Rendi tak lagi mempertanyakan hal itu, dia tau Agus akan mencarikan informasi itu setelah ini."Menurutmu bagaimana Caca bisa sampai di tempat itu gus?""Nyonya Dewi yang membawanya tuan." Agus menjawab tanpa ragu, sebab dia mendapat laporan sendiri saat Caca keluar dari dalam mobil Dewi di luar gedung perusahaan."Dewi? bagaimana bisa dia bertemu Caca?""Saya belum mencari tau tuan.""Apa Diana tau anaknya di sana?""Sepertinya tidak tuan, sebab nyoya Diana juga belum menghubungi saya untuk bertanya, nyonya Diana pasti akan mencari tau lewat saya jika merasa ada yang perlu di cari tau.""Baiklah, ayo gus kita harus bergegas ke sana." Ucapnya ingin segera melihat sendiri apa yang akan di lakukan Beni pada Dewi dan Caca.Agus masih mendorong kursi roda Rendi dan sebuah pesan masuk membuat dia berhenti untuk melihat kembali apa yang terjadi, mata Agus membulat sempurna menyaksikan bagaimana Diana menampar pipi gadis kecil itu."Tuan, tuan harus melihat ini." Ucapnya sedikit gemetar mena
Dewi menatap dua manik mata Caca dengan penuh rasa iba, dia au begitu banyak hal masih coba di sembunyikan gadis itu, namun Dewi tak tau bagaimana mulai bertanya agar tak membuatnya bersedih."Tapi Caca harus pulang tante." Ucap gadis kecil itu denhan lirih."Caca ingin pulang?"anggukan kecil itu membuat tanya Dewi semakin besar."Mama akan sangat marah kalau Caca tetap tidak ketemu, mama bisa sakiti simbok di rumah nanti.""Simbok?"Caca kembali mengangguk."Mbok yang rawat Caca dari kecil, Caca sayang sama si mbok tante, Caca nggak mau simbok kenapa-kenapa." Ucapnya dengan wajah sendu.Dewi meneteskan air mata mendengar ucapan gadis itu, di tegah rasa takutnya yang besar, Caca bahkan masih memikirka orang lain."Nyonya, tuan Rendi dan nona kecil datang ke mari!" Tiba-tba Yasmin membuka pintu dan memberikan kabar pada Dewi.Dewi berdiri saat pintu di balik punggung Yasmin terbuka, Mertuanya Rendi sudah berdiri membawa putrinya yang tersenyum hangat sekarang."Ibu...." Ucap Nadia, di
Rendi kembali hanya bisa terdiam, sedikit rasa bersalahnya keluar telah memperlakukan Dewi dengan buruk saat pertama datang."Aku tak pernah meminta di mana akan terlahir, begitu pula papa yang begitu beruntung lahir dari keluarga Sanjaya yang sejak awal telah bergelimang harta. Lantas apaa salah Caca?""Aku tak perlu menjawab pertanyaan mu Dewi!""Kenapa tidak?""Itu bukan urusanmu! kamu tak perlu tau bagaimana aku memperlakukan Caca, itu bukan urusanmu!""Itu bukan urusan Dewi memang pa, tapi papa harus tau, gadis itu membawa luka yang menggannga dalam dirinya, bahkan perlakuan buruk Diana sudah membuatnya membenci takdir nya sendiri!" Ucapan Dewi kembali membuat Rendi menatap tajam, namun lelaki paruh baya itu masih enggan menjawab.Dewi berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan tempatnya berada sekarang, dia merasa sesak melihat sikap dingin papa mertuanya, baginya lebih baik segera pergi menemui sang suami."Nadia mau main di sini dulu?" Dewi bertanya pada anak gadisnya."Ya bu, ibu
Alif terkejut melihat Dewi sudah ada di sisinya sekarang, lelaki itu kembali melihat ke luar gedung."Apa gadis itu sudah pergi?""Ya, papa memintanya pergi, aku khawatir dia akan terluka di tangan ibunya.""Kenapa kamu bisa berpikir begitu?""Aku merasa kasihan dengan gadis itu, meski baru pertama bertemu tapi entah kenapa aku merasa sangat dekat dengannya." Ucap Dewi dengan jujurAlif terkejut mendengar ucapan istrinya, sebab dirinya juga merasakan sayang pada Caca sejak pertama bertemu."Apakah Diana menyembunyikan sesuatu dari kami? siapa sebenanya Caca dan kenapa Diana seolah takut kami akan mencari tau soal Caca."Pertanyaan itu terus membuat Alif bertanya sendiri, sejak pertemuannya kala itu dengan Diana, wanita itu memang tak pernah menyebut lagi tentang gadis yang dia katakan anaknya dan Rendi."Papa baru saja bicara padaku." Ucapan Dewi membuat Alif menatap istrinya dengan lekat."Sepertinya papa mulai terbuka, meski aku tak. suka caranya memperlakukan Caca, tapi aku bersyuk
Wajah Beni pucat seketika, dia tak habis pikir, bagaimana rencananya justeru jadi bumerang untuk nya sendiri."Sekarang katakan padaku Beni, jika Lukas mengira gadis kecil itu adalah Nadia itu berarti Lukas ingin mencelakai Nadia?" Rendi menaikkan kedua alisnya dengan tegas."Bu_bukan begitu mas." Beni nampak terbata."Lalu apa? Apa kamu punya alasan yang masuk akal?" Tatapan tajam itu masih meminta penjelasan."Ini hanya salah paham mas, Lukas tak bermaksud membuat masalah aplagi beriat menyakiti Nadia, ini hanya salah paham saja mas." Beni masih terdengar berusaha menjelaskan, tubuhnya nampak binggung sendiri saat coba jelaskan semuanya pada sang kakak."Salah paham? kamu kira aku sebodoh itu? orang tolol saja bahkan bisa menilai anak lelakimu itu memang punya maksud tertentu!"Beni meremas jemarinya dengan kesal, sebab merasa percuma saja dia menutupi segalanya. "Lukas hanya ingin tetap di anggap mas, dia hanya ingin menyuarakan rasa kecewanya." Kini jawaban Beni terdengar dingin.
Rendi menatap langit dari taman di samping lantai tiga, lima tahun lalu ia sengaja membangun taman kecil disana untuk mengenang kepergian istri nya. Setiap kali merasa begitu rapuh, taman anggrek dengan gemericik airnya itu mampu membuat Rendi merasa tak hidup sendiri.Sementara Dewi hanya terdiam duduk di kursi dekat kolam air yang tak terlalu besar itu, menikmati juga taman kecil yang bahkan baru dia tau keberadaanya."Taman ini adalah tempatku mengenang ibu Askara, wanita yang aku cintai namun juga ku sakiti berkali-kali."Dewi mendengar dalam diam setiap kalimat yang akan keluar dari bibir mertua nya."Anggrek bulan dan semua bunga di taman ini adalah bunga kesayangannya, bunga yang bisa dia tatap berjam-jam dalam diam."Dewi belum bicara, dia tau papa mertua nya hanya butuh di dengar sekarang ini, dia bahkan larut dalam pikirannya sendiri sekarang. Mengapa damai tak lantas datang pada keluarga kecil nya? di tempat lama dia harus menahan sesaak atas sikap kedua saudara lelakinya,
Diana ambruk ke lantai terbatuk-batuk, tak lagi punya kekuatan melawan segala hal yang Dewi katakan sekarang, dia hanya sanggup menatap wanita itu dengan napