"Kamu siapa?"Rafly mengerutkan keningnya sambil menatap pria bermanik abu yang kini berdiri sambil menghalangi Adara. Selama ini, dia memang tak terlalu tahu silsilah keluarga Danendra.Yang Rafly tahu, Danendra memiliki saudara kembar bernama Danishwara. Dia tak tahu jika pria yang dianggapnya merebut Adara itu punya kakak satu ayah bernama Aksara."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa?" tanya Rafly tanpa rasa takut. "Kenapa ada di apartemen Dara?""Lah, kamu ngapain ke apartemen Dara?" tanya Aksa tak mau kalah, sementara tangannya ke belakang seolah sedang melindungi Adara dari Rafly. "Tahu kan, Adara punya suami? Ngapain ke sini.""Ck."Rafly memandang Aksa meremehkan lalu di detik berikutnya dia dibuat terkejut karena pintu apartemen yang semula terbuka sebagian, kini sepenuhnya terbuka setelah Danish menarik daun pintu yang semula dipegang Aksa."Hai, Raf," sapa Danish. "Apa kabar? Waras?""Danish," kata Rafly."Masih kenal ternyata," kata Danish pada Rafly."Kalian berdua ng
***"Ayo turun."Mobil sedan hitam Aksa baru saja berhenti, Adara langsung membuka pintu mobil lalu lekas turun untuk segera menemui Danendra."Mau ke mana?" tanya Danish."Nemuin Danendra, Nish," kata Adara yang saat ini sudah berdiri di dekat mobil."Tahu kamar rawatnya di mana?" tanya Aksa.Raut wajah Adara berubah cengo lalu di detik berikutnya dia menggeleng. Tadi pagi saat Teresa mengusirnya, Danendra masih di IGD. Itu berarti—otomatis Adara belum tahu di mana suaminya dirawat, sekarang."Enggak," kata Adara singkat."Makanya sabar," ucap Aksa yang langsung membuka pintu mobil lalu menghampiri Adara bersama Danish.Setelahnya, mereka bergegas menuju lobil. Seperti dikawal bodyguard, Adara berjalan di tengah sementara Danish di samping kiri lalu Aksa di samping kanan.Dan tentu saja kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang di rumah sakit yang cukup mengagumi ketampanan Danish juga Aksa yang sama-sama memiliki manik abu—berbeda dengan Danendra yang mempunyai manik mata berw
***"Habis ini kamu pulang dulu aja."Adara yang sedang menyiapkan sarapan, seketika mendongak—menatap Danendra ketika suaminya itu mengucapkan kalimat tersebut."Kamu ngusir aku?"Setelah kedatangannya semalam, Adara memutuskan untuk bermalam di rumah sakit, menemani Danendra bersama Danish, sementara Aksa juga Adam pulang.Tentu, keberadaannya di rumah sakit dirahasiakan semua orang dari Teresa karena jika perempuan itu tahu, bukan tak mungkin Adara akan diusir.Teresa sebenarnya orang yang baik, hanya saja dia terlalu mudah terdistraksi—apalagi itu menyangkut Danendra. Bukan pilih kasih terhadap putra-putranya, Teresa lebih protektif jika itu menyangkut Danendra karena memang sejak kecil, Danendra adalah anak yang baik—dalam artian, jarang membuat masalah seperti yang sering dilakukan Danish.Itulah yang membuat Teresa selalu menginginkan yang terbaik dari yang paling baik untuk putranya itu termasuk pendamping."Bukan ngusir, Sayang," kata Danendra. "Aku nyuruh pulang karena mung
"Kenapa ada perempuan itu di sini?"Perempuan yang semula berdiri di ambang pintu itu akhirnya melangkah masuk lalu berdiri di samping ranjang Danendra.Memandang sang putra juga Adara, perempuan tersebut jelas tak suka dengan kehadiran Adara di sisi Danendra."Ngapain kamu ke sini? Masih punya malu, kamu?""Ma."Adara terlihat cukup tegang—bahkan ketakutan melihat Teresa memasang raut wajah tak ramah."Dia ada di sini jelas mau nemenin suaminya." Danendra buka suara—membuat perhatian Teresa yang semula tertuju pada sang menantu kini beralih padanya."Suami?" tanya Teresa. "Setelah semua yang terjadi, apa masih pantas dia anggap kamu suami, Dan?""Jelas pantas, Ma," kata Danendra menegaskan. "Baik secara hukum maupun agama, Adara masih istri aku.""Sebentar lagi enggak," kata Teresa. "Mama mau kamu ceraikan Adara.""Kalau Danendra bilang enggak mau, gimana?" tanya Danendra."Dan.""Semuanya salah paham, Ma," kata Danendra. "Adara enggak ngelakuin apa-apa sama Rafly. Dia cuman dijebak.
***"Gimana keadaan anak saya, Dokter?"Mengalami sakit di kepala yang sangat luar biasa setelah mengusir Teresa, Danendra langsung mendapatkan penanganan dokter untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Dan sekarang, setelah menunggu hampir lima belas menit, Teresa yang sejak tadi menunggu di luar bersama Danish langsung menghampiri dokter Ferdy untuk menanyakan keadaan sang putra."Danendra jangan dibuat stress dulu ya, Bu," kata Dokter Ferdy. "Cedera dikepalanya bisa dibilang cukup parah dan untuk saat ini pikirannya harus benar-benar tenang. Jangan terbebani apapun kalau bisa karena akibatnya nanti bisa fatal.""Oh baik, Dokter.""Sekarang Danendra tidur karena saya tadi memberinya obat penghilang rasa sakit.""Terima kasih, dokter.""Iya, saya permisi kalau begitu.""Iya."Dokter Ferdy pergi, Teresa langsung melangkah menuju pintu. Namun, belum sempat dia membuka daun pintu ruangan kamar rawat Danendra, tangan Danish meraih tangannya."Mama jangan masuk."Teresa menoleh sambi
***"Jangan macam-macam, bodoh!"Adara refleks mundur setelah seorang pria yang tak tahu kapan datangnya tiba-tiba saja memberikan sebuah tendangan dari samping untuk Rafly.Mengamankan diri, yang dilakukan Adara sekarang adalah berdiri di belakang pria bermanik abu yang tak lain adalah Kakak iparnya sendiri, Aksa."Sialan," desis Rafly yang saat ini masih terduduk. Sorot matanya menampakkan rasa kesal ketika dia menatap Aksa yang justru memasang raut tenang. "Beraninya kamu lakuin ini.""Berani?" Aksa tersenyum miring. "Kenapa enggak berani? Memangnya siapa kamu? Presiden?"Rafly menggretakkan rahang sambil beranjak. Maju, dia memberikan serangan dengan melayangkan sebuah pukulan. Namun, kepalan tangannya tak semudah itu menyentuh wajah Aksa karena sebelum semua itu terjadi, Aksa lebih dulu menghindar lalu membalas Rafly dengan menyerangnya lebih dulu."Ish!" Rafly kembali mendesis ketika sudut bibirnya berdarah karena pukulan Aksa."Lemah," celetuk Aksa. "Pantesan aja Dara lebih mi
***"Ah, sialan."Felicya yang sejak tadi sibuk dengan designnya seketika mendongak ketika seorang pria tiba-tiba saja masuk lalu duduk di sebuah sofa yang tersedia di ruangannya.Menghembuskan napas kasar, pria itu tanpa ragu membuka kaos yang dia pakai—membuat dada bidangnta yang shirtless terekspos."Heh kamu! Ngapain?!" tanya Felicya—setengah memekik, cukup kaget dengan apa yang dilakukan Rafly. "Kalau ada pegawai aku atau konsumen gimana?! Pake lagi bajunya buruan!""Gerah," kata Rafly."Raf.""Apa sih, Fel? Ribet banget!""Pake bajunya!" ujar Felicya. "Kalau enggak mau pake, mendingan pergi sana!"Rafly mendesah lalu di detik berikutnya dia kembali memakai kaos, sementara Felicya melanjutkan pekerjaannya—memberikan sentuhan terakhir pada gaun pengantin yang sedang dia rancang.Belakangan ini Felicya memang sedang disibukkan dengan pesanan beberapa gaun di butiknya dan hal itulah yang membuat dia sampai saat ini belum melancarkan aksinya mendekati Danendra.Felicya bahkan belum s
***"Sampai."Membawa Adara bersamanya, sedan hitam yang dikendarai Aksa sampai di kediaman megah keluarga Aelxander lalu berhenti persis di depan garasi yang dibangun terpisah dengan rumah.Mengajak Adara mampir ke sebuah restoran untuk sarapan, Aksa dan adik iparnya sampai pukul sepuluh siang.Di luar dugaan, sangkaan Aksa tentang Teresa yang mungkin masih di rumah sakit ternyata salah karena mobil yang dipakai perempuan itu tadi pagi ke rumah sakit sudah ada di depan garasi.Oke, tidak apa-apa. Aksa bisa menghadapi mama tirinya itu."Kenapa, Kak?" tanya Adara ketika Aksa hanya diam setelah beberapa menit lalu mobilnya berhenti."Enggak," kata Aksa. "Ayo turun.""Iya."Perasaan Adara sedikit lebih tenang karena sama seperti Aksa, dia mengira Teresa masih di rumah sakit juga Adam yang pasti tentunya berada di kantor.Setidaknya—untuk sementara waktu, Adara bisa langsung menemui putrinya. Namun, ternyata harapan itu pupus ketika Adara dan Aksa sampai di ruang tengah nan luas kediaman
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat