“Main tangan kok sama perempuan?”
Kemunculan Dipta di tengah-tengah Kaira dan Bayu mengejutkan semua orang. Terlebih, tangan Dipta yang menahan lengan Bayu dengan kuat, membuat pria itu tak bisa berkutik.
Netra Bayu pun menatap pria bermanik hitam itu dengan nyalang, merasa terhina karena tak peduli seberapa kuat dia mencoba melepaskan diri, cengkeraman Dipta sama sekali tak bisa dilepaskan. “Apa yang kamu lakukan!?”
“Saya yang seharusnya tanya sama Anda,” ucap Dipta dengan santai, akhirnya melepaskan cengkeramannya.
Tak menghiraukan ucapan Dipta, Bayu menyipitkan matanya, merasa familier dengan pria di hadapannya, “Kamu …”
“Kaira, ini yang kamu bilang suami barumu?! Kamu bercanda, ‘kan?” tanya Bayu, sesekali mengalihkan pandangannya ke Dipta, menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki.
“Tidak, Mas. Pria ini memang suamiku, dan aku tidak sedang bergurau.” Kaira langsung memamerkan jemarinya yang dilingkari cincin putih di sana, menunjukkan jika dirinya memang benar sudah menikah.
Tiba-tiba, suara tawa Bayu memenuhi seluruh ruangan, membuat Kaira mengerutkan keningnya. Bukankah pria itu baru saja marah? Apa yang membuatnya tertawa terbahak-bahak?
"Dia ini hanya seorang sopir di kantorku, Kaira! Mau dikasih makan apa kamu sama dia nanti!?" Bayu menjelaskan dengan nada mengejek. Bahkan disusul tawa kecil yang membuat Kaira merasa tidak terima jika Dipta ikut dihina.
Kaira yang ingin melangkah maju ke depan justru ditahan oleh Dipta. Pria itu memegangi pergelangan tangan istrinya dan memberikan senyum lembut, membuat Kaira merasa terkesima.
"Cih! Kamu membatalkan pernikahan kita demi pria miskin ini!? Sungguh seleramu sangat rendah!" Bayu kembali memberikan hinaannya kepada Dipta.
"Hahahaha! Jadi ini pria pilihanmu!? Pantas saja ada yang sudi menikah denganmu! Karena kalian berdua itu sama!" timbrung Widya ikut memberikan ejekan.
Tidak tahan mendengar caci maki dari Widya yang bertubi-tubi, Kaira mulai memberanikan diri menghadapi mantan calon ibu mertuanya dengan sorot mata menghunus.
“Meski aku dan Mas Dipta bukan berasal dari keluarga terpandang, tapi kami tidak rendahan seperti kalian.”
Widya merasa tidak terima dengan ucapan Kaira. Hatinya benar-benar tersulut yang membuatnya ingin menampar perempuan tidak tahu diri ini. Akan tetapi, belum sempat menampar pipi milik Kaira, tangannya sudah dicegah oleh Dipta yang menahan pergelangan tangan miliknya. Merasa khawatir dengan istrinya, Dipta maju dan menatap Widya serta Bayu dengan dingin. “Mohon maaf jika kedatangan saya membuat kericuhan di rumah ini. Tapi, setidaknya saya bersyukur, karena Kaira menikah dengan saya yang hanya seorang sopir, dibanding menjadi bagian dari keluarga yang suka main tangan.”
Tak ingin berkonfrontasi lebih ama, Dipta langsung menggaet lengan ramping milik istrinya, mengajak Kaira untuk segera bergegas dari tempat itu. Kaira menyambut Dipta dengan tersenyum, melangkahkan kakinya mengikuti Dipta, tak peduli dengan keheningan dan juga ekspresi semua orang setelah mendengarkan ucapan Dipta.
***
“Kamu gak apa-apa?” tanya Dipta, jemarinya mengelus pipi istrinya dengan halus. Meskipun wanita itu tidak benar-benar ditampar, rasa khawatir tetap memenuhi hatinya. Belum lagi pria itu beberapa kali mencengkeram pergelangan tangan Kaira, membuatnya merasa bersalah.
“Gapapa kok, Mas. Makasih udah bantuin aku tadi.”
Sikap Dipta seketika membuat Kaira tersipu malu. Terlebih, wanita itu kembali membayangkan Dipta yang sebelumnya tiba-tiba muncul, menghadangnya dari pukulan Bayu. Kaira tak menyangka, pria yang baru dikenalnya beberapa hari itu memiliki garis wajah yang tegas dan juga otot yang kekar.
“Mantan kamu tadi benar-benar gila. Sakit jiwa itu orang! Beraninya sama perempuan!” luap Dipta merasa dongkol sendiri jika mengingat kejadian di rumah Bayu. Kalau bukan karena Kaira tadi mencegahnya, sepertinya ia sudah adu jotos dan memberikan pelajaran kepada calon suaminya itu.
Kaira justru terkekeh kecil ketika melihat ekspresi kesal dari Dipta. Bagi Kaira, Dipta terlihat lucu ketika sedang misuh-misuh seperti ini. Padahal saat Kaira mengenal Dipta pertama kali, Dipta sangat terlihat kalem.
Merasa ada yang aneh, Dipta melirik ke arah istrinya, Kaira, yang justru langsung diam seketika.
“Kamu kenapa ketawa?”
“Gapapa, kamu lucu.”
“Lucu?” Dipta mengerutkan kening heran saat Kaira berkomentar seperti itu. Padahal dirinya sedang marah bukan ngelawak, tapi kenapa dinilai lucu oleh Kaira.
“Orang kayak kamu ternyata bisa marah juga, ya.”
“Lha, aku manusia biasa, Kai. Siapapun yang ngadepin titisan dajal kayak mereka juga bakalan kesel.”
“Hahaha, udah jangan ngelawak terus, Mas. Aku capek ketawa terus.”
Kini, Dipta merasa lega saat Kaira sudah bisa tersenyum. Meski Dipta sendiri kurang paham apa yang membuat wanita itu tersenyum. Setidaknya, rasa sakit dan sedih wanita itu pelan-pelan hilang.
Kaira pun kini merasa bingung sekaligus canggung saat kondisi diam-diaman seperti ini. Hingga, Dipta mengajak Kaira turun dari mobil.
“Mulai sekarang kamu bisa tinggal di sini sama aku,” kata Dipta penuh perhatian.
“Tapi, Mas, aku takut ngerepotin kamu nanti.”
“Ngerepotin apa? Selama jadi istri, kamu itu tanggung jawabku.”
Ucapan Dipta barusan membuat Kaira terpana sendiri. Tidak pernah menyangka jika pria ini memang benar-benar bertanggung jawab atas dirinya. Padahal, bisa dikatakan jika pernikahan yang terjadi adalah sebuah paksaan, tidak ada cinta sama sekali di antara keduanya.
Melihat keseriusan dari Dipta yang menawarkan untuk hidup bersama dalam satu atap, Kaira akhirnya tidak bisa menolak. Pria itu kini sudah membawa Kaira masuk ke dalam unit apartemennya.
Satu hal yang membuat Kaira merasa bingung sendiri saat ini, Dipta adalah seorang sopir, tapi kenapa bisa mampu membayar sewa apartemen yang dibilang cukup mahal. Sedangkan kehidupan di ibu kota sangatlah keras.
“Kamu tinggal sendirian?” Kaira mencoba membuka obrolan meski pandangan matanya terus mengarah ke hal lain. Ia terus menelusuri setiap inci dari sudut tempat tinggal suaminya. Terlebih desain interior dari apartemen ini didominasi warna abu-abu, dengan tambahan beberapa hiasan dinding berwarna putih yang membuat kesan elegan dan maskulin.
“Hm.” Dipta sibuk membereskan bantal sofa yang cukup berantakan. Kaira yang melihat Dipta sibuk, akhirnya berinisiatif ingin membantu.
Selesai membereskan bantal sofa menjadi rapi, keduanya duduk dengan suasana sama-sama masih canggung. Terlebih banyak sekali hal yang ingin Kaira tanyakan kepada Dipta, namun Kaira merasa segan.
