Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Hari yang dinanti oleh Ryana selama bertahun-tahun akan tiba esok hari. Hari bahagia yang akan membuatnya bersanding dengan pria yang ia cintai selama ini dan menjadi ratu sehari. Acara akad nikah dan resepsi sederhana akan digelar di rumahnya. Persiapan sudah seratus persen matang. Hatinya deg-degan tak karuan menanti hari esok. Ingin rasanya waktu ia percepat saja. Detik demi detik ia lalui dengan perasaan senang dan gugup bercampur menjadi satu. Hari esok hari dimana Ryana dan Aldi--kekasih Ryana-- akan resmi menjadi sepasang suami istri. "Sudah siap besok bersanding dengan Aldi, Nduk?" tanya Bu Erin yang baru saja masuk ke kamar putri sulungnya. Perempuan paruh baya itu duduk di tepi ranjang. Terlihat Ryana sedang asyik bermain ponsel berbalas pesan dengan teman-temannya. Ryana langsung meletakkan ponselnya begitu Ibunya datang. Kamar Ryana sudah dihias layaknya kamar pengantin baru. Dekor bunga-bunga dan gorden berwarna putih sudah ditata dengan sedemikian cantiknya. "InsyaAl
Panik dan bingung. Dua kata yang menggambarkan perasaan yang saat ini dirasakan Ryana. Dua kata itu juga mewakili perasaannya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ingin rasanya dia tidak membuka foto dan video yang dikirimkan oleh Ezra tersebut. Namun semuanya telah terlanjur basah. Nampak jelas di matanya kalau foto dan video itu adalah kekasih yang dicintai dan dibanggakannya selama ini. "Mas Aldi, kenapa kamu tega, Mas? Kenapa kamu tega mengkhianatiku? Katanya kamu mencintaiku dan aku adalah wanita satu-satunya dalam hidupmu. Tapi kenapa kamu tega, Mas?" gumam Ryana lirih. Wajah ayunya nan polos kini bersimbah dengan air mata. Air mata di malam yang seharusnya menjadi malam yang membahagiakan, namun kini berubah menjadi sebuah kepanikan yang luar biasa yang dirasakan Ryana. Sang adik yang tadinya sudah tertidur, kini malah tak sengaja terbangun. Kamar Rayyan bersebelahan dengan kamar Ryana di bagian depan. Sementara kamar orangtua mereka terletak di dekat dapur. Rayyan
Ryana yang masih belum bisa menerima kenyataan yang ada, semuanya terasa begitu cepat badai ini menghantam dirinya dan meluluhlantakkan perasaannya tanpa perasaan. Semuanya bagaikan mimpi buruk namun mimpi itu menjadi kenyataan yang sulit diterima. Semenit berlalu begitu saja, mereka lalui tanpa suara. Akhirnya mengiyakan ajakan adik laki-lakinya. Biar bagaimanapun ia harus meminta penjelasan kepada Aldi tentang semua ini. "Ayo cepat Mbak, kita ke rumah Aldi! Tunggu apa lagi? Aku malah pengen cepet-cepet menghaj*rnya," kata Rayyan sambil mengepalkan kedua tangannya. Rasanya pemuda itu tidak sabar ingin segera melayangkan tinjunya ke wajah pria yang katanya menjadi calon suami."Bentar, bentar, Yan. Aku ngambil kerudung dan tas dulu." Ryana yang sudah memakai daster lengan panjang untuk tidur, kemudian dengan cepat memakai jaket rajut, kerudung bergo berwarna hitam, dan tas tangannya. Rayyan juga ke kamarnya mengambil jaket dan dompet. Ia segera memakai jaket kesayangannya dan memas
Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be
Hasfi dan pria tua itu saling bertatapan mata. Pria tua itu merasa sangat mengenal Hasfi. Begitu juga dengan Hasfi. Mereka berdua terkejut dan terperangah melihat satu sama lain. "A-ayah," gumam Hasfi lirih ketika menoleh ke pria itu. Kata-kata yang baru saja diucapkan Hasfi itu meluncur begitu saja, seolah tanpa ia sadari.Begitupun dengan pria tua itu. Sejak pertama kali pria tua itu sudah curiga kalau yang ia lihat itu adalah anaknya. Belasan tahun ia tidak melihat putranya. Ketika dulu ditinggalkan, Hasfi masih duduk di bangku SD. Kini Hasfi sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang berwajah tampan dan gagah. Tetapi garis wajah Hasfi tetap diingat oleh si pria itu. Hubungan darah sampai bagaimana pun tetaplah kental dan tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Begitu juga dengan Hasfi dan Pak Alfian. Keduanya saling mengenal. Hasfi juga tidak bisa menghindar. "Iya, Nak. Kamu Hasfi kan? Alhamdulillah, kamu masih ingat Ayah." Pak Alfian terharu. Matanya berkaca-kaca.Hasfi se
Hasfi mengira keadaan akan baik-baik saja setelah dia pindah dari rumah mertuanya. Ia bahkan sempat berpesan kepada Pak Iman agar jangan memberi tau siapa pun dimana alamat rumah kontrakannya. Namun ia sendiri juga tak menyangka kalau ibu mertuanya akan nekat kemari. Tetapi ia yakin kalau yang memberikan alamat rumah kontrakannya pasti Bapak mertuanya itu. Hasfi mencoba untuk bersikap tenang. Baginya sudah biasa dan bahkan makanan sehari-hari dicibir hanya mahasiswa namun berani menikahi seorang gadis adalah hal yang biasa ia terima. Sekarang ia sudah terbiasa menikmati cibiran tersebut. Justru dengan cibiran tersebut bisa menjadi cambukan agar kehidupannya lebih baik. Hasfi tersenyum. Begitulah jawaban yang akan ia berikan kepada lontaran hinaan yang ditujukan pada dirinya. Terang saja hal tersebut malah membuat Bu Erin makin berang. "Ditanyain orangtua kok malah senyum-senyum? Emangnya kamu senang ya aku bilang pengangguran. Emang dasarnya kayaknya kamu pengangguran deh. Bohong
Begitu lah kehidupan. Kadang kita dihadapkan dengan orang-orang yang menghalangi jalan kita. Namun sebisa mungkin tetaplah kita teguh pada pendirian kira. Jangan sampai larut terhadap arus orang-orang yang tidak menyukai kita. * * Ezra terkejut bukan main karena bertemu dengan Ryana di sini. Sungguh ini adalah pertemuan yang tidak ia sangka sama sekali. "Lho jadi kalian saling kenal?" tanya Lia kebingungan. "Enggak kok. Ya, maksudnya cuma kenal gitu doang," jawab Ezra dengan cepat berkelit. Ryana tersenyum tipis. Ia mengajak Hasfi masuk. Ia paham maksudnya Lia tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka. "Ya Allah. Syukurlah kamu pulang, Lia. Tadi Hasfi menghubungi kamu, katanya nomor kamu enggak aktif. Kamu kemana aja sih?" celetuk Bu Hasna yang langsung memecah ketegangan di antara mereka. "Ma-maaf, Tante. Habisnya Lia tadi sibuk jalan sama temen. Maaf ya, kita tadi ada urusan penting," jawab Lia mencoba berkelit. "Oh iya, enggak papa. Suruh temannya masuk. Udah magrib, engga