***"Udah belum sih, Kak?"Aksa yang sejak tadi duduk santai dengan kedua kaki di atas dashboard juga sepotong pizza di tangan lantas menoleh ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danish.Tak langsung pulang, saat ini—terhitung satu jam sudah Aksa juga Danish menunggu di mobil setelah pemberian pizza pada Rafly yang dilakukan Aksa."Apanya?""Itu Rafly sama Felicya," kata Danish. "Terus emang Kakak yakin habis ini mereka akan berhenti."Aksa menurunkan kedua kakinya lalu memandang Danish. Sebelum menjawab, dia menyimpan ponsel yang sejak tadi dipakai berkirim pesan dengan sang istri di atas dashboard."Ya kalau seandainya mereka berbuat sesuatu malam ini terus Felicya hamil, ya pasti berhenti," kata Aksa. "Logikanya, Felicya nanti hamil anak Rafly. Jadi buat apa mereka ngejar-ngejar Danendra ataupun Dara lagi?""Kalau enggak hamil berarti rencana kita menghentikan mereka gagal?" tanya Danish."Harus hamil," kata Aksa. "Biasanya kalau pertama kali tuh suka tokcer. Ananta gitu soalnya. M
***"Ya ampun."Adara menggeliat pelan setelah beberapa menit lalu membuka matanya. Tak mengambil Elara dari Teresa, semalaman Adara bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus terbangun untuk menyusui karena Teresa sepertinya tak membangunkan dia untuk memberi asi.Di freezer masih ada beberapa buah stok asip yang baru saja disimpan Adara semalam setelah mengecek Elara. Perutnya terasa lapar, setelah melihat Elara aman bersama Teresa, Adara memang bergegas menuju dapur untuk makan malam.Setelah makan malam, dia memeras asi seperti biasa lalu memasukannya ke dalam tempat khusus sebelum didinginkan di freezer.Kembali ke kamar, Adara tak bisa tidur dan kedua matanya baru bisa tertutup setelah pukul dua belas malam. Ponsel Danendra rusak dan belum membeli yang baru, Adara dibuat jenuh karena tak bisa menghubungi suaminya baik lewat telepon maupun chat.Sebenarnya Adara bisa menghubungi Aksa maupun Adam. Namun, tentu saja dia terlalj segan untuk melakukan semua itu."Jam berapa ya ini," gum
***"Ah."Perlahan, Rafly membuka matanya lalu menggeliat—merentangkan kedua tangannya yang entah kenapa tiba-tiba saja merasa pegal. Menguap, dia membalikkan badannya dan ..."Astaga."Rafly tersentak mendapati Felicya tidur di depannya. Tak hanya sekadar tidur, Rafly semakin dibuat kaget melihat perempuan itu tak dibalut sehelai benang pun karena memang selimut yang menutupi tubuh telanjang Felicya hanya sampai ke dada—membuat kedua bahunya terekspos dengan nyata."Feli," ucap Rafly pelan.Memandangi Felicya, ingatan Rafly refleks berlari pada kejadian semalam—di mana dia memperkosa perempuan itu karena pengaruh obat perangsang.Ya, Rafly akhirnya sadar jika pizza yang diberikan Adara mengandung obat perangsang. Namun, kini satu yang mengganjal pikiran Rafly yaitu; setega dan senekad itukah Adara?Delapan tahun, tak hanya Adara yang tahu Rafly. Rafly pun sebaliknya. Dia cukup tahu bagaimana Adara seperti sifat sikap bahkan karakter perempuan itu.Sebenci atau setidak suka apapun Ad
***"Seka dulu ya, Pak.""Iya, Suster."Danendra yang sejak tadi terus memandang pintu—menunggu kedatangan Adara, langsung mengalihkan pandangannya pada perawat yang baru saja selesai mengganti infus.Kegiatan rutin, pagi ini saatnya Danendra diseka. Belum bisa bergerak banyak, Danendra memang selalu diseka dua kali sehari untuk menghilangkan keringat karena sampai kondisinya benar-benar pulih, dia tidak dianjurkan turun dari kasur.Buang air kecil pun, Danendra masih menggunakan kateter."Ada keluhan enggak, Pak?" tanya sang perawat ketika dengan sangat hati-hati dia membuka satu persatu kancing baju yang dipakai Danendra."Enggak sih, Sus. Cuman kadang masih suka pusing tiba-tiba aja," kata Danendra."Oh kalau itu nanti disampaikan ke dokter Ferdi ya, Pak.""Iya suster."Selesai membuka kancing, perawat tersebut melirik Aksa yang masih terlelap di sofanya. Kembali ke rumah sakit pukul dua belas malam, Aksa memang belum bangun sejak pagi tadi.Sebenarnya ketika Adam