Melihat raut wajah Kaira yang tampak gelisah membuat Dipta penasaran. “Kenapa, Kaira?”
“Mas, kalau memang Mas Dipta hanya seorang sopir, bagaimana Mas bisa tinggal di tempat seperti ini?”
“Maaf sebelumnya, Mas, apa gaji Mas Dipta cukup untuk membayar tempat mewah seperti ini?”“Jadi ini yang ingin kamu tanyakan?” Dipta hanya tersenyum kecil setelah mendengar pertanyaan Kaira.Pria itu pun berdiri dari posisi duduknya, ia berjalan mendekati jendela apartemennya untuk melihat pemandangan di luar sana yang menampilkan gedung pencakar langit.Dirasa cukup lama tidak dijawab, Kaira ikut berdiri dan berjalan ke arah Dipta, berdiri di belakang tubuh suaminya yang memiliki bentuk dada yang lebar serta perut rata.“Maaf kalau pertanyaanku barusan lancang, Mas,” lirih Kaira sambil menundukkan kepalanya tidak enak, sepertinya ia sudah tidak sopan kepada Dipta.Mendengar ucapan Kaira, membuat Dipta berputar badan menatap tubuh kecil istrinya. “Ini apartemen milik bosku dulu. Dia lagi balik ke Korea untuk sementara waktu. Dia juga yang menyuruhku untuk tinggal di sini selama dia di Korea.”Kaira mengangguk-angguk kecil, merasa bersyukur karena suaminya memiliki mantan bos yang baik
“Mmh—” Erangan serta tangan Kaira yang berusaha mendorongnya dengan kuat seketika membuat Dipta tersadar apa yang baru saja dilakukannya. Pria itu pun dengan cepat melepaskan ciuman dalamnya. “Ehm, mm— maaf, Kaira. Aku—” ucap Dipta terbata-bata, merasa panik sehingga pria itu tak tahu apa yang harus dilakukannya.Kaira pun merasakan hal yang sama. Malu, dan panik bercampur menjadi satu. Pasalnya, sejak pernikahan mendadak keduanya dari beberapa hari yang lalu, itu adalah sentuhan pertama yang diinisiasikan oleh Dipta. Dan anehnya, Kaira tidak merasa keberatan. Namun, hal yang paling tak bisa Dipta lupakan adalah semburat merah di wajah istrinya. Pria itu mengakui, bahwa Kaira memang cantik sejak pertama kali keduanya bertemu. Namun, malam itu, wajah Kaira terlihat lebih … sempurna. “Heh! Sopir!” Teriakan dengan nada yang familier memecahkan lamunan Dipta yang baru saja tiba di kantornya. Pria itu sengaja datang lebih pagi dari biasanya demi menemui Bayu, namun, siapa sangka just
"Tadi kira-kira jawabnya udah bener nggak, ya," gumam Kaira sambil terus berjalan keluar kantor Golden Grup.Rasa pesimis mulai Kaira rasakan kembali, mengingat beberapa menit yang lalu kala proses wawancaranya dengan pihak Golden Group berlangsung. Pasalnya, meskipun dirinya telah berlatih sebaik mungkin, tetap saja Kaira merasa gugup sehingga beberapa kali dia menjawab pertanyaan dengan terbata-bata.Merasa tak percaya diri, Kaira pun terpaksa menurunkan ekspektasinya. Dalam hatinya, wanita itu bahkan sudah merasa sangat bersyukur dengan kesempatan untuk bisa lolos sampai ke tahap interview di salah satu perusahaan bergengsi yang masuk ke dalam big three company tersebut. Bagi Kaira, ini merupakan pencapaian yang luar biasa untuknya.
"Oh! Maaf, Pak, saya akan segera ke sana." Kaira tersenyum manis sambil sedikit membungkukkan tubuhnya di depan Wisnu.Kaira memperhatikan Bayu yang berdiri di depannya kini terlihat pucat pasi, apalagi tatapan Wisnu terhadap pria itu sangat mengintimidasi. Ada kepuasan di hati Kaira melihat Bayu tak berkutik."Mari kita ke ruang meeting, Bu Kaira," ajak Wisnu mempersilakan Kaira untuk berjalan terlebih dahulu di depannya.Diperlakukan begitu baik oleh orang nomor satu di kantor Archery Grup membuat Kaira sangat bangga. Ia berjalan melewati Bayu yang masih menatap dengan ekspresi kebingungan.Bayu merasa jengkel ketika Pak Wisnu lebih perhatian kepada Kaira dibanding dirinya. Lagipula apa istimewanya wanita itu? Apa jangan-jangan mantan kekasihnya sekarang menjadi simpanan Pak Wisnu? Jika memang benar, ia harus segera melaporkan hal ini kepada istri Pak Wisnu.Melihat kebaikan bosnya kepada Kaira membuat Bayu merasa gusar. Ingin rasa
“Suka?” Kaira mengerutkan kening bingung saat mendapatkan pertanyaan random seperti ini. Kenapa bisa Dipta berpikir seperti itu.“Ya, suka sama Bagas. Soalnya kamu ngebahas dia terus.”Kaira menahan tawanya ketika sikap Dipta sangat aneh. Entah kenapa kedua pria ini sikapnya aneh-aneh.Dipta bahkan mendengkus kasar saat melirik ke arah Kaira yang tengah menahan tawanya. Ia kesal ketika Kaira tidak peka sama sekali terhadap dirinya.Sampai akhirnya perjalanan mereka pun sampai di apartemen. Dipta yang tengah cemburu langsung saja keluar mobil dan berjalan terlebih dahulu tanpa menunggu Kaira yang masih tertinggal di dalam mobil dengan tatapan bingungnya.“Mas Dipta, tunggu!” seru Kaira saat Dipta menutup pintu mobil cukup kencang. Buru-buru Kaira menyusul keluar dan berdiri di samping suaminya. “Mas Dipta kenapa, sih?” tanya Kaira dengan wajah polosnya.“Gapapa, aku cuma laper,” jawa
“Ka-kalian siapa!?” teriak Bayu ketika melihat banyak orang berpakaian serba hitam keluar dari dalam pagar rumahnya.Tidak mendapat sahutan, Bayu memukul salah satu dari mereka dengan brutal yang justru mengakibatkan keributan kembali. Bayu yang kalah jumlah langsung dipegang kedua tangannya oleh mereka.“Bajingan! Siapa yang menyuruh kalian, ha!?” tanya Bayu sambil menatap tajam, bahkan meludahi orang di depannya meski tidak kena sama sekali.Belum sampai memberikan pukulan kepada Bayu, mendadak Widya keluar sambil berteriak kencang meminta tolong yang membuat para orang berpakaian hitam segera melepaskan Bayu dan segera pergi dari sana.Bayu yang sudah bebas dari cekalan orang tak dikenal, langsung berjalan menghampiri Widya yang terlihat acak-acakan.“Bu, mereka siapa!?”Widya hanya bisa menggeleng saja sebagai jawaban. “Tidak tahu, kayaknya orang suruhan Kaira,” ceplos Widya ngasal.
“Siapa yang dipecat? Saya tidak memecat kamu, Kaira.” Bagas buru-buru berdiri dari kursi kebesarannya, berjalan menuju ke arah Kaira yang masih terisak pelan. Bagas takut kalau 'pria itu' akan kembali mengomelinya lagi jika tahu. Bagas sedikit ragu ketika akan memegang kedua bahu milik Kaira. Akan tetapi dia merasa iba melihat wanita menangis. “Ta—tapi kenapa ada orang lain yang duduk di kursi kerja saya, Pak?” tanya Kaira sambil mendongak ke atas, menatap wajah Bagas yang tengah berdiri tepat di depannya. Bingung ingin menjawab apa membuat Bagas berdeham kecil yang justru menyadarkan posisi berdirinya yang terlalu dekat. Bagas bahkan melepaskan kedua telapak tangannya yang sejak tadi berada di atas bahu milik Kaira. Tidak mau dicap pengkhianat oleh sahabatnya sendiri, Bagas kini berjalan menuju ke arah sofa, duduk dengan posisi kaki menyilang. “Dia akan membantu pekerjaan kamu nantinya. Sepertinya saya butuh dua sekretaris karena kamu
“Kamu benar-benar gila, Mas!”“Ya! Aku gila karenamu, Kaira!” balas Bayu dengan suara yang tak kalah kencangnya, bahkan terkesan begitu membentak.Air mata yang sudah Kaira tahan sejak tadi kini mulai luruh melewati pipi mulusnya. Bayu yang memang fokus menyetir menyempatkan melirik sekilas ke arah Kaira.“Gak usah sok sedih gitu, lagian aku nggak bakal kasihan juga sama kamu!” komentar Bayu ketika tidak suka melihat Kaira menangis. “Muka aja sok polos tapi ternyata hatimu jahat!” lanjutnya menyalahkan Kaira.Kaira tidak menanggapi ucapan Bayu yang terus saja berkomentar jahat tentang dirinya. Sampai akhirnya ponsel milik Kaira yang berada di dalam tas berdering hebat yang membuat wanita itu segera mengambilnya.Saat baru melihat layar ponselnya, hape itu sudah direbut paksa oleh Bayu. Kaira melirik dan mendengkus kasar.“Kembalikan ponselku, Mas!” pinta Kaira sambil terus mencoba m
Alle yang mendadak khawatir jika Raffa macam-macam kini langsung berjalan ingin keluar dari kamar hotel, namun dicegah oleh para teman-temannya.“Mau ke mana?”“Mau ke kamar sebelah.”“Jangan lah, itukan acaranya Raffa sama teman-temannya. Kita di sini aja seneng-seneng.”“Tapi kalau dia macam-macam gimana, Nin!?”“Iya gapapa dong? Itung-itung kasih free sehari apa salahnya.”“Gila lo semua!”Alle tetap keukeh ingin keluar dan mengecek kamar sebelahnya. Saat digedor-gedor dan dibuka oleh petugas hotel, Alle terkejut ketika di dalam kamar tidak ada siapa-siapa.Justru Alle merasa heran ketika kamar yang dimasuki justru memiliki konsep seperti film Disney. Alle berpikir kalau Nindi salah memberitahukan nomor kamar acara Raffa.Tak lama Nindi dan teman-temannya keluar. Mereka bahkan sudah berganti kostum yang membuat Alle merasa hampir gila sekarang.“Jadi … ini semua kerjaan kalian?” tanya Alle tidak percaya harus terkena jahilan mereka bertubi-tubi meski di dalam hati sangat senang lua
Melihat model gaun yang dipilih oleh Alle membuat Raffa langsung mendelik kaget. Yang benar saja? Bisa-bisanya Alle memilih model yang memiliki belahan panjang dari ujung kaki sampai paha. Ditambah bagian dada yang terbuka. Tentu saja Raffa tidak setuju dan tidak akan memberi kesempatan untuk para mata buaya darat melihat keindahan tubuh istrinya.“Aku nggak setuju!” tolak Raffa tegas.“Lha, kenapa? Bukannya bagus dan seksi?”“Kamu mau sengaja pamer paha sama payudara?” skakmat Raffa yang membuat Alle langsung terdiam. Niat Alle bukan seperti itu, tapi agar terlihat seksi saja. “Pilih yang kalem aja,” lanjut Raffa memberikan sarannya.“Yaudah kamu pilih sendiri aja. Aku bingung semuanya bagus-bagus.”Alle memberikan semua majalah ke arah Raffa. Membiarkan Raffa memilihkan gaun yang pas dan cocok untuknya. Lagian Alle bingung jika harus untuk memilih seperti ini.Pada akhirnya Raffa yang memilihkan gaun untuk Alle pakai di acara resepsi nanti. Tentu saja pilihan Raffa jatuh pada dress
Setelah acara kelulusan dua hari yang lalu, kini Raffa dan Alle sibuk mempersiapkan diri untuk resepsi pernikahannya. Alle bahkan meminta ijab qobul diulang saat acara resepsi nanti. Alle ingin foto buku nikah sekaligus agar orang-orang tahu kalau mereka menikah resmi.Dan, saat ini mereka berdua telah sampai di butik yang akan mendesain baju pengantin mereka nanti. Sebelum keluar mobil, Raffa mengambil kaca mata hitamnya terlebih dahulu di dalam dashboar dan segera memakainya yang justru semakin menambah akan pesona kadar kegantengannya.Lain hal dengan Alle yang mendecih sebal melihat penampilan Raffa. Bagi Alle sendiri, kalau Raffa terlalu tampan justru membuatnya khawatir karena akan banyak buaya betina untuk menggoda suaminya ini.“Kalau mau memuji nggak usah malu-malu,” celetuk Raffa meledek Alle yang saat ini menatapnya dengan sangat serius. “Percaya kok kalau aku ganteng,” lanjutnya penuh percaya diri.“Cih! Dasar kepedean! Padahal mirip tukang urut!”Beginilah kehidupan Raffa
Selesai hangout bersama Nindi, Alle pamit pulang tanpa menunggu Raffa menjemput terlebih dahulu.Setiba di rumah, Alle selalu melihat pemandangan di mana para adik-adiknya berkumpul dan berantem.“Kak, minta duit dong!” Januar menadahkan tangan di depan Alle, meminta uang untuk top up game.“Buat apaan?”“Beli jajan di mini market depan,” kilah Januar berbohong.Alle yang memang gampang percaya tentu saja memberikan uang dua lembar warna merah. Januar yang sehabis diberi uang langsung kabur pergi dari rumah.Awalnya tadi seperti biasa, lagi berantem sama Oky. Entah rebutan apa mereka berdua. Alle yang sehabis perawatan berjalan menuju ke arah kamar Yupi, ingin mengobrol dengan adiknya yang satu itu.Tok! Tok!“Masuk aja nggak dikunci!” seru dari dalam kamar yang membuat Alle langsung menekan handle pintu dan mendorong ke dalam.Cklek!“Eh, Kak Alle, sini Kak,” ujar Yupi yang menepuk ranjang di sampingnya, menandakan untuk Alle duduk di sana.Ketika Alle sudah duduk, bisa ia lihat kala
Baik Alle maupun Raffa sama-sama kaget mendengar suara cempreng dari Januar yang mirip dengan toa. Apalagi bocil itu tengah berlari-lari sambil teriak ‘Kak Alle ciuman’ dan hal ini membuat Alle sangat malu.Kesal memiliki adik seperti itu membuat Alle gregetan sendiri pengin masukin karung. Namun, melihat Raffa yang tampak santai membuat Alle heran.“Kenapa kamu nggak kesal, Bee?” tanya Alle menatap Raffa yang masih sibuk menikmati teh jahe buatan Alle.“Ngapain kesal sama anak kecil? Buang-buang tenaga aja. Biarkan aja Januar begitu,” lerai Raffa yang terkesan lebih membela Januar dibanding Alle.“Kamu kenapa jadi belain dia!?” sungut Alle semakin kesal.“Aku nggak belain, Sayang, hanya memaklumi tingkahnya yang memang lagi begitu. Nanti juga ada fase-nya dia bakalan nalar dan mengerti kok.” Raffa berkata sangat lembut hingga membuat Alle semakin tidak bisa berkutik untuk marah-marah.“Iya, sih, tapi ngeselin banget mulutnya kayak toa! Bikin heboh pagi-pagi begini.”Raffa yang paham
Pagi ini jika biasanya Alle akan sibuk dan heboh soal urusan sekolahnya, kali ini cewek itu jauh lebih santai. Lebih bisa menikmati hidup dan peran barunya sebagai istri. Terbukti dengan Alle bangun pagi-pagi hanya untuk menyiapkan pakaian milik Raffa yang akan digunakan pergi ke kantor Papa Regan.Katanya Raffa akan mengisi waktu luangnya dengan bekerja magang di kantor orang tuanya sendiri. Sebagai istri, Alle hanya bisa mendukung jika itu memang yang terbaik.Alle juga sudah berkutat di dapur hanya untuk memasak menu sarapan untuk Raffa. Alle ingin mencoba memasak menu berat untuk Raffa. Biar kalau sarapan jangan roti oles selai terus. Kasihan suaminya akan bosan jika seperti itu.“Lho, Non Alle masak apa?” tanya asisten rumah tangga yang kaget melihat anak majikannya pagi-pagi sudah berada di depan kompor. Pemandangan yang sangat langka.“Sayur sup, Bi. Buat Raffa sarapan nanti,” jawab Alle sambil mesam-mesem sendiri.“Owalah gitu toh, Non. Kekuatan cinta emang luar biasa sekali y
Setiba di Indonesia, pasangan muda itu disambut sangat meriah dan penuh kasih oleh kedua keluarga yang memiliki pengaruh besar di negara itu.Alle yang kangen dengan Mamanya langsung memeluk Kaira sambil menangis bahagia. Ternyata hidup jauh membuatnya sadar akan pentingnya peran seorang Ibu yang selalu memperhatikan dirinya setiap waktu.Meski terkesan cerewet tapi saat jauh selalu membuat kangen. Alle bahkan masa bodoh ketika menjadi pusat perhatian dari adik-adiknya karena sudah besar masih suka menangis seperti ini.“Kangen,” ucap Alle sambil menatap wajah Kaira yang ikut berkaca-kaca, namun Alle tahu betul kalau Mamanya sedang menahan diri untuk tidak menangis.“Mama juga kangen sama kamu,” balas Kaira sambil mengusap lembut pipi anaknya. Meski sudah menikah, tetap saja di mata Kaira dan Dipta, Alle tetap menjadi putri kecilnya.Alle tersenyum manis ketika Dipta tak mau kalah ingin meminta pelukan darinya. Perhatian Alle pun kini berpindah ke cinta pertamanya, Papa Dipta.Cukup l
“Serius kamu tanya ini?” Raffa tidak percaya kalau Alle bakalan menanyakan hal ini kepadanya. Kalau Raffa tidak normal, mana mungkin minta nambah berkali-kali. Alle ada-ada aja!“Iyakan teman-teman kamu aja gitu semua,” jawab Alle dengan wajah tanpa dosanya. Mukanya benar-benar gemesin sekaligus ngeselin pengin masukin karung.Raffa yang mendapat pertanyaan itu justru merasa bingung sendiri saat ingin menjawab. Yang dilakukan Raffa hanya menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali.Sampai akhirnya Raffa mengajak Alle untuk benar-benar pergi dari ruang itu. Sebelumnya Raffa berpamitan kepada Noah dan teman-temannya terlebih dahulu.Ketika sudah berada di area parkiran, Raffa kembali menatap Alle yang masih saja menunggu jawabannya.“Gini All, kalau aku nggak normal sudah pasti nggak nafsu sama kamu. Ini lihat kamu begini aja bawaan pengen ajak ke atas ranjang. Ngadon anak tiap waktu. Masa kamu masih berpikiran kalau aku nggak normal, sih!?” jelas Raffa panjang lebar karena
Malam ini Raffa membawa Alle pergi ke salah satu klub malam ternama di kota tersebut. Alle yang baru mengetahui tujuannya ke tempat dugem, langsung ngamuk dan memukuli Raffa ketika baru sampai parkiran.“Tau gini aku nggak mau ikut!” amuk Alle kesal.“Katanya mau lihat Noah udah punya pacar apa belum? Di tempat ini kamu bisa melihat dia secara langsung.”Alle diam tak memberikan komentar ataupun reaksi apapun. Hatinya terlalu kesal kepada Raffa yang tidak mau langsung menjawab pertanyaannya malah justru membawanya ke tempat clubbing seperti ini.“Ayo,” ajak Raffa yang saat ini sudah turun terlebih dahulu dari dalam mobil. “Mau di dalam mobil terus?” lanjutnya menyindir Alle ketika masih saja duduk anteng di kursi penumpang.Sambil menggerutu, Alle mulai membuka pintu mobil dan turun dengan kondisi tubuhnya yang sudah lesu duluan.Seumur hidupnya, Alle tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Hidupnya lurus-lurus saja meski sering mendengar beberapa cerita dari teman-teman kelasnya y