***"Ah, sialan."Felicya yang sejak tadi sibuk dengan designnya seketika mendongak ketika seorang pria tiba-tiba saja masuk lalu duduk di sebuah sofa yang tersedia di ruangannya.Menghembuskan napas kasar, pria itu tanpa ragu membuka kaos yang dia pakai—membuat dada bidangnta yang shirtless terekspos."Heh kamu! Ngapain?!" tanya Felicya—setengah memekik, cukup kaget dengan apa yang dilakukan Rafly. "Kalau ada pegawai aku atau konsumen gimana?! Pake lagi bajunya buruan!""Gerah," kata Rafly."Raf.""Apa sih, Fel? Ribet banget!""Pake bajunya!" ujar Felicya. "Kalau enggak mau pake, mendingan pergi sana!"Rafly mendesah lalu di detik berikutnya dia kembali memakai kaos, sementara Felicya melanjutkan pekerjaannya—memberikan sentuhan terakhir pada gaun pengantin yang sedang dia rancang.Belakangan ini Felicya memang sedang disibukkan dengan pesanan beberapa gaun di butiknya dan hal itulah yang membuat dia sampai saat ini belum melancarkan aksinya mendekati Danendra.Felicya bahkan belum s
***"Sampai."Membawa Adara bersamanya, sedan hitam yang dikendarai Aksa sampai di kediaman megah keluarga Aelxander lalu berhenti persis di depan garasi yang dibangun terpisah dengan rumah.Mengajak Adara mampir ke sebuah restoran untuk sarapan, Aksa dan adik iparnya sampai pukul sepuluh siang.Di luar dugaan, sangkaan Aksa tentang Teresa yang mungkin masih di rumah sakit ternyata salah karena mobil yang dipakai perempuan itu tadi pagi ke rumah sakit sudah ada di depan garasi.Oke, tidak apa-apa. Aksa bisa menghadapi mama tirinya itu."Kenapa, Kak?" tanya Adara ketika Aksa hanya diam setelah beberapa menit lalu mobilnya berhenti."Enggak," kata Aksa. "Ayo turun.""Iya."Perasaan Adara sedikit lebih tenang karena sama seperti Aksa, dia mengira Teresa masih di rumah sakit juga Adam yang pasti tentunya berada di kantor.Setidaknya—untuk sementara waktu, Adara bisa langsung menemui putrinya. Namun, ternyata harapan itu pupus ketika Adara dan Aksa sampai di ruang tengah nan luas kediaman
***"Darimana?"Danendra menatap Danish yang baru saja kembali setelah pergi tanpa pamit ketika dia tengah tertidur."Lihat jam," kata Danish sambil menarik kursi untuk duduk di samping saudara kembarnya.Tak banyak bertanya, Danendra langsung melirik jam dinding yang ada di sana yang sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Punya IQ tinggu dan sehingga bisa menangkap dengan cepat, Danendra cukup paham maksud dari ucapan Danish."Makan siang di mana?""Di kantin rumah sakit," kata Danish."Oh," ujar Danendra lagi.Danish melirik nampan makan siang Danendra di atas meja yang terlihat masih utuh. Makanan itu sebenarnya datang pukul sebelas siang tadi.Namun, karena nafsu makan Danendra memburuk setelah kejadian tadi pagi membuat dia memilih untuk membiarkan makanan tersebut utuh.Selain itu, Danendra juga kesulitan memegang sendok karena tangan kanannya yang patah."Belum dimakan juga makanannya?" tanya Danish."Belum," kata Danendra singkat. "Males.""Makan kok males?" t
"Halo, apa kabar kalian?"Baik Danendra maupun Danish sama-sama tak menjawab sapaan yang diucapkan perempuan di ambang pintu.Keduanya memasang wajah datar—membuat perempuan tersebut akhirnya menutup pintu lalu masuk tanpa meminta izin lebih dulu."Aku nyapa kok enggak dijawab?""Ngapain ke sini?" tanya Danendra pada akhirnya. "Mau cek rencana kamu berhasil apa enggak?""Rencana?" Perempuan tersebut mengerutkan kening—memasang wajah pura-pura tak mengerti. "Rencana apa maksud kamu, Dan?""Enggak usah pura-pura polos, kamu pikir kita bego?" tanya Danish pada Felicya.Ya, perempuan yang baru saja datang sambil membawa sebuket bunga juga keranjang buah tersebut adalah Felicya.Alih-alih langsung menghentikan niatnya untuk mendekati Danendra setelah mendapat ancaman dari Adam, Felicya justru mempercepat semuanya.Sebelum terlambat, dia bertekad untuk mendekati Danendra tanpa sadar jika rencana yang dia susun dengan Rafly nyatanya sudah terbongkar karena keteledoran yang tak dia ketahui."
