POV : Suhada***Saat aku datang ke kampus untuk menanyakan jadwal skripsi, tiba-tiba datang Putra Manggala, teman sekelasku dulu. Dia duduk di hadapan. Kami mengobrol sejenak, dan dia bertanya mengapa wajahku murung. Kukatakan isi hatiku padanya. “Ya ampun, jadi kamu sekarang jadi kuli panggul di pasar?” Aku mengangguk lemah. Tampak Putra berpikir sejenak. “Suhada, sebenarnya papiku lagi cari karyawan. Apa kamu mau mencoba melamar di perusahaan papiku? Jadi salesman, gajinya UMR, dan ada tunjangan juga insentif kalau mencapai target.”“Serius, Put? Soalnya, dulu aku sudah pernah melamar kerja di mana-mana dan ditolak.”“Ya, seriuslah. Kamu tenang saja, nanti aku bilang ke Papi soal kepribadian kamu. Insyaallah diterima, Da.”“Eh, ini masuk KKN enggak, sih?” tanyaku tersenyum samar sambil garuk kepala.“Enggak, lah, ini mode on kepepet. Hahahaha.”Kami sama-sama tergelak. Aku mengucapkan banyak terima kasih pada Putra. Karenanya, semangat mencari kerja kembali membara. Tak berapa l
POV : Hada “Iya, Pak. Saya sendiri.”“Silakan duduk di sini.”Aku mendekat dan duduk di hadapannya. Pria itu meminta map berisi syarat-syarat dan membacanya. “Putra sudah cerita banyak soal kamu. Jadi, kapan mau bekerja?”Mataku membulat. Aku bahkan belum di tes dan wawancara seperti calon pekerja pada umumnya. “Tapi, Pak, saya belum dites seperti kebanyakan orang.”“Saya percaya anak saya, karena dia sering menceritakan kamu di rumah. Saya suka sama orang pekerja keras, bertanggung jawab, dan jujur seperti kamu.”“Terima kasih, Pak.”Tiba-tiba gawainya berdering. “Hai, Pak Prio. Apa kabar?”Tanganku mengepal mendengar nama itu. Dia pasti memata-mataiku. Tampak Pak Reo bicara sangat akrab dengan Prio. Aku diam, menahan rasa yang entah di dalam dada. Kemudian wajah ceria Pak Reo berubah. Dia beberapa kali melirik ke arahku, sementara aku hanya membisu dengan wajah datar. “Maaf, Pak Prio, kita memang teman, tapi kalau hanya karena hal remeh seperti itu membuat Anda membatasi ruang ge
“Dih! Apaan, sih?” Aku melengos masih kesal, tapi juga bahagia. Ah, entahlah.“Kalau masih cemberut, berarti minta cium nih? Mas hitung sampai tiga. Kalau enggak mau senyum, ya kena cium. Satu.” Dia mendekat, “Dua.” Lebih mendekat. Aku mengulum senyum melihat tingkahnya. “Yah, kok senyum?” Mas Hada melepas tanganku dan ambruk di kasur sambil memejamkan mata. Melihat itu, ganti aku yang tertawa. Setelah cukup lama, aku menjawil lengannya. “Mas.”“Em.”Aku pura-pura cemberut. Dia membuka mata. Melihatku seperti itu, Mas Hada tertawa, kemudian langsung menarik tangan ini hingga aku jatuh di atasnya. “Bisa dimulai?” tanyanya tersenyum nakal.“Hayuk,” sahutku singkat. Adegan selanjutnya, cukup jadi rahasia aku dan dia! Aku tak pernah tahu jika sekali jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya. Malam ini, entah berapa kali kami melakukannya. Aku berharap, jika Allah menumbuhkan benih di rahimku, maka keturunan kami akan seperti bapaknya. Karena entah mengapa, bagiku, Mas
Aku menunggu Mas Hada sejak tadi, tapi dia belum juga pulang. Padahal, aku sudah selesai menjalankan salat Isya sejak tadi. Aku pikir, Mas Hada akan pulang sore, nyatanya sampai sekarang belum juga pulang. Karena khawatir, aku memutuskan meneleponnya.“Halo. Assalamu’alaikum, Sayang.”“Wa’alaikumsalam, Mas. Kenapa belum pulang?”“Lagi di-briefing sama supervisor yang lama. Insyaallah, sebentar lagi pulang. Mau titip apa?”“Enggak ada.”“Serius, Sayang?”“Hu-um. Aku cuma mau kamu pulang.”“Tunggu, ya.”“Tapi janji cepat pulang, ya.”“Iya, Sayang. Ya sudah, Mas tutup dulu, ya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam, Mas.” Kemudian telepon kumatikan. Aku menuju dapur dan membuka tudung saji. Untuk pertama kalinya, aku memanggang ikan untuk Mas Hada. Aku mencoba mengingat resep yang pernah diajarkan olehnya, dan alhamdulillah hasilnya enak. Suasana sepi, dan gerimis. Kulirik jam, pukul 22.00. Aku menguap beberapa kali, menyandarkan kepala ke meja makan sambil menunggu Mas Hada pulang.“Mas,
