Tepat sebelum Eleanor terjatuh, Darren dengan sigap menangkapnya. Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut pria itu setelah tahu kalau sang istri tidak terluka.“Apa kamu tidak tahu kata hati-hati?”Eleanor tersenyum canggung sebelum berusaha untuk melepaskan diri dari suaminya. Namun, alih-alih melepaskan, Darren justru merengkuh tubuh mungil sang istri dan mendekapnya erat.“Tolong jangan pernah terluka lagi.”Eleanor tergemap mendengar ucapan sang suami yang disertai dengan usapan lembut di kepalanya. Wanita itu merasakan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama tak didapatkannya. Untuk sesaat, dia memejamkan mata dan menghidu aroma tubuh ditambah aroma parfum Woody milik Darren.“Mau sampai kapan begini? Aku sudah mulai sesak napas.”Perlahan Darren mengurai dekapan dan mundur selangkah, sedangkan Eleanor salah tingkah dan memilih untuk membuang pandangan. Mereka bungkam sekian detik sebelum akhirnya Eleanor membuka mulut.“A-aku ke bawah dulu, mau buat sarapa
Agatha memutar bola mata malas sebelum melangkah masuk dan mengempaskan kasar tubuhnya ke sofa. Dia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Sementara, Helena duduk di sofa single dan menatap sang anak penuh tanya. “Kamu kenapa, Sayang? Ada masalah dengan suamimu?” Agatha melirik sekilas sebelum kembali memejamkan mata dan menghela napas panjang kembali. “Andai tahu begini akhirnya, aku tidak akan pernah mau mengikuti semua permainan Mama.” Helena membeliak mendengar ucapan sang anak, kemudian bangkit dari duduk dan mendekatinya. “Jangan keras-keras, Agatha. Jangan sampai papamu mendengarnya.” Wanita yang suka menggerai rambut bergelombangnya itu celingukan sebelum menepuk lengan Agatha. Agatha segera membuka mata dan beringsut duduk. Dia mengerucutkan bibir sambil mendengkus kesal. “Aku harus bagaimana sekarang, Ma? Punya suami, tapi seperti janda. Alden sama sekali tidak mau menyentuhku.” “Bukankah kamu sudah memberinya ‘itu’?” “Gagal semuanya, Ma. Sekarang
Bahu Eleanor merosot saat mengetahui bahwa Darren tengah terlelap di sofa sambil memeluk bantal. Wajah teduh pria itu membuat Eleanor tak sampai hati membangunkannya. Akhirnya dia memilih untuk meletakkan kue dan tas kertas ke meja kerja dan duduk di kursinya. Selang sepuluh menit kemudian, Darren terlihat menggeliat sebelum membuka mata. Tepat saat itulah Eleanor bangkit dan segera mendekatinya sambil membawa kue. “Selamat ulang tahun.” Darren bergeming sejenak setelah melihat kue di tangan istrinya. Lalu, tatapannya beralih kepada Eleanor yang ternyata masih mengenakan celemek dengan beberapa bagian wajahnya terkena tepung. “Kenapa? Kuenya jelek, ya? Maaf, aku hanya bisa membuatnya seperti ini. Tapi aku jamin rasanya pasti enak, kok.” Melihat suaminya masih bungkam, Eleanor yang awalnya antusias menjadi tak bersemangat. Dia menghela napas panjang sebelum menarik kembali kue di hadapan Darren. Dia memutar tumit dan hendak berlalu, tetapi Darren segera mencekal pergelang
Eleanor mengerjap kala sinar mentari menyentuh kulitnya. Dia tergagap dan hendak bangkit, tetapi sesuatu menahannya. Dia menoleh dan mendapati seraut wajah terlihat damai dalam tidurnya. Lalu, sekelebat bayangan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepala.Spontan Eleanor menggigit bibir bagian bawah sebelum memejamkan mata sejenak. Lalu, perlahan melepaskan tangan kiri sang suami yang semalaman memeluk perutnya. Dengan gerakan pelan, dia beringsut duduk dan hendak turun dari ranjang.“Aduh!” seru Eleanor saat merasakan bagian bawah tubuhnya berkedut nyeri. Dia sampai menggigit bibir untuk menahan sakit yang mendera sebelum kembali mencoba untuk bangkit.“Jangan dipaksakan. Tunggu sebentar.” Eleanor menoleh, tetapi segera berpaling saat melihat Darren sedang memakai celana boxernya. “Sakit?”Kali ini Eleanor mengangguk lemah saat melihat sang suami mendekat dan berdiri di hadapannya. Perlahan pria itu membopong sang istri, tetapi cengkeraman erat di lengan membuatnya menge
“Aku haus.” Darren segera berlalu dari kamar dan kembali sambil membawa segelas air minum, kemudian menyodorkan kepada istrinya. Usai meneguk air dalam gelas hingga tandas, Eleanor meletakkan gelas di nakas dan menatap Darren. “Kakek William menyuruhmu datang ke rumahnya?” Darren mengangguk lemah sebelum berlalu ke wardrobe dan mengganti bajunya dengan setelan celana kain hitam dan kemeja biru tua. Dia kembali menemui Eleanor sambil memegang jam tangan dan duduk di tepi ranjang. Lalu, mengganti tali jam tangannya dengan hadiah pemberian dari istrinya. Eleanor memperhatikan sang suami hingga selesai sebelum mencoba untuk bangkit sambil menahan nyeri. “Mau ke mana?” tanya Darren sambil mengernyit heran. “Aku mau ikut ke rumah Kakek William.” “Tidak perlu. Biar aku sendiri karena kamu masih kesakitan begitu.” Eleanor menggeleng lemah sebelum kembali berjalan menuju pintu. Dia sengaja mengulas senyum karena tidak mau sang suami mengkhawatirkannya. “Sakitnya sudah
Darren dengan sigap mendekap sang kakek dan menuntunnya menuju kamar. Dalam ruangan dengan nuansa serba putih itu, Darren membaringkan sang kakek dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dan melihat Eleanor masuk sambil membawa segelas air.“Terima kasih, Elea.” Darren mengambil gelas dan segera memberikannya kepada sang kakek. “Minum dulu, Kek. Di mana obatnya?”Darren bergegas membuka laci pertama dan menemukan satu botol kaca penuh dengan tablet berwarna putih. Dia mengambil satu butir dan memberikannya kepada Kakek William. Selang lima menit usai menenggak obat, nyeri di dada kiri Kakek William berangsur mereda.“Kamu masih ingat tempat menyimpannya, Darren?”“Ternyata Kakek yang tidak berubah.”Kedua pria beda generasi itu saling tatap sebelum tertawa bersama. Sementara di belakang Darren, Eleanor menatap penuh tanya.“Ini obrolan antar pria, Elea.” Kakek William seolah-olah menjawab pertanyaan di kepala Eleanor. Mendengar itu, Eleanor m
Eleanor menoleh dan terkejut melihat Alden berdiri dua meter darinya. Senyum yang semula tersumir di bibir lesap dan berganti dengan ketidaknyamanan. “A-Alden?” Hanya satu kata yang mampu diucapkan Eleanor begitu melihat Alden berjalan mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan melangkah mundur. “Lima tahun memang bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakanku bukan?” Eleanor menggeleng sambil terus melangkah mundur saat Alden mendekat. Namun, saat kesekian kali menghindar, Alden sigap menangkap pergelangan tangannya. Pria itu menarik Eleanor hingga tak berjarak dengan tubuhnya. Alden tersenyum bahagia karena bisa menatap wajah cantik Eleanor yang dulu bisa membuatnya menggila. Sayangnya, senyum itu berubah dengkus kesal saat melihat sebuah tanda merah samar di ceruk leher Eleanor. “Kamu sudah tidur dengannya, El?” “Bukan urusan kamu lagi, Al!” sentak Eleanor sambil berusaha melepaskan tangan Alden. “Urus saja Agatha dan calon anak kamu!” “Aaargh!” Alden berte
Darren tersadar dan segera menjauh mendengar pertanyaan dari istrinya. Dia memilih berjalan ke balkon dan duduk di salah satu bangku yang ada di sana. “Kamu belum jawab pertanyaanku?” Pria itu menoleh sekilas sebelum kembali menatap ke depan. Merasa diabaikan, Eleanor mendekat dan duduk di samping suaminya. Dia hendak membuka mulut, tetapi sang suami lebih dulu membuka kata. “Ya, maksudnya dulu saat kita belum dilahirkan ke dunia. Tapi nama kita sudah disandingkan dalam takdir-Nya.” Bibir Eleanor membulat membentuk huruf O setelah mendengar jawaban suaminya. Dia tersenyum semringah sambil menatap langit yang kelabu. “Sepertinya akan turun hujan. Aku harap tak ada geledek yang datang.” “Kenapa kamu takut geledek, Sayang?” Eleanor menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian pikirannya menerawang jauh menembus masa kelam di saat dia masih berumur sepuluh tahun. “Aku pernah pulang telat karena terlalu asyik bermain dengan temanku. Waktu itu lang
Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja.“Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya.“Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka.“Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?”“Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.”Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istrinya. Lalu, me
Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja. “Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. “Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka. “Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?” “Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.” Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istr
Darren tersadar dan segera menjauh mendengar pertanyaan dari istrinya. Dia memilih berjalan ke balkon dan duduk di salah satu bangku yang ada di sana. “Kamu belum jawab pertanyaanku?” Pria itu menoleh sekilas sebelum kembali menatap ke depan. Merasa diabaikan, Eleanor mendekat dan duduk di samping suaminya. Dia hendak membuka mulut, tetapi sang suami lebih dulu membuka kata. “Ya, maksudnya dulu saat kita belum dilahirkan ke dunia. Tapi nama kita sudah disandingkan dalam takdir-Nya.” Bibir Eleanor membulat membentuk huruf O setelah mendengar jawaban suaminya. Dia tersenyum semringah sambil menatap langit yang kelabu. “Sepertinya akan turun hujan. Aku harap tak ada geledek yang datang.” “Kenapa kamu takut geledek, Sayang?” Eleanor menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian pikirannya menerawang jauh menembus masa kelam di saat dia masih berumur sepuluh tahun. “Aku pernah pulang telat karena terlalu asyik bermain dengan temanku. Waktu itu lang
Eleanor menoleh dan terkejut melihat Alden berdiri dua meter darinya. Senyum yang semula tersumir di bibir lesap dan berganti dengan ketidaknyamanan. “A-Alden?” Hanya satu kata yang mampu diucapkan Eleanor begitu melihat Alden berjalan mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan melangkah mundur. “Lima tahun memang bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakanku bukan?” Eleanor menggeleng sambil terus melangkah mundur saat Alden mendekat. Namun, saat kesekian kali menghindar, Alden sigap menangkap pergelangan tangannya. Pria itu menarik Eleanor hingga tak berjarak dengan tubuhnya. Alden tersenyum bahagia karena bisa menatap wajah cantik Eleanor yang dulu bisa membuatnya menggila. Sayangnya, senyum itu berubah dengkus kesal saat melihat sebuah tanda merah samar di ceruk leher Eleanor. “Kamu sudah tidur dengannya, El?” “Bukan urusan kamu lagi, Al!” sentak Eleanor sambil berusaha melepaskan tangan Alden. “Urus saja Agatha dan calon anak kamu!” “Aaargh!” Alden berte
Darren dengan sigap mendekap sang kakek dan menuntunnya menuju kamar. Dalam ruangan dengan nuansa serba putih itu, Darren membaringkan sang kakek dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dan melihat Eleanor masuk sambil membawa segelas air.“Terima kasih, Elea.” Darren mengambil gelas dan segera memberikannya kepada sang kakek. “Minum dulu, Kek. Di mana obatnya?”Darren bergegas membuka laci pertama dan menemukan satu botol kaca penuh dengan tablet berwarna putih. Dia mengambil satu butir dan memberikannya kepada Kakek William. Selang lima menit usai menenggak obat, nyeri di dada kiri Kakek William berangsur mereda.“Kamu masih ingat tempat menyimpannya, Darren?”“Ternyata Kakek yang tidak berubah.”Kedua pria beda generasi itu saling tatap sebelum tertawa bersama. Sementara di belakang Darren, Eleanor menatap penuh tanya.“Ini obrolan antar pria, Elea.” Kakek William seolah-olah menjawab pertanyaan di kepala Eleanor. Mendengar itu, Eleanor m
