"Ada apa ini? Apa benar dia istri Andre?" tanya calon besan keheranan. "Nggak, dia bohong. Hanya mengaku-ngaku aja, nggak usah dipercaya," jawab Mama yang sedari tadi diam kini ikut bicara. "Andre, segera kamu usir dan pecat pembantu kamu itu. Jangan buat malu kita di sini!" hardik Tante sambil mencekal tanganku dan membuatku berdiri lalu didorong. Mas Andre yang lagi kebingungan juga bimbang. Namun, karena desakan Tante akhirnya Mas Andre bangkit dan meminta aku mengikutinya. "Ratih, ikut saya keluar!" kata Mas Andre terpaksa. Sampai di luar, Mas Andre memarahiku. "Kenapa kamu bocorkan status kita? Bukankah Mas minta izin kamu apakah Mas boleh jawab iya tadi." "Loh, bukankah Mas yang bilang nggak mau dengan perjodohan itu. Apa Mas berubah pikiran?" protesku sengaja aku pancing agar Mas Andre naik pitam. "Awalnya iya, tapi karena Tante terus mendesak dan Mas nggak ingin keluarga Mas jadi malu," alibinya. "Kenapa, Mas? Jangan bohong kamu, apa Mas suka gadis itu? Apa kalian suda
Aku terkejut mendengar alarm berbunyi dari ponselku. Memang sudah biasa tiap tidur kuaktifkan alarm, agar tidak terlambat bangun. Kulirik jam dinding sudah pukul lima pagi, sayup-sayup suara adzan mengalun merdu. Gegas aku bangkit dan menuju kamar mandi. Ruang pribadi dilengkapi kamar mandi dan toilet agar tidak bercampur dengan yang lain. Selesai mandi dan berwudhu, aku menjalankan sholat Subuh. Pagi ini suasana hatiku terasa segar, lagipula aku sudah bebas tak ada beban lagi menggelayut. Membuka pintu lalu menuju balkon, mencoba menghirup udara segar. Ah, leganya tidak pernah lagi kurasakan setenang ini. Walaupun ada sedikit sedih namun sudah jalanku harus berpisah dengan Andre. Ngomong-ngomong apa yang terjadi tadi malam ya? Gimana perjodohan itu, sukseskah? Bagaimana respon calon madu setelah aku didamprat keluar. Ah, lebih baik kutanya Nova saja, dia pasti tau semuanya. Terdengar pintu diketuk, gegas aku membuka. Ternyata Nova yang berdiri, ingin memberi laporan seperti biasa
Waktu yang terlampir di video menunjukkan kalo Bagas datang ke restoran, sama dengan waktu aku di jemput Andre dari kampung. Ah, ya aku ingat saat itu aku melihat Bagas naik mobil dengan wanita cantik ternyata mereka menuju restoran ku. Sayangnya saat itu wanita yang bersama Bagas berdiri membelakangi, jadi aku pun kurang jelas. Sudahlah, nanti aku tanya pada Bagas saja. Lebih baik aku lihat video malam tadi, pasti lebih menggelitik. Tak sabar segera kuperbesar, tampak mereka semua ceria dan senang. Apalagi Tante tertawa terus, wanita arogan itu sekarang lagi senang lihatlah akan kubuat dia terdiam nanti. Netraku beralih pada Mas Andre yang telah duduk di sebelah Lisa. Astaga, apa yang mereka lakukan di tempat umum, dasar tidak tau malu. Tampak tangan Andre mengelus paha si Lisa dan membelai belahannya. Lisa hanya menggigit bibirnya menahan hasrat. Sepertinya mereka berdua sudah kebelet, tapi kenapa tidak ada yang tau apa yang dilakukan Andre pada Lisa. Apa mereka sengaja atau mema
Aku yang terkejut begitu dipeluk segera melepaskan diri. "Lepaskan Andre, kita udah berpisah. Jangan sentuh, aku sudah jijik padamu." "Nggak, Mas nggak akan melepaskan kamu. Mas, kangen kamu sayang. Ayolah, Mas rindu. Puaskan Mas sayang!" ucap Mas Andre memelukku lebih kuat dan menghempaskan tubuhku ke ranjang. "Apa yang kamu lakukan, Andre? Kita bukan suami istri lagi, pergi jangan dekati aku," kataku sambil mundur ke belakang. "Ayolah, Ratih sekali ini aja. Mas ingin mendapatkan kepuasan darimu, apa kamu nggak rindu," rayu Andre terus mencengkeram tanganku. Dan dengan gesit menindih tubuhku. Aku memberontak melepaskan diri dan teriak. "Tolong ... Nova, tolong saya ...." "Sssttt, jangan berisik sayang. Kamu tenang aja Mas nggak akan menyakitimu," kata Andre membekap mulutku dengan tangannya. Tangan Andre satu lagi semakin bergerilya di tubuhku. Aku tetap tak bisa bergerak karena tenaga Andre yang besar. Saat tangan Andre akan menelusup ke dalam rok ku tiba-tiba terdengar lengki
Begitu nampak rumah sakit, Nova segera belok dan memasuki mobil ke area parkir. Setelah parkir, aku turun. Nova tetap menunggu di mobil sesuai perintahku. Kini kedua kalinya aku memijakkan kaki ke rumah sakit. Karena sudah tau letak ruang kerja Bagas, aku segera menuju ke sana. Kebetulan pasien sedikit hari ini, jadi aku mendaftar sebagai pasien agar tidak kentara kali. Nomer urut ku yang terakhir jadi agak leluasa untuk mengobrol sedikit dengan Bagas. Hingga dua puluh menit kemudian, namaku dipanggil. Aku maju dan masuk ke ruangan Bagas. Dia sedang sibuk menulis di meja kerjanya. "Silahkan duduk!" katanya tanpa melihatku. Aku duduk di kursi berhadapan dengannya, Bagas belum mendongakkan wajahnya. "Apa keluhannya, Bu?" tanyanya sambil tetap menulis. "Saya ingin bertanya, dok!" jawabku sedikit tegas. Mendengar suaraku, Bagas menghentikan tangannya. Lalu menatapku kaget, "Ratih?" Aku tersenyum, tetapi bukan karena suka melainkan sebagai teman lama. Seketika wajah Bagas berbinar,
Ah, lebih baik aku pulang saja. Nova sudah terlalu lama menungguku, gegas kulangkahkan kaki dengan cepat. Namun, saat akan mencapai pintu keluar pandanganku tertuju pada pasangan yang sedang masuk ke dalam ruang dokter kandungan. "Mas Anton?" pekikku kaget seraya menutup mulut tak percaya. Benarkah itu dia? Tapi dengan wanita, siapa wanita itu? Jiwa kepo aku muncul lalu mengikuti sampai ke ruangan dokter kandungan. Menempelkan telinga untuk menguping pembicaraan mereka. "Permisi, Dok!" "Ya, silahkan duduk!" pinta Dokter. "Bagaimana, ingin periksa kandungan? Mari, saya USG dulu." "Bagaimana, Dok kandungan istri saya?" "Kandungan dalam keadaan baik dan sehat, jalan empat bulan harus rajin konsultasi ya dan banyak minum vitamin serta buah-buahan," saran dokter. What, istri? Jadi Mas Anton sudah menikah lagi, bahkan istrinya sudah mengandung empat bulan. Apakah Rina mengetahui kalo suaminya menikah lagi, mungkin saja belum soalnya tidak ada mendengar keributan mereka. Kasihan Ri
"Oh ya, gimana hubungan kamu dengan Andre? Apa kalian jadi pisah?" tanya ibu cemas. Aku menunduk sedih, ingin berpura-pura kalo rencana gagal. Bergantian ingin beri kejutan pada mereka, melihatku murung ibu mengelus lembut bahuku. "Sabar ya, Nak. Mungkin belum waktunya untuk kamu pisah dari Andre, kalo memang ada hal yang buat kalian membatalkan cerai mungkin itu yang terbaik," hibur ibu. Mendengar penuturan Ibu, aku pun cekikan. Bapak dan Ibu heran melihatku, kenapa aku malah cekikan. "Pak, Bu. Sebenarnya Ratih udah pisah dengan Andre, Ratih sudah ditalak tiga," kataku tersenyum. Ibu memukul lenganku. "Kamu ini, udah bohongi kami. Kalo gitu kenapa tadi sedih?" ucap ibu manyun. "Maaf, Bu. Ratih sengaja untuk beri kalian kejutan. Sekarang kita impas kan," ujarku tertawa. "Sudah, sudah, yang penting kamu bahagia. Kami dukung apapun keputusanmu," sahut Bapak menimpali. Aku melihat orang tuaku membawa tas, pasti mereka berencana menginap. Tapi, restoran ini cuma ada satu kamar itu
Namaku Anton, anak bungsu dari tiga bersaudara. Sedari kecil hidup susah, membuatku harus mandiri sejak dini. Sekolah hanya tamat SD karena orang tua tak mampu membiayai sekolahku. Kedua kakakku juga berhenti sekolah saat kelas sembilan. Disaat sudah putus sekolah, kedua kakakku bekerja membantu perekonomian keluarga. Walaupun hasil tak seberapa tapi sedikit banyak meringankan beban orang tua. Apalagi setelah Ayah telah berpulang ke Rahmatullah. Nyaris tiada yang bantu ibu menopang beban, karena itu kedua kakakku inisiatif berhenti sekolah. Aku yang masih terlalu kecil, hanya bisa membantu ibu di rumah. Seperti memasak dan mencuci serta membersihkan rumah adalah tugasku. Memasak yang ringan seperti menggoreng telur, tempe, aku bisa. Namun, karena sering di ajarkan ibu lama-lama aku bisa memasak yang berat, masak nasi dan sambel. Beranjak remaja, seorang kakakku sudah menikah dan diboyong suaminya. Tinggal aku, kakak kedua dengan ibu, melihatnya semakin tua aku merasa kasihan. Ingin