“Pulang, Mas?” tanya Pak Satpam, saat aku melintas.“Iya, Pak. Kemalaman terus.”“Ya, namanya kerja, Mas.”Aku hanya tersenyum. Sampai di parkiran, aku memakai helm, lalu menoleh ke atas di mana ruanganku berada. Di sana, kulihat wanita yang bernama Fika tadi memperhatikanku dari kaca jendela. Aku segera mengalihkan pandangan, menghidupkan mesin sepeda motor dan meninggalkan area parkiran. Di jalan, kata-katanya terus saja mengganggu pikiran. Yang seharusnya menikahiku dulu pria ini. Andai aku tahu sejak dulu. Apa maksud dari kata-kata itu? Apa ada sesuatu yang tidak kuketahui? Maksud dia bilang pria ini, itu siapa? Apa aku? Ah, aku menggelengkan kepala berusaha menghalau rasa penasaran yang terus saja mengganggu pikiran. Alhamdulillah, akhirnya aku sampai di rumah. Kuparkir sepeda motor dan mengetuk pintu. Aku yakin, di jam seperti ini Hana pasti masih menungguku. Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum.”Tidak menunggu waktu lama, Hana langsung menjawab, “Wa’alaikumsalam.” Pintu terbuka
POV : Hana“Han, hewan-hewan di peternakan hampir mati semua,” kata Mas Irwan dari seberang telepon.“Apa? Kok, bisa?”“Sepertinya ada orang yang sengaja ingin melakukan ini. Mas menemukan botol racun di kotak sampah.”“Ya Allah, Mas. Sapi-sapinya bagaimana?”“Alhamdulillah, banyak yang selamat. Cuma ... ada dua sapi yang keburu mati, karena dikasih makan duluan. Sisanya belum sempat dikasih makan, karena si Yudi keburu laporan begitu lihat gelagat aneh dua sapi itu setelah dikasih makan.”“Alhamdulillah, ya Allah. Ya sudah, nanti pulang dari sini kami mampir ke rumah ya, Mas. Atau ... nanti malam kami datang ke sana.”“Iya, Han. Mas tutup dulu, ya, teleponnya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.” Aku menutup telepon, dan Mas Hada mendekat. Kuceritakan kejadian yang menimpa peternakan Mas Irwan. Kami sepakat, nanti malam akan berkunjung ke rumah Ibu. Kebetulan sudah lama juga tidak main ke sana.***Aku dan Mas Suhada janji datang ke rumah Ibu setelah salat Magrib, tapi hingga Isya s
Pulang dari rumah Ibu—setelah asar, aku memutuskan mampir ke kantor Mas Hada untuk mengantarkan nasi kotak yang dititipkan oleh Ibu. Aku menemui Pak Satpam dan dia mengizinkanku naik. Di lift, tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang wanita. Dia memakai kemeja berwarna putih dan rok cokelat selutut, rambutnya digerai sepanjang bahu. Hidung mancung dan mata yang sipit dipadu dengan bulu mata yang lentik, membuat kaum hawa di hadapanku ini terlihat semakin menarik. Belum lagi aroma wangi yang berasal dari tubuhnya, pasti membuat siapa pun merasa betah ada di dekat dia.“Hana, ya?” tanyanya, saat kami baru saja keluar lift menuju ruangan Mas Hada.“Iya, Mbak.”“Mau cari Suhada?”“Eh, iya.”“Dia sudah makan. Tadi keluar sama aku pukul 15.15.”Aku menghentikan langkah, kemudian menatap wanita super seksi yang ada di hadapanku ini. “Oh, ya? Makan di mana kalian, Mbak?” tanyaku masih bersikap sopan.“Di luar, pakai mobil dinas. Biasalah, namanya juga teman satu kantor.”Aku tersenyum tipis.
POV : Suhada ***Sungguh, aku tak tega. Sementara mereka sibuk bercerita, aku mengeluarkan gawai dan memutuskan mengirim pesan.[Assalamu’alaikum, Cantik. Sayang, lagi apa?]Tak perlu menunggu waktu lama, Hana membalasnya. [Wa’alaikumsalam, Mas Suhada yang paling ganteng sedunia. Aku lagi masak.][Masak apa, sih, Sayang?][Tumben banget tanya-tanya. Kenapa nih?]Aku mengetik 'Mas sedih karena akan pelatihan luar kota, dan akan meninggalkan kamu sendiri', tapi kuhapus lagi. Kuputuskan untuk membalasnya seperti ini. [KANGEN. Emot cium.] Hana membalas, dengan mengirimkan begitu banyak emot love.***“Mas, kamu kenapa, sih?” tanya Hana, karena sejak tadi aku terus saja memeluknya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kenapa memang? Enggak boleh?”“Ya, boleh. Cuma enggak biasanya. Dari pulang kerja sampai sekarang, kok meluk terus? Kayak mau pergi jauh saja.”“Habisnya, Mas enggak tahu bagaimana caranya memberi tahu kamu kalau Mas itu cintaaa banget sama kamu.”“Sudah tahu! Kan, Mas sendiri yang
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l