“Kamu benar-benar nggak merasa bersalah, Nadya?” Arga membuka pembicaraan dengan suara tajam saat dia melangkah ke ruang tamu, di mana Nadya duduk santai, menonton televisi. Wajahnya datar, tak menunjukkan sedikit pun penyesalan.Nadya menoleh santai ke arah Arga. “Kenapa harus merasa bersalah? Aku kan masih istrimu, Arga. Lagipula, semua sudah beres, kan? Papa sudah kasih aku kesempatan kedua.”Arga mengepalkan tangannya erat, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. “Kesempatan kedua? Itu yang bikin aku gak habis pikir. Kamu tahu apa yang kamu lakuin salah besar, tapi masih bisa dengan tenang di sini seolah gak ada apa-apa.”Nadya hanya tersenyum tipis, seolah semua kemarahan Arga itu hal sepele. “Kamu terlalu memperbesar masalah, Ga. Aku udah minta maaf, dan Papa kamu setuju untuk kasih aku kesempatan lagi. Kenapa kamu gak bisa ngelupain semua dan mulai lagi dari awal?”Arga merasa darahnya mendidih mendengar kalimat itu. Nadya begitu santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Nge
"Selamat malam semua, aku sudah siapkan makan malamnya!" Nadya berkata dengan suara ceria, memasang senyum manis saat membawa nampan penuh lauk ke meja makan.Nadya tampak bersemangat, meski wajah-wajah yang menunggunya di meja tidak menunjukkan antusiasme yang sama. Ia berusaha mengabaikan suasana dingin itu, berharap upayanya kali ini bisa sedikit memperbaiki keadaan.Arga duduk di ujung meja, diam dengan pandangan kosong ke arah piringnya. Ratna di sebelahnya, terlihat lebih fokus pada gelas di tangannya daripada makanan di meja. Sedangkan Kakek Bramantyo, duduk tegap dengan ekspresi serius seperti biasanya, mengabaikan keberadaan Nadya sepenuhnya.Namun, Andi yang duduk di sebelah Kakek tampak berusaha menjaga suasana. Dia mengangguk sambil tersenyum kecil, meski terkesan formal. "Bagus, Nadya. Terima kasih sudah membantu pelayan hari ini."Nadya mengangguk dengan semangat, walau senyumnya terasa dipaksakan. "Iya, Pa. Aku pikir hari ini aku mau bantu-bantu sedikit, biar suasana
Citra terbangun dengan perutnya yang bergejolak. Rasa mual yang menyiksa membuatnya terjaga dari tidurnya yang lelap. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang telah dimakannya semalam. "Apa aku salah makan?" gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mulai bercucuran di dahinya.Tak lama kemudian, suara muntahan mengisi ruangan sempit kamar mandi. “Hoek,” Citra mengerang pelan, menahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Tak lama kemudian, ketukan lembut terdengar dari arah pintu."Citra, kamu kenapa?" suara Raka terdengar jelas saat dia mengetuk pintu kamar mandi dengan cemas. Di dalam, Citra masih berusaha menenangkan perutnya yang terus mual.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Citra pelan, berusaha menenangkan suaminya meski tubuhnya terasa lemas. Dia mengatur napasnya, lalu berjalan keluar dengan wajah yang pucat. “Sepertinya cuma salah makan, perutku nggak enak dari tadi malam.”Raka memandang Citra dengan khawatir. “Tapi kamu terlihat pucat ban
Citra terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar dengan senyum geli. Raka, duduk di tepi ranjang, wajahnya menunjukkan ketulusan dan kekhawatiran yang bercampur aduk. Sejak kabar kehamilannya, dan kepulangan mereka dari rumah sakit, Raka seolah berubah menjadi sosok yang sangat melindungi, bahkan terkesan posesif.“Citra, kamu harus lebih hati-hati,” ujar Raka, menatapnya penuh perhatian. “Jika ada yang kamu butuhkan, beri tahu saja.”Citra tertawa pelan, "Hamil itu kan bukan sakit, Mas. Aku masih bisa kok ngapa-ngapain sendiri. Santai aja."Raka yang sedang memasangkan bantal tambahan di belakang punggung Citra mengerutkan keningnya. "Aku cuma nggak mau kamu kecapekan, Cit."Citra tersenyum geli. Tidak menyangka akan melihat sisi lain dari Raka seperti ini. Raka duduk di sampingnya, tatapannya serius, " Cit, aku rasa mulai sekarang kamu nggak usah kerja dulu di kafe."Citra terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Raka, "Nggak kerja di kafe?" tanyanya dengan ragu. "Ta
“Ini terakhir kalinya aku ngeliat dapur ini, ya?” kata Citra pelan, matanya menyapu seluruh sudut kafe tempat ia bekerja selama beberapa bulan terakhir.Rani, sahabatnya di kafe, tiba-tiba merangkul bahunya erat. “Iya, Cit. Aku masih nggak percaya kamu beneran berhenti kerja,” ucap Rani dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata.“Ya ampun, jangan nangis dong, Mbak Rani,” balas Citra sambil tersenyum, meski hatinya juga terasa berat. Rani menyeka air matanya yang mulai jatuh. “Aku ngerti, tapi kita semua bakal kangen banget sama kamu, Cit. Meskipun kamu baru sebentar di sini, tapi kamu tuh udah kayak keluarga di sini.”Saat itu, beberapa pegawai kafe lainnya muncul dari dapur, membawa kue kecil dan balon-balon yang sudah didekorasi dengan sederhana. “Surprise!” teriak mereka bersamaan.Citra terkejut melihat mereka semua bersorak dengan penuh semangat. “Kalian... ngadain ini buat aku?”“Tentu aja! Masa kamu pergi gitu aja tanpa pesta perpisahan?” jawab salah satu teman kerjanya
“Mas, kita benar-benar akan tinggal di rumah itu minggu depan?” Citra bertanya pelan, memecah keheningan di ruang tamu saat mereka baru saja tiba di rumah. Dia meletakkan jaketnya di sofa, menatap Raka yang duduk di sebelahnya dengan santai.Raka menatap Citra dengan lembut. “Iya, kita akan pindah minggu depan. Kamu suka rumahnya?”Citra tersenyum, mengangguk pelan. “Aku suka banget. Tapi kafe di samping rumah itu, Mas... itu benar-benar bikin aku kaget. Aku nggak nyangka kamu bakal bikin kafe buat aku.”Citra kemudian menghadapkan tubuhnya semakin dekat pada Raka, “Oh ya, Mas. Tapi, jika kita pindah apa nggak masalah sama urusan kamu di Namba?” Raka tersenyum tipis, “Tenang aja, semua udah bisa aku serahkan ke orang lain.”Citra mengangguk, tetapi rasa penasarannya belum hilang. “Tapi, urusan apa sih sebenarnya yang kamu urus di Namba? Apa aku boleh tahu tentang itu, Mas?” Tanyanya lagi dengan nada lembut, mencoba tidak terdengar memaksa.Raka menatap Citra sejenak, wajahnya berubah
“Nadya, kamu dari kamar? Kenapa nggak bantuin di dapur?” sindiran tajam langsung keluar dari mulut Ratna begitu Nadya melangkah keluar dari kamar. Mata Ratna menatapnya tajam, penuh dengan kebencian yang jelas terlihat.Nadya menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. "Maaf, Ma, aku tadi lagi agak pusing."Ratih mendengus, meletakkan majalah yang tadi sedang dibacanya ke meja dengan kasar. "Ah, alasan. Kamu memang pandai sekali berbohong. Sekarang, bahkan kamu telah membuat Arga tidak betah dirumahnya sendiri, padahal seharusnya kamu yang keluar dari sini."Nadya menunduk, tangannya mengepal, mencoba menahan emosi dalam hatinya. "Padahal aku kira kamu lebih baik dari Citra, ternyata kamu justru lebih buruk," lanjut Ratna tanpa belas kasih.Nadya mencoba tersenyum kecil meskipun hatinya kesal. "Tolong beri aku kesempatan memperbaikinya, Ma."Ratna menggerakkan tangannya dengan malas, seolah kata-kata Nadya tidak berarti. "Ya sudah, kalau begitu bikinin kopi sana. Tapi jangan ka
"Citra, kamu kenapa?" Raka mendekati Citra yang duduk di tepi ranjang, wajahnya masih basah oleh air mata. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di leher, melihat istrinya menangis sendirian membuat hatinya menjadi bertanya-tanya.Citra menunduk, menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Nggak apa-apa, Mas.""Nggak mungkin nggak apa-apa. Ada apa? Kamu bisa ceritain ke aku." Raka duduk di sebelah Citra, tangan besarnya merangkul pundak Citra dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman.Citra menarik napas panjang, terlihat ragu untuk memulai cerita. Namun, setelah beberapa detik terdiam, akhirnya ia angkat bicara, suaranya terdengar pelan. "Tadi, Ayah nelepon."Raka masih menatap Citra, memberikan kesempatan untuknya melanjutkan ceritanya."Awalnya aku kira Ayah mau ucapin selamat karena aku lulus. Tapi, ternyata bukan itu," Citra tersenyum pahit, matanya menatap kosong ke depan. "Dia minta aku bicara sama Kakek Bramantyo, supaya Kakek maafin Nadya."Raka men
"Kamu harus kembali ke sana, Nadya. Buat hidup Citra sengsara!" suara Anita bergema tajam di ruang tamu. Ia duduk dengan tegak di kursi rotan, menatap putrinya dengan penuh tekad.Nadya menghela napas panjang, kepalanya tertunduk. "Tapi bagaimana, Bu? Aku tidak punya alasan lagi untuk kembali ke keluarga itu. Mereka sudah mengusirku."Anita menggerakkan tangannya ke udara, menunjukkan ketidaksabarannya. "Itu karena kamu membiarkan mereka menang, Nadya! Citra pikir dia bisa mengambil semua yang menjadi milikmu. Kamu mau menyerah begitu saja? Kalau kamu tidak bertindak sekarang, hidupmu akan hancur selamanya!"Nadya terdiam, mencoba memproses kata-kata ibunya. "Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mereka semua membenciku.""Itu hanya karena kamu belum menunjukkan kekuatanmu," Anita menekankan dengan nada penuh amarah. "Kamu harus memanfaatkan situasi. Gunakan kelemahan mereka untuk melawan mereka. Kita akan cari cara."Nadya memandang ibunya, ragu-ragu. "Apa maksud Ibu? Aku tidak
“Aku ini anakmu juga, Ayah! Tapi kenapa Citra selalu dianggap benar?” Nadya hampir berteriak, suaranya dipenuhi emosi.Ahmad menatap Nadya tajam, wajahnya memerah. “Apa maksudmu bicara seperti itu, Nadya? Ayah tidak pernah membeda-bedakan kalian berdua.”“Tidak pernah membeda-bedakan?” Nadya mendengus sinis. “Lalu kenapa setiap kali ada masalah, aku yang selalu disalahkan? Citra selalu jadi anak kesayangan Ayah, ‘kan?”“Nadya, sudah cukup!” Ahmad menggebrak meja dengan keras, membuat suasana ruang tamu itu tegang. “Ayah sudah muak mendengar keluhanmu tentang Citra!”Anita, yang duduk di samping Nadya, segera menyela. “Mas, jangan seperti itu! Nadya hanya ingin menyampaikan perasaannya. Kamu itu memang terlalu keras pada dia, sementara Citra selalu dibiarkan begitu saja.”Ahmad menatap istrinya dengan mata yang membara. “Jadi menurutmu aku harus diam saja ketika dia terus-terusan mencari masalah? Citra tidak pernah mengadu seperti ini, meskipun dia punya banyak alasan untuk melakukanny
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu