“Nadya, kamu dari kamar? Kenapa nggak bantuin di dapur?” sindiran tajam langsung keluar dari mulut Ratna begitu Nadya melangkah keluar dari kamar. Mata Ratna menatapnya tajam, penuh dengan kebencian yang jelas terlihat.Nadya menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. "Maaf, Ma, aku tadi lagi agak pusing."Ratih mendengus, meletakkan majalah yang tadi sedang dibacanya ke meja dengan kasar. "Ah, alasan. Kamu memang pandai sekali berbohong. Sekarang, bahkan kamu telah membuat Arga tidak betah dirumahnya sendiri, padahal seharusnya kamu yang keluar dari sini."Nadya menunduk, tangannya mengepal, mencoba menahan emosi dalam hatinya. "Padahal aku kira kamu lebih baik dari Citra, ternyata kamu justru lebih buruk," lanjut Ratna tanpa belas kasih.Nadya mencoba tersenyum kecil meskipun hatinya kesal. "Tolong beri aku kesempatan memperbaikinya, Ma."Ratna menggerakkan tangannya dengan malas, seolah kata-kata Nadya tidak berarti. "Ya sudah, kalau begitu bikinin kopi sana. Tapi jangan ka
"Citra, kamu kenapa?" Raka mendekati Citra yang duduk di tepi ranjang, wajahnya masih basah oleh air mata. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di leher, melihat istrinya menangis sendirian membuat hatinya menjadi bertanya-tanya.Citra menunduk, menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Nggak apa-apa, Mas.""Nggak mungkin nggak apa-apa. Ada apa? Kamu bisa ceritain ke aku." Raka duduk di sebelah Citra, tangan besarnya merangkul pundak Citra dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman.Citra menarik napas panjang, terlihat ragu untuk memulai cerita. Namun, setelah beberapa detik terdiam, akhirnya ia angkat bicara, suaranya terdengar pelan. "Tadi, Ayah nelepon."Raka masih menatap Citra, memberikan kesempatan untuknya melanjutkan ceritanya."Awalnya aku kira Ayah mau ucapin selamat karena aku lulus. Tapi, ternyata bukan itu," Citra tersenyum pahit, matanya menatap kosong ke depan. "Dia minta aku bicara sama Kakek Bramantyo, supaya Kakek maafin Nadya."Raka men
Pagi ini, Citra kembali diajak oleh Raka untuk mengunjungi proyek pembangunan kafe baru yang akan dijadikan miliknya. “Mas... aku masih bingung, apa aku bisa ngurus pembangunan kafe? Aku kan nggak terlalu ngerti soal desain atau apa pun itu.” Citra menggigit bibir bawahnya, merasa tak percaya diri. Raka tertawa kecil dan menggenggam tangannya dengan lembut. “Tenang aja. Ada tim profesional yang bakal bantu. Kamu tinggal pilih sesuai selera kamu. Aku yakin kamu bakal suka.”Setibanya di lokasi proyek, suasana sibuk langsung menyambut mereka. Para pekerja bangunan sedang sibuk mengukur dan memasang material, sementara seorang pria berkacamata berdiri di dekat area bangunan utama, berbicara dengan seorang wanita yang tampak rapi dengan tablet di tangannya."Citra, kenalin ini Pak Arif, arsitek yang bakal bantu kita. Dan ini Bu Sari, desainer interiornya,” ujar Raka memperkenalkan mereka.Citra tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Senang bertemu dengan kalian. Terima kasih sudah memban
Nadya melangkah keluar dari Teras Rasa dengan pikiran yang penuh tanya. Tak bisa dipungkiri, rasa penasaran yang menggelora dalam dirinya mendorongnya untuk menyelidiki lebih jauh. Sehingga tadi ia memutuskan untuk bertanya pada salah satu pelayan di sana mengenai Citra dan Raka. Niatnya adalah untuk mengetahui sejak kapan mereka melakukan reservasi atau justru malah menggunakan nama Kakek Bramantyo. Namun, jawaban dari pelayan itu justru membuatnya semakin terkejut. Pelayan itu menyebutkan nama Raka sebagai pemilik restoran. Membuat jantung Nadya berdegup kencang. Namun, saat itu, Nadya hanya bisa memikirkan satu hal: Raka, yang selama ini dianggapnya sebagai pengangguran, ternyata memiliki usaha sebesar ini. Dia segera membayangkan bagaimana semuanya bisa terjadi.Sesampainya di rumah, Nadya langsung masuk ke dalam kamar. Arga, yang sedang duduk di tepi ranjang dengan ekspresi datar, menoleh sekilas ketika melihat Nadya masuk. “Kamu dari mana, habis belanja lagi?” tanya Arga, nada
Raka dan Citra baru saja sampai di rumah mereka, namun langkah Raka langsung terhenti di depan pintu begitu nada dering ponselnya berbunyi. Citra dapat melihat raut wajah Raka yang kini berubah menjadi serius setelah melihat layar ponsel. “Ada apa, Mas?” Raka mendongak dan melihat Citra, kemudian tersenyum tipis. “Citra, sepertinya aku harus pergi lagi malam ini. Kamu nggak apa ditinggal sebentar?”Wajah Citra menunjukan rasa bingung, pasalnya mereka baru saja sampai di rumah. Lagi pula sepanjang hari ini Raka juga sudah sibuk mengantarnya untuk melihat proses pembangunan kafe, juga melakukan meeting meskipun sekalian makan siang di restoran siang tadi. Citra menatap Raka dengan cemas, “Apa kamu nggak capek, Mas? Seharian ini kamu udah sibuk.”Raka menggeleng pelan dan mengusap puncak kepala Citra lembut. “Terima kasih sudah mencemaskan aku. Setelah urusan selesai, aku akan segera pulang.” Tanpa menunggu respon Citra lagi, Raka kemudian berbalik badan dan kembali menuju mobilnya.
Setelah mendengar pernyataan dari kaki tangan pelaku yang menyebabkan kecelakaan kedua orangtuanya. Raka seakan tak dapat menghilangkan ucapan mengenai ciri-ciri pelaku sebenarnya dalam kepalanya. Sebab itu, Raka akhirnya memutuskan untuk mampir sejenak ke kediaman kakeknya. Ketika sampai, Raka langsung segera masuk ke dalam kamar Bramantyo yang telah menunggunya dengan rasa penasaran setelah beberapa saat sebelumnya menerima pesan dari Raka yang memberitahunya bahwa ia telah memiliki informasi tambahan mengenai pelaku kecelakaan. "Kek, ada hal yang harus aku bicarakan dengan Kakek. Ini tentang kecelakaan orangtuaku dulu," Raka mengawali percakapan, suaranya rendah, namun cukup tegas.Kakek Bramantyo mengangkat alis, “Jadi ada hal baru apa yang kamu temukan?” tanyanya, memperbaiki posisi duduknya.Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku baru saja bertemu dengan salah satu kaki tangan pelaku yang ikut terlibat dalam kejadian itu.”Mata Kakek Bramantyo membulat. “Apa? Kamu berhasil mene
“Arga, kamu kelihatan gak nyaman banget sih?” Nadya melirik Arga dengan tatapan sedikit kesal saat mereka duduk di ruang tunggu rumah sakit.Arga mendengus, tak berusaha menyembunyikan perasaan tak senangnya. “Aku gak suka dipaksa datang ke sini untuk hal seperti ini, Nadya. Semua ini cuma ide Papa.”“Kita sudah menikah, Arga. Dan program hamil ini bisa jadi awal untuk memperbaiki hubungan kita,” suara Nadya terdengar merajuk. Arga mengangkat alis, mengalihkan pandangannya dari Nadya. “Aku gak butuh program apapun untuk hubungan kita.”Percakapan mereka terhenti ketika seorang perawat muda datang menghampiri mereka dengan senyum ramah. “Maaf, Bapak dan Ibu, kalian diminta menunggu sebentar lagi. Dokter masih dalam sesi konsultasi dengan pasien sebelumnya.”Nadya mengangguk sopan, sambil mengucapkan terima kasih kepada perawat itu. Sedangkan, Arga hanya mengangguk singkat tanpa minat yang berarti.Suasana ruang tunggu itu cukup sepi. Nadya duduk lebih dekat ke Arga, mencoba menunjuk
Sepanjang jalan pulang, Nadya terus mengoceh di samping Arga, suaranya penuh dengan emosi yang bercampur aduk. “Lihatlah, Arga! Mereka sudah mendahului kita. Sekarang Citra sudah hamil, dan kita? Kita masih berjuang untuk memulai program!”Arga hanya diam, memandang lurus ke jalan di depannya. Pikirannya tidak bisa fokus, terganggu oleh kenyataan yang baru saja ia ketahui. Citra yang hamil akan mengubah banyak hal dalam keluarga mereka. Anak itu akan memiliki garis keturunan yang sama dengan Kakek Bramantyo, dan otomatis akan menjadi pewaris utama.“Ini semua karena kamu, Arga!” Nadya terus mengomel. “Kamu gak mau berusaha lebih keras. Kalau saja kamu tidak terus menghindar—”“Cukup, Nadya!” Arga membentak, menghentikan omelan Nadya yang semakin membuatnya frustasi. Ia menatap Nadya dengan tajam. “Aku gak mau mendengar ocehanmu lagi soal ini.”Nadya terdiam, terkesiap mendengar nada keras suaminya.“Sekarang, yang harus kita lakukan adalah tetap diam dan tidak membiarkan informasi ini
"Kamu harus kembali ke sana, Nadya. Buat hidup Citra sengsara!" suara Anita bergema tajam di ruang tamu. Ia duduk dengan tegak di kursi rotan, menatap putrinya dengan penuh tekad.Nadya menghela napas panjang, kepalanya tertunduk. "Tapi bagaimana, Bu? Aku tidak punya alasan lagi untuk kembali ke keluarga itu. Mereka sudah mengusirku."Anita menggerakkan tangannya ke udara, menunjukkan ketidaksabarannya. "Itu karena kamu membiarkan mereka menang, Nadya! Citra pikir dia bisa mengambil semua yang menjadi milikmu. Kamu mau menyerah begitu saja? Kalau kamu tidak bertindak sekarang, hidupmu akan hancur selamanya!"Nadya terdiam, mencoba memproses kata-kata ibunya. "Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mereka semua membenciku.""Itu hanya karena kamu belum menunjukkan kekuatanmu," Anita menekankan dengan nada penuh amarah. "Kamu harus memanfaatkan situasi. Gunakan kelemahan mereka untuk melawan mereka. Kita akan cari cara."Nadya memandang ibunya, ragu-ragu. "Apa maksud Ibu? Aku tidak
“Aku ini anakmu juga, Ayah! Tapi kenapa Citra selalu dianggap benar?” Nadya hampir berteriak, suaranya dipenuhi emosi.Ahmad menatap Nadya tajam, wajahnya memerah. “Apa maksudmu bicara seperti itu, Nadya? Ayah tidak pernah membeda-bedakan kalian berdua.”“Tidak pernah membeda-bedakan?” Nadya mendengus sinis. “Lalu kenapa setiap kali ada masalah, aku yang selalu disalahkan? Citra selalu jadi anak kesayangan Ayah, ‘kan?”“Nadya, sudah cukup!” Ahmad menggebrak meja dengan keras, membuat suasana ruang tamu itu tegang. “Ayah sudah muak mendengar keluhanmu tentang Citra!”Anita, yang duduk di samping Nadya, segera menyela. “Mas, jangan seperti itu! Nadya hanya ingin menyampaikan perasaannya. Kamu itu memang terlalu keras pada dia, sementara Citra selalu dibiarkan begitu saja.”Ahmad menatap istrinya dengan mata yang membara. “Jadi menurutmu aku harus diam saja ketika dia terus-terusan mencari masalah? Citra tidak pernah mengadu seperti ini, meskipun dia punya banyak alasan untuk melakukanny
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu