus fokus sama kesehatanmu dan bayi kita. Jangan terlalu stres.""Aku nggak bisa," Citra membalas cepat. "Dia saudara aku, Mas. Kalau aku diam saja, aku nggak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Aku harus cari dia."Raka menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Kamu ini keras kepala, ya. Kamu tahu nggak kalau sekarang prioritas kamu itu diri kamu sendiri dan bayi ini? Nadya itu sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya, Mas!" Citra menaikkan nada suaranya sedikit. "Nadya bukan tipe orang yang diam saja kalau ada masalah. Dia pasti sedang dalam kondisi buruk kalau sampai menghilang seperti ini. Aku mohon, temani aku cari dia."Raka terdiam, melih