“Aku haus.” Darren segera berlalu dari kamar dan kembali sambil membawa segelas air minum, kemudian menyodorkan kepada istrinya. Usai meneguk air dalam gelas hingga tandas, Eleanor meletakkan gelas di nakas dan menatap Darren. “Kakek William menyuruhmu datang ke rumahnya?” Darren mengangguk lemah sebelum berlalu ke wardrobe dan mengganti bajunya dengan setelan celana kain hitam dan kemeja biru tua. Dia kembali menemui Eleanor sambil memegang jam tangan dan duduk di tepi ranjang. Lalu, mengganti tali jam tangannya dengan hadiah pemberian dari istrinya. Eleanor memperhatikan sang suami hingga selesai sebelum mencoba untuk bangkit sambil menahan nyeri. “Mau ke mana?” tanya Darren sambil mengernyit heran. “Aku mau ikut ke rumah Kakek William.” “Tidak perlu. Biar aku sendiri karena kamu masih kesakitan begitu.” Eleanor menggeleng lemah sebelum kembali berjalan menuju pintu. Dia sengaja mengulas senyum karena tidak mau sang suami mengkhawatirkannya. “Sakitnya sudah
Eleanor mengerjap kala sinar mentari menyentuh kulitnya. Dia tergagap dan hendak bangkit, tetapi sesuatu menahannya. Dia menoleh dan mendapati seraut wajah terlihat damai dalam tidurnya. Lalu, sekelebat bayangan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepala.Spontan Eleanor menggigit bibir bagian bawah sebelum memejamkan mata sejenak. Lalu, perlahan melepaskan tangan kiri sang suami yang semalaman memeluk perutnya. Dengan gerakan pelan, dia beringsut duduk dan hendak turun dari ranjang.“Aduh!” seru Eleanor saat merasakan bagian bawah tubuhnya berkedut nyeri. Dia sampai menggigit bibir untuk menahan sakit yang mendera sebelum kembali mencoba untuk bangkit.“Jangan dipaksakan. Tunggu sebentar.” Eleanor menoleh, tetapi segera berpaling saat melihat Darren sedang memakai celana boxernya. “Sakit?”Kali ini Eleanor mengangguk lemah saat melihat sang suami mendekat dan berdiri di hadapannya. Perlahan pria itu membopong sang istri, tetapi cengkeraman erat di lengan membuatnya menge
Bahu Eleanor merosot saat mengetahui bahwa Darren tengah terlelap di sofa sambil memeluk bantal. Wajah teduh pria itu membuat Eleanor tak sampai hati membangunkannya. Akhirnya dia memilih untuk meletakkan kue dan tas kertas ke meja kerja dan duduk di kursinya. Selang sepuluh menit kemudian, Darren terlihat menggeliat sebelum membuka mata. Tepat saat itulah Eleanor bangkit dan segera mendekatinya sambil membawa kue. “Selamat ulang tahun.” Darren bergeming sejenak setelah melihat kue di tangan istrinya. Lalu, tatapannya beralih kepada Eleanor yang ternyata masih mengenakan celemek dengan beberapa bagian wajahnya terkena tepung. “Kenapa? Kuenya jelek, ya? Maaf, aku hanya bisa membuatnya seperti ini. Tapi aku jamin rasanya pasti enak, kok.” Melihat suaminya masih bungkam, Eleanor yang awalnya antusias menjadi tak bersemangat. Dia menghela napas panjang sebelum menarik kembali kue di hadapan Darren. Dia memutar tumit dan hendak berlalu, tetapi Darren segera mencekal pergelang
Agatha memutar bola mata malas sebelum melangkah masuk dan mengempaskan kasar tubuhnya ke sofa. Dia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Sementara, Helena duduk di sofa single dan menatap sang anak penuh tanya. “Kamu kenapa, Sayang? Ada masalah dengan suamimu?” Agatha melirik sekilas sebelum kembali memejamkan mata dan menghela napas panjang kembali. “Andai tahu begini akhirnya, aku tidak akan pernah mau mengikuti semua permainan Mama.” Helena membeliak mendengar ucapan sang anak, kemudian bangkit dari duduk dan mendekatinya. “Jangan keras-keras, Agatha. Jangan sampai papamu mendengarnya.” Wanita yang suka menggerai rambut bergelombangnya itu celingukan sebelum menepuk lengan Agatha. Agatha segera membuka mata dan beringsut duduk. Dia mengerucutkan bibir sambil mendengkus kesal. “Aku harus bagaimana sekarang, Ma? Punya suami, tapi seperti janda. Alden sama sekali tidak mau menyentuhku.” “Bukankah kamu sudah memberinya ‘itu’?” “Gagal semuanya, Ma. Sekarang