pulang, pria ber
***"Mau langsung ke rumah sakit apa gimana?""Kayanya langsung aja, Mas.""Oh oke."Menempuh perjalanan selama hampir tiga jam, Clarissa sampai di Jakarta pukul sembilan pagi setelah Ronald menjemputnya pukul enam pagi tadi.Hampir seminggu semenjak pertemua pertama mereka, Clarissa dan Ronald memang bisa dibilang mulai dekat. Bahkan, dari Ronald pula Clarissa tahu tentang Danendra yang mengalami kecelakaan.Karena memang mobil Danendra yang rusak langsung masuk bengkel tempat Ronald bekerja."Kamu lapar enggak sih, Mas?" tanya Clarissa tiba-tiba, pada Ronald."Kenapa emangnya?""Ya kalau lapar, kita bisa berhenti dulu buat sarapan," kata Clarissa. "Kamu berangakat ke Majalengka tadi jam tiga pagi, kan? Udah sempat sarapan emangnya?""Belum sih.""Kan."Jatuh cinta pada pandangan pertama, begitulah sekiranya yang terjadi pada Ronald setelah bertemu Clarissa. Berusaha mendekati perempuan itu, Ronald bahkan rela menyewa mobil untuk menjemput Clarissa yang ingin menjenguk Danendra hari
***"Buka mulutnya kok dikit banget sih, Dan? Yang gede dong, biar sandwichnya masuk."Pemeriksaan kateter selesai, saatnya Danendra sarapan dan sebagai istri yang baik, Adara bersiap untuk menyuapi sanwich untuk sang suami."Ini juga udah gede," kata Danendra dengan raut wajah yang masam."Enggak masuk sandwichnya," keluh Adara. "Ayo yang gede lagi buka mulutnya.""Dipotong aja.""Mager.""Ya udah enggak usah," ketus Danendra. "Simpan aja lagi sandwichnya.""Kok disimpen sih, Dan? Kan mau sarapan.""Tiba-tiba enggak nafsu," kata Danendra."Dan." Adara menghela napas sambil memandang suaminya yang masih memasang raut wajah tak bersahabat.Penyebabnya tentu saja Aji—sang perawat yang baru saja bertugas memeriksa kateternya. Yang membuat Danendra sebal, setelah melakukan tugas, Aji tak langsung pergi dari kamar rawatnya.Yang dilakukan pria itu justru mengajak Adara mengobrol bahkan keduanya saling bertukar nomor ponsel. Cemburu? Jelas. Meskipun baik, gen Adam si pencemburu mengalir di
***"Jadi Mbak maafin aku, kan?"Pelukannya dengan Adara terlepas, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Clarissa pada perempuan di depannya itu."Seharusnya aku yang minta maaf karena udah salah paham sama kamu," kata Adara. "Mana waktu itu aku nampar kamu.""Enggak apa-apa, Mbak. Waktu itu Mbak kan lagi kalut," kata Clarissa maklum. "Sekarang aku juga udah enggak ada hubungan apa-apa lagi kok sama Mas Rafly.""Baguslah." Meskipun tak kenal pada Clarissa, Aksa berceletuk. "Kamu cantik, jadi cari aja laki-laki lain yang lebih baik dari Rafly. Di luaran sana banyak kok laki-laki yang lebih ganteng dari dia.""Kak Aksa nih ya," kata Adara."Kakak ngomong kenyataan," kata Aksa.Setidaknya Aksa bisa bernapas lega karena dia yang hampir diintrogasi Adara akhirnya lolos berkat kedatangan Clarissa dan Ronald.Bukan takut atau apa, Aksa hanya takut Adara ataupun Danendra tak suka dengan apa yang dia dan Danish lakukan pada Rafly dan Felicya karena sejauh ini Aksa pantau, baik adik maupun adi
***"Seriusan mau pulang?"Merasa tak ikhlas, Danendra memandang wajah istrinya itu dengan tatapan nelangsa setelah beberapa menit lalu Adara mengatakan akan pulang."Iya seriusan, kenapa?" tanya Adara sambil merapikan meja nakas yang sedikit berantakan."Aku sama siapa kalau kamu pulang?" tanya Danendra. "Kalau aku butuh apa-apa gimana?""Ada Danish, Sayang," kata Adara. "Barusan dia bilang lagi di jalan sama Ayuma. Lagian aku enggak enak juga sama Mama. Seharian El kan sama Mama.""Ada asip kan di kulkas?""Ada sih, cuman kan kasian Mama harus jagain El," kata Adara.Danendra menghela napas sambil memandang istrinya itu. "Oke, sekarang kamu boleh pulang," ucapnya. "Tapi nanti sore ke sini lagi ya? Aku pengen tidur sama kamu malam ini.""El?""Siapin lagi aja asipnya," kata Danendra. "Malam ini aja. Ya? Kangen akutuh beberapa malam enggak sama kamu.""Tapi Mama.""Nanti aku telepon Mama buat titipin El.""Kalau enggak boleh?""Harus boleh," kata Danendra."Ck, kamu tuh," ujar Adara.