"Kenapa diam Ziz, sudah ingat apa yang terjadi beberapa bulan lalu?" Suara Reni membuyarkan lamunan Aziz, lelaki itu kini hanya diam sembari mengingat hinaan yang dia lontakan pada Dewi dan Nadia."Gadis kecil itu hanya muntah karena sakit, tapi sikap istrimu seolah dirinya tak butuh saudara lain. Sekarang ibu tanya sama kamu, mobil yang di muntahi Nadia itu kan yang di minta Alif?"Aziz tak menjawab, namun caranya menundukkan kepala sudah memberikan jawaban tersendiri."Ternyata Nadia muntah di mobil bapaknya sendiri, kamu dan Tri hanya pinjam tapi sudah berlagak seperti juragan!" Reni meluapkan apa yang tersimpan dalam hati dan benaknya selama ini."Sekarang kamu sadar kan, harta hanya titipan saja, jika Allah ingin kamu kehilangan, maka kamu akan kehilangan!" Ucap Reni lagi dan Aziz masih diam tak lagi bisa memberikan jawaban apapun pada sang ibu."Mas Aziz masih mau ibu bicara dengan mbak Dewi?" Sinta bertanya pada kakaknua"Iya, siapa lagi yang bisa membantu Aziz bu?" Aziz menata
Sinta menahan tawa, dia lalu tersenyum sembari menatap wajah kakak sulungnya lagi. "Ya bagus, berarti itu uang jual beli, bukan buat biaya kuliah aku!"Aziz tergagap, dia jadi merasa bodoh bicara dengan adiknya sendiri, niat hatinya ingin meyakinkan Sinta, namun justeru Sinta menertawakannya."Sudah lah mas, nggak perlu cari cara supaya aku mau bicara dengan mbak Dewi, aku tetap tak akan mau, jadi berhentilah membuat kisah bualan mas!" Ucap Sinta dengan wajah dingin, dia lalu memilih ke belakang sambil menarik belanjaan dari ruang tamu.Aziz yang masih belum puas masih mengikuti Sinta ke belakang, namun dia hanya diam melihat adiknya yang hamil besar kerepotan membawa barang.Sinta meletakkan kesal belanjaan ibunya di dapur, melirik kakaknya dengan tak suka "Sin, mas minta tolong sekarang padamu tolonglah masmu ini." Aziz kembali meminta bantuan Sinta, bahkan kali ini dia semakin memaksakan keinginannya."Aku nggak bisa mas.""Sin, tolong kali ini saja Sin, bicara pada Dewi dan minta
Darah Dewi berdesir melibat orang kepercayaan nya kembali dengan wajah membiru, Yasmin menceritakan apa yang telah di lakukan Beni padanya dan membuat Dewi tak lagi bisa menahan rasa marahnya."Bawa aku ke tempat om Beni!" Dewi meminta pada Yasmin, namun wanita itu hanya menundukan kepala."Ada apa?" Dewi menatap asistennya yang tertunduk, tak biasanya Yasmin bersikap begitu lunak."Tuan Beni akan sangat marah bila nyonya datang dan menantangnya! Sa_saya takut nyonya terluka."Dewi diam memperhatikan tangan Yasmin yang gemetar, dia tak mengerti wanita tangguh tanpa rasa takut ini justeru gemetar hebat saat menyebutkan nama Beni."Jika kamu takut, biar aku saja yang kesana.".Ucap Dewi tegas, dia tak ingin diamnya selama ini di salah artikan oleh lelaki licik itu.Yasmin menatap terkejut ke arah Dewi."Nyonya bisa terluka nanti." Ucapnya lirik dengan khawatir."Benarkah? Jika begitu kita akan lihat bersama seberapa marahnya dia saat aku datang untuk menyapa! Bukankah membuat penasaran a
Dewi tersenyum lega mendengar Alif kini membelanya, dia memang datang kemari bukan tanpa alasan dan jika saja Beni tak lebih dulu membuat asistennya memar, Dewi mungkin masih berpikir ulang untuk datang dan membuat perhitungan."Apa kamu membela wanita ini Askara? kamu lebih membela dia dari pada om mu sendiri?" Beni bertanya dengan wajah tak percaya."Ya, aku kenal siapa istriku om, dia tak akan pernah membuat keputusan besar bila tak ada sebab yang jelas!""Katakan apa alasan mu?" Beni berkacak pinggang menatap Dewi."Aku datang karena apa yang sudah om lakukan pada Yasmin, om memukulnya? memukul seorang wanita?"Beni membelalak, tentu saja dia terkejut, Dewi datang kemari hanya untuk membela asisten yang melayaninya, itu terdengar sangat aneh untuknya yang bahkan tak akan perduli meski orangnya meregang nyawa."Kamu datang hanya untuk membela budakmu?" Ucap Beni setengah meledek."Budak? Yasmin bekerja dengan penuh martabat om dan aku tak pernah membeli manusia sebagai budak. Aku m
Rendi terdiam, ia tak menyangka wanita yang dia tak suka itu berkorban banyak untuk anak dan cucunya."Ayah punya gaji sedikit, kami tinggal di rumah kecil dengan dua kamar yang juga kecil, kamar Nadia di rumah kakek jauh lebih besar.""Benarkah? Nadia suka tinggal bersama kakek?""Suka, tapi kakek jangan benci ibu Nadia."Rendi terkejut mendengar ucapan Nadia, dia tak menyangka Nadia bisa menilainya begitu, padahal dirinya merasa tak pernah menunjukkan rasa tak sukanya pada Dewi di depan Nadia."Apa ibu cerita sesuatu?" Kedua alis Rendi terangkat menatap Nadia.Gadis kecil itu menggeleng dengan pelan, "Nadia lihat waktu kakek menolak masakan ibu, kenapa kakek nggak suka sama ibu?""Kakek suka dengan iby Nadia.""Iya? kakek bohong.""Nggak sayang, kakek nggak bohong, memang kenapa kakek harus benci ibu Nadia?"Karena kami miskin."Kalimat lirih gadis itu membuat hati Rendi sakit dan tersayat. Kenapa kalimat itu harusnkeluarbdari bibir gadis kecil yang begitu dia sayang ini, Rendi tak
Rendi tak lagi mempertanyakan hal itu, dia tau Agus akan mencarikan informasi itu setelah ini."Menurutmu bagaimana Caca bisa sampai di tempat itu gus?""Nyonya Dewi yang membawanya tuan." Agus menjawab tanpa ragu, sebab dia mendapat laporan sendiri saat Caca keluar dari dalam mobil Dewi di luar gedung perusahaan."Dewi? bagaimana bisa dia bertemu Caca?""Saya belum mencari tau tuan.""Apa Diana tau anaknya di sana?""Sepertinya tidak tuan, sebab nyoya Diana juga belum menghubungi saya untuk bertanya, nyonya Diana pasti akan mencari tau lewat saya jika merasa ada yang perlu di cari tau.""Baiklah, ayo gus kita harus bergegas ke sana." Ucapnya ingin segera melihat sendiri apa yang akan di lakukan Beni pada Dewi dan Caca.Agus masih mendorong kursi roda Rendi dan sebuah pesan masuk membuat dia berhenti untuk melihat kembali apa yang terjadi, mata Agus membulat sempurna menyaksikan bagaimana Diana menampar pipi gadis kecil itu."Tuan, tuan harus melihat ini." Ucapnya sedikit gemetar mena
Dewi menatap dua manik mata Caca dengan penuh rasa iba, dia au begitu banyak hal masih coba di sembunyikan gadis itu, namun Dewi tak tau bagaimana mulai bertanya agar tak membuatnya bersedih."Tapi Caca harus pulang tante." Ucap gadis kecil itu denhan lirih."Caca ingin pulang?"anggukan kecil itu membuat tanya Dewi semakin besar."Mama akan sangat marah kalau Caca tetap tidak ketemu, mama bisa sakiti simbok di rumah nanti.""Simbok?"Caca kembali mengangguk."Mbok yang rawat Caca dari kecil, Caca sayang sama si mbok tante, Caca nggak mau simbok kenapa-kenapa." Ucapnya dengan wajah sendu.Dewi meneteskan air mata mendengar ucapan gadis itu, di tegah rasa takutnya yang besar, Caca bahkan masih memikirka orang lain."Nyonya, tuan Rendi dan nona kecil datang ke mari!" Tiba-tba Yasmin membuka pintu dan memberikan kabar pada Dewi.Dewi berdiri saat pintu di balik punggung Yasmin terbuka, Mertuanya Rendi sudah berdiri membawa putrinya yang tersenyum hangat sekarang."Ibu...." Ucap Nadia, di
Rendi kembali hanya bisa terdiam, sedikit rasa bersalahnya keluar telah memperlakukan Dewi dengan buruk saat pertama datang."Aku tak pernah meminta di mana akan terlahir, begitu pula papa yang begitu beruntung lahir dari keluarga Sanjaya yang sejak awal telah bergelimang harta. Lantas apaa salah Caca?""Aku tak perlu menjawab pertanyaan mu Dewi!""Kenapa tidak?""Itu bukan urusanmu! kamu tak perlu tau bagaimana aku memperlakukan Caca, itu bukan urusanmu!""Itu bukan urusan Dewi memang pa, tapi papa harus tau, gadis itu membawa luka yang menggannga dalam dirinya, bahkan perlakuan buruk Diana sudah membuatnya membenci takdir nya sendiri!" Ucapan Dewi kembali membuat Rendi menatap tajam, namun lelaki paruh baya itu masih enggan menjawab.Dewi berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan tempatnya berada sekarang, dia merasa sesak melihat sikap dingin papa mertuanya, baginya lebih baik segera pergi menemui sang suami."Nadia mau main di sini dulu?" Dewi bertanya pada anak gadisnya."Ya bu, ibu
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in