***"Kamu tuh ya, dibawa perjalanan setengah jam aja langsung teler."Adara mencondongkan badannya untuk menggendong Elara yang tahu-tahu sudah terlelap di carseat yang sejak tadi dia duduki.Mampir ke kantor Ginanjar untuk mengantar oleh-oleh, Adara melanjutkan perjalanannya bersama Elara menuju kantor Danendra dan tepat pukul dua belas siang, dia sampai.Elara tidur, Adara harus menggunakan kain jarik untuk menggendong putrinya. Beruntung, karena siap sedia, kain tersebut ada ketika dibutuhkan karena memang benda tersebut wajib dibawa ketika berpergian."Sayangnya Mama lelap banget," kata Adara sambil mengencangkan gendongan.Setelah dipastikan aman, dia membuka pintu bagian belakang untuk mengambil kotak makan lalu setelahnya Adara bergegas menuju ruangan Danendra di lantai atas."Siang, Bu Adara.""Siang."Berpapasan dengan beberapa karyawan kantor yang menyapanya, Adara memasang wajah sangat ramah sambil mengukir senyum.Meskipun berjalan sambil menggendong Elara, kesan anggun ta
***"Kamu kenapa, mukanya kok kelihatan sedih?"Adara yang sejak tadi duduk sambil menunduk seketima mendongak ketika Danendra baru saja masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya memanaskan mobil yang akan dia pakai menuju kantor."Enggak apa-apa.""Enggak apa-apa, tapi mukanya ditekuk kaya gitu," ucap Danendra. Mendekat, dia duduk di samping Adara. "Kenapa?"Adara menoleh lalu menatap suaminya itu. Mengangkat tangan, dia menunjukkan benda yang sejak tadi ada dalam genggaman tangannya."Nih.""Testpack?" tanya Danendra. "Kamu habis pake testpack?""Iya," ucap Adara. "Tapi hasilnya negatif.""Terus kamu sedih?" tanya Danendra."Iyalah," ucap Adara. "Ini kan udah sebulan setengah pasca aku lepas kontrasepsi, Dan.""Hm.""Aku takut.""Takut apa?" tanya Danendra."Takut enggak bisa hamil lagi, Dan.""Hush! Kok ngomongnya gitu?" tanya Danendra."Ya sekarang buktinya aku belum hamil juga, kan?" tanya Adara. "Udah sebulan setengah lho ini. Aku cuman takut kecewain kamu aja. Mana Papa sama Mama
***"Minum dulu."Membawa secangkir teh manis di atas nampan, Adara duduk di kursi yang berada di depan rumah lalu menyimpan teh manis di atas meja."Thank you. Padahal enggak usah repot-repot."Adara tersenyum tipis mendengar pernyataan laki-laki yang saat ini duduk di sampingnya. Beberapa menit lalu dia memang kedatangan tamu. Bukan orang asing, tamunya pagi ini adalah pria dari masa lalu Adara yang sudah cukup lama tak dia temui.Rafly. Tentu saja tamu Adara pagi ini adalah Rafly si mantan kekasih. Tak mau terjadi kesalahpahaman atau sebagainya, Adara tak mengajak pria itu masuk ke dalam rumah.Rafly pun tak masalah ketika Adara berkata jika dia hanya bisa mengobrol dengannya di teras karena memang maksud kedatangan Rafly pagi ini bukan untuk macam-macam."Enggak repot, cuman teh manis," kata Adara."Tetap aja, teh manis kan juga dibikin. Enggak simsalabim jadi.""Ah iya."Untuk beberapa detik, suasana tiba-tiba saja canggung karena baik Rafly mau pun Adara sama-sama bingung bagai
***"Udah agak enakkan belum?"Adars yang sejak tadi duduk di pinggir kasur, lantas memandang Danendra yang saat ini berjongkok di depannya.Bukan di kamar milik mereka, saat ini keduanya sedang berada di salah satu kamar hotel tempat mereka menggelar sebuah acara penting.Elara birthday party.Hari ini—tepat Elara berusia satu tahun, Danendra dan Adara menggelar perayaan yang cukup mewah di sebuah ballroom hotel bintang lima yang cukup terkenal di Jakarta.Mengusung tema stitch, dekorasi ballroom dipenuhi hiasan berbau karakter kartun tersebut bahkan untuk dresscode anak-anak pun semuanya memakai baju berwarna biru, termasuk Elara yang sangat cantik dengan gaun panjang mengembangnya."Masih pusing sih, Dan. Perut aku juga kaya mual gitu," ucap Adara sambil mengusap perutnya yang merasa tak enak."Ya udah kamu istrahat aja di sini," ucap Danendra."Yang nemenin Elara siapa?" tanya Adara. "Dia kan bentar lagi mau tiup lilin.""Ada Mama, ada aku," ucap Danendra."Enggak deh, aku mau ke
***"Enggak usah panik, mukanya biasa aja."Mendengar ucapan Felicya, Rafly hanya bisa mendengkus pelan sementara kedua tangannya yang bermuara pada kemudi terlihat sedikit mengalami tremor.Tegang. Sekiranya itulah yang dirasakan Rafly ketika kini dia sedang di perjalanan menuju rumah sakit untuk membawa Felicya yang sepertinya akan segera melahirkan usai mengalami pecah ketuban beberapa menit lalu.Hpl masih dua minggu lagi, Felicya sepertinya akan melahirkan bayinya lebih awal dan beruntung ketika waktunya tiba, Rafly sedang berada di rumah."Aku enggak panik, cuman deg-degan aja," kata Rafly tanpa mengalihkan fokusnya dari jalan.Berbeda dengan Rafly yang terlihat panik, Felicya justru sebaliknya. Perempuan itu masih cukup tenang karena rasa sakit di perutnya pun belum terlalu sering dia rasakan.Rasanya masih seperti digigit semut, itu pun datangnya belum terlalu sering."Enggak panik, tapi tangannya gemetaran," ucap Felicya. "Aku cuman mau lahiran, Raf. Bukan mau mati. Enggak us
***"Aku bukan sakit parah kan, Dan? Kok harus ambil darah segala?"Duduk di brankar rumah sakit, Adara memandang Danendra yang duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas.Pingsan di kamar mandi hotel, Danendra sigap membawa Adara menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dan yang diminta oleh dokter adalah pengambilan darah.Tentunya langkah tersebut diambil setelah dokter mendengar keluhan yang dipaparkan Adara selama beberapa hari ke belakang termasuk hari ini."Enggak, Ra. Kamu enggak sakit kok," kata Danendra menangkan."Terus kenapa harus ambil darah segala?""Buat pastiin keadaan kamu aja, Sayang," ucap Danendra. Mengusap punggung tangan sang istri, Danendra memberikan kecupan di sana.Saat ini keduanya tak berada di ruang rawat karena memang dokter harus mengetahui lebih dulu keadaan Adara.Jika mungkin tak parah, Adara pasti diizinkan pulang setelah hasil tes darah keluar. Namun, jika sebaliknya, mungkin Adara harus menjalani perawatan di rumah sakit."Elara sama siapa
***"Kamu manggil aku, Rafly?"Adara mengurai pelukannya dari Danendra lalu memandang suaminya itu dan menggelengkan kepala agar tak terjadi kesalahpahaman."Enggak, Dan. Aku bukan manggil kamu.""Terus?"Adara sedikit memiringkan badannya lalu mengarahkan jari telunjuk ke arah Rafly yang semakin mendekat."Rafly," kata Adara. "Ada Rafly."Danendra menoleh dan ternyata benar. Rafly berjalan ke arahnya sambil memasang wajah panik. Saking panik, Rafly bahkan tak menyadari keberadaan Adara maupun Danendra karena ketika lewat, pria itu berlalu begitu saja.Ditambah, suasana koridor memang sedikit ramai."Rafly!"Adara yang penasaran, akhirnya memutuskan untuk memanggil Rafly—membuat pria itu berhenti melangkah lalu menoleh."Adara."Sebelum menghampiri Rafly, Adara tentu saja menuntun Danendra untuk ikut serta karena bagaimanapun juga dia harus menghargai posisi sang suami."Raf," panggil Adara lagi ketika sekarang dia sudah berdiri di depan Rafly. "Kamu kok ada di sini?""Iya, Ra. Felicy
***"Sudah ya, Pak. Terima kasih.""Iya, Suster."Pengambilan darah selesai, Danendra kembali menurunkan lengan kemejanya yang beberapa menit lalu dilipat.Beranjak, dia mengedarkan pandangan sebelum akhirnya keluar dari ruangan khusus tempat pengambilan darah untuk menemui Adara yang sejak tadi menunggu di luar seorang diri.Tak mau didiamkan Adara atau mungkin timbul masalah lainnya dengan sang istri, Danendra akhirnya mengalah dengan bersedia mendonorkan darahnya untuk Felicya karena kebetulan perempuan itu belum mendapatkan donor.Sempat tersinggung karena ucapan Danendra, Rafly awalnya menolak ketika Danendra mengutarakan niatnya. Namun, kondisi Felicya yang semakin mengkhawatirkan membuatnya mau tak mau menerima semua itu."Dan, gimana? Udah?" tanya Adara yang langsung beranjak usai melihat Danendra keluar."Udah," kata Danendra. "Sekarang kita pulang, kamu harus istirahat.""Enggak dulu," kata Adara."Kok enggak dulu sih, Ra?" tanya Danendra."Aku pengen pastiin dulu kondisi Fe
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat