Pagi menjelang dan Dewi bergegas kembali ke rumahnya. Sejak semalam dia memang berjaga di rumah sakit bersama Alif suaminya. Setelah perdebatan sengit dengan mertuanya, Rendi akhirnya mengalah membiarkan Dewi merawat Caca selama gadis itu sakit."Aku akan pulang dulu sayang, kasihan Nadia sendiri sejak semalam." Dewi sudah bersiap di depan Alif dengan baju semalam masih melekat di badan, namun wangi sabun sudah menguar dari tubuhnya."Kamu sudah mandi, hem?" Alif megang tangan Dewi demgan lembut dan mengecupnya mesra."Iya, aku tak bisa tidur nyenyak semalaman, panas Caca naik begitu tinggi, untungnya pagi tadi dia tak kejang lagi. Aku mandi karena badanku sangat letih." Ucap Dewi lalu duduk sebentar di sisi suaminya, Alif bisa melihat wajah ayu itu kini nampk begitu sayu."Maaf sayang, aku sudah membuatmu bertengkar dengan papa semalam, bukan maksudku ingin begitu hanya saja aku masih terus memikirkan keadaan Caca" Dewi menunjukkan rasa bersalahnya.Sejak semalam Dewi memang tak bisa
Dewi melepaskan kasar tubuh Diana, menyisakan banyak helaian rambut di tangannya.Dewi lantas membiarkan wanita itu berlari masuk ke dalam rumah."Kejar!" Teriak Yasmin panik"Tidak! Jangan kejar, birkan saja dia ke sana!" Ucapnya sembari menunggu Diana benar-benar masuk ke dalam rumah."Kenapa nyonya tak membiarkan kamu menangkapnya?""Tidak Yasmin, jangan sekarang! Biarkan saja dia bahagia dengan caranya sendiri! Dan aku sudah mendapatkan ini!" Ucap Diana dengan santainya memperlihatkan helai demi helai rambut yang menempel di sela-sela jarinya "Aku tak butuh banyak hal, aku sudah dapat apa yang aku inginkan!" Ucap Dewi lalu ikut masuk ke dalam rumah mertuanya.Di dalm rumah Diana masuk seperti orang gila, mendekati ruang makan yang kini ada Rendi dan Nadia."Dimana anakku!" Dian berteriak kencang, membut Rendi yang tengah menikmati sarpn paginya menatap dengan kesal."Ada apa lagi sekarang?" Rendi mengusap mulutny dengan lap makan dan melihat polah Diana yang arogan."Jika kau mem
Rendi menatap cucunya masuk ke dalam lif hingg pintu besi itu tertutup, dia lantas memperhatikn Dewi dengan lekat. Rendi mengambil serbet makan di pahanya dan mengusap mulutnya dengan lembut."Papa ingin bicara Wi, papa tunggu di ruang kerja papa." Ucap Rendi lantas menjauh dari kursi makan dan mendorong kursi rodanya ke ruang kerjanya di lantai satu.Dewi mengikuti mertuanya masuk ke dalam ruang kerja, dia merasa sedikit gugup sekaligus bertanya apa yng mungkin terjadi setelah ini."Duduklah!" Ucap Rendi tenang dan meminta Dewi duduk di sofa bersamanya.Dewi duduk di hadapan sang mertua dengan tenang, dia sudah siap dengan segala kemungkin yang mungkin akan terjadi setelah ini."Papa tak akan panjang lebar wi, papa tau kamu wanita baik dan jujur tapi kamu tak tau siapa yang sedang kamu hadapi!" Rendi terlihat khawatir pada langkah yang di ambil menantu perempunnya itu."Diana itu wanita ular Wi, dia bisa menipu siap saja hanya untuk keuntungannya sendiri! Apa kamu tau bagaimana kejam
Dewi datang ke kamar Nadia setelah selesai berbicara dengan mertuanya, dia erlu nicara sendiri dengan Nadia sekarang, sekaligus meminta maaf jika dirinya harus berbagi perhatian sekarang.Tok... Tok....Dewi sengaja mengetuk pintu kamar gadis kecilnya itu. Nadia sedang berada di depan meja belajarnya saat Dewi membuka pintu."Boleh ibu masuk sebentar?" Dewi bertanya sebelum melangkahkan kaki.Gadis itu mengangguk pelan dan tersenyum saat ibunya berjalan masuk."Sedang apa sayang?""Sedang bermain bu, ibu tidak pergi?""Nanti ibu pergi sebentar, tapi sebelum pergi ibu ingin bicara dengan anak gadis ibu."Nadia meletakkan pensil gambarnya di meja, lalu menatap sang ibu dengan lekat, gadis ini terlalu cerdas untuk bisa membaca situasi yang ada."Apa ibu akan cerita soal Caca?"Kedua alis Dewi terangkat bersama senyumnya yang hangat, Nadia memang mudah memahami situasi, karenanya dia sadar Diana adalah ancaman saat sebuah pukulan benar-benar mendarat di pipi sang ibu."Apa kita perlu dudu
Alif menemani Caca menuju ruang pemeriksaan bersama Deren, dua lelaki ini sama paniknya saat mereka tiba di ruang pemeriksaan. Terlebih ketika akhirnya Caca masuk dalam ruangan yang tak boleh mereka masuki juga."Mohon maaf, silahkan tunggu di luar dulu." Seorang perawat meminta mereka tetap berada di luar.Alif terlihat gusar, takntega juga membiarkan gadis itu sendirian saja."Aku harus menghubungi Dewi!" Alif bicara sendiri, dia lantas mengambil ponsel di dalam saku jaketnya dan segera menghubungi sang istri."Ada apa mas?" Dewi bertanya dengan khawatir dari seberang telepon.l"Aku binggung, Caca di bawa ke ruang pemeriksaan untuk di lakukan pengecekan organ dalamnya dan kami tak boleh masuk!"Ya memang begitu mas." Dewi memjawab sembari tersenyum tipis, dia mendengar nada panik dari suar sang suami." Kamu kapan kemari sayang?" Tanya Alif semakin terdengar panik."Belum tau mas, Sinta juga baru saja telepon memberi kabar akan datang dengan ibu." Dewi menjawab dengan binggung"A_ap
Alif menunggu dengan cemas untuk beberapa saat, namun dia justeru terkejut dengan kedatangan papa nya di ruang tunggu rumah sakit besar itu. Lelaki bertubuh tegap itu lantas berdiri menyambut papanya yang dari jauh sudah di dorong kursi roda oleh Agus."Kenapa papa yang datang kemari? Dimana Dewi?" Alif mencari sosok istrinya di belakang Agus, namun nampaknya Dewi tak ikuy menyertai Rendi."Tak usah tenggak tenggok begitu, istrimu di rumah. Papa yang memintanya tetap di rumah. Kenapa kamu belum berangkat kerja?""Aska menunggu ada yang menjaga Caca."Rendi melihat ke sekitar. "Dimana anak itu sekarang?""Di ruang pemeriksaan pa, kami tidak di bolehkan masuk.""Apa kondisinya separah itu?" Rendi kembali bertanya pada Alif, sebab semalam dia tak terlalu memperhatikan juga."Yasudah, berangkat kerja sana, papa yang akan tunggu Caca di sini."Alif mengerutkan alisnya, tak yakin sang papa bisa menjaga Caca."Heh bocah! Aku masih bisa memberi perintah pada Agus jika kesulitan! Aku mungkin t
Mobil Sinta berhenti di tepian jalan, ia kembali melihat ke arah ponsel, memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar ada di titik alamat yang di berikan kakaknya Dewi."Kayaknya bener ini deh mas alamatnya." Sinta menunjukkan layar ponselnya pada Adam."Iya, apa yang ini rumahnya?" Adam menunjuk satu rumah besar di siai jalan."Ini besar sekali mas, masak ini rumahnya?" Sinta menatap kagum rumah yang hanya terlihat bangunan lantai atasnya, sebab rumah itu menjorok ke dalam dan di kelilingi pagar berhias batu alam mengelilingi tepiannya."Tapi benar ini titiknya Wi, coba kamu hubungi mbak Dewi, takutnya kita salah rumah." "Iya mas, biar aku telepon mbak Dewi dulu." Sinta lalu mengambil ponselnya dan menghubungi sang kakak."Ya Sin, apa sudah sampai?"" Sepertinya sih sudah di depan rumah mbak, tapi aku nggak yakin yang mana rumah mbak Dewi." Ucap Sinta menjelaskan, dia lalu mendengarkan apa yang Dewi."Oh, sebentar mbak akan minta orang keluar untuk melihat ya." Ucap Dewi lalu mematik
Dewi mengajak mereka duduk di ruang keluarga, dari ruangan ini hanya ada satu kamar di sebelah tangga dan sebuah lif di sisi lainnya. "Uti!" Suara Nadia langsung menggema setelah keluar dari lif, gadis kecil itu berlari menghambur dalam pelukan Reni."Cucu uti, uti kangen sekali sayangku." Reni tak berhenti menciumi wajah Nadia untuk melepaskan rindunya."Mbak, ada lif juga di sini?" Adam bertanya dengan kagum, dia terbiasa tinggal di hotel mewah dan berpindah negara saat berlabuh dengan kapal besarnya, tapi baru kali ini dia melihat rumah pribadi ada lif hanya untuk naik beberapa lantai."Oh, aku juga terkejut saat pertama datang ke rumah ini, tapi setelah melihat papa aku tau lif itu bukan untuk pamer kemewahan dam, lif itu di buat karena papa memang membutuhkannya." Dewi menjelaskan pada Adam.Dewi kemudian melihat ke sekitar, merasa ada yang kurang dari keluarganya, dia lantas menatap ke arah Sinta."Sin, mana mas Aziz dan lainnya? Apa nggak jadi datamg kemari?" Tanya Dewi pada S
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in