***"Buka mulutnya."Selepas kepergian Felicya, Adara langsung menggantikan Danish duduk di samping Danendra untuk menyuapi suaminya itu makan siang.Aksa duduk di sofa, sementara Danish berpamitan untuk istirahat di rumah sebelum nanti sore menjemput istri juga anak-anaknya yang akan datang ke Jakarta."Enak enggak?" tanya Adara ketika Danendra mulai mengunyah nasi juga ayam bumbu kuning dan sayuran lain sebagai pelengkap."Enak," kata Danendra."Tadi perempuan itu ngapain aja di sini?"Danendra maupun Adara seketika menoleh pada Aksa ketika pria itu melontarkan pertanyaan tersebut."Enggak ngapa-ngapain," jawab Danendra. "Dia bahkan baru datang.""Oh." Aksa menjawab singkat. "Enggak tahu malu.""Dia enggak ngaku," kata Danendra. "Felicya bilang kalau dia sama sekali enggak tahu tentang Dara sama Rafly yang tidur sekasur.""Terus kamu percaya?" Bukan dari Aksa, pertanyaan tersebut berasal dari Adara."Percaya," kata Danendra."Dan." Adara menatap suaminya."Jangan aneh-aneh," celetuk
***"Akhirnya tidur juga kamu, Nak."Adara tersenyum sambil memandang Elara yang sudah terlelap dan menghentikan kegiatan menyusunya.Malam ini, Adara tak menjaga Danendra di rumah sakit karena harus menemani Elara. Sebenarnya dia ingin menginap lagi. Namun, karena Aksa juga Adam di sana, Adara mengalah.Lagipula Teresa tak akan fokus menjaga anaknya kalau Adara pergi karena malam ini cucunya yang lain datang dari Surabaya.Sesuai rencana, sore tadi sekitar pukul enam sore, Ayuma—istri Danish datang dari Surabaya membawa ketiga anaknya. Tujuan dia datang tentu saja ingin menjenguk Danendra.Sebagai adik ipar, hubungan Ayuma dan Danendra memang bisa dibilang cukup akrab. Apalagi menurut cerita Danish, dulu Danendra sempat berniat mengincar Ayuma sebelum Danish menyatakan cinta pada istrinya itu."Tidur yang nyenyak ya, Sayang," kata Adara sambil membaringkan Elara di box bayi yang terletak persis di samping kasur.Sama seperti di apartemen, di rumah ini pun Adara juga Danendra memutusk
***"Pergi dulu, Pa.""Mau ke mana?"Bukan dari Adam, pertanyaan tersebut dilontarkan Danendra pada Aksa yang baru saja beranjak dari sofa."Mau keluar.""Ke mana?" tanya Danendra penuh selidik."Nyari angin," kata Aksa."Seriusan?""Emang muka Kakak kelihatan bercanda?" tanya Aksa."Enggak sih.""Kenapa sih, Dan?" tanya Adam pada Danendra. "Kakaknya mau keluar kok kaya enggak boleh. Kenapa?""Enggak," kata Danendra. "Siapa juga yang bilang enggak boleh.""Ya udah," kata Aksa. Dia kemudian melirik Adam lagi. "Pergi, Pa.""Iya."Setelahnya, Aksa benar-benar pergi meninggalkan kamar rawat Danendra. Tak sekadar mencari angin, tujuannya malam ini adalah keluar bersama Danish untuk menemui seseorang."Di mana?" tanya Aksa pada sang adik ketika dia mengemudi sambil menelepon."Masih di rumah," jawab Danish. "Sini jemput.""Oke."Tak banyak basa-basi, Aksa segera melajukan sedan hitamnya menuju rumah untuk menjemput Danish. Jalanan lancar, dia sampai persis di depan rumah pukul delapan malam
***"Siapa?"Felicya yang baru saja keluar dari kamar setelah mengganti baju, langsung melontarkan pertanyaan ketika Rafly berjalan menuju ruang tamu sambil membawa pizza di tangannya."Kurir anterin pizza," kata Rafly sambil mendudukkan dirinya di sofa.Felicya mengerutkan kening lalu berjalan mendekat dan duduk di depan Rafly. "Pesen pizza?" tanyanya."Enggak.""Lah terus?"Rafly tersenyum. "Dari Adara," ucapnya."Hah?""Dari Adara," kata Rafly—mengulang lagi ucapannya."Kok bisa?""Apanya?" tanya Rafly lagi."Itu kok bisa Dara kirim pizza ke kamu?" tanya Felicya penasaran. "Bukannya kamu bilang dia marah?""Enggak tahu," kata Rafly. "Tadi dia tiba-tiba kirim chat terus minta maaf.""Terus?" tanya Felicya sambil mengernyit."Terus dia bilang mau kirim pizza, dan sekarang pizzanya udah datang."Felicya terdiam lalu bersandar pada sofa ketika otaknya menangkap sebuah kejanggalan dari cerita Rafly.Pagi tadi, Rafly bilang Adara marah besar lalu siamg pun ketika Felicya datang, Adara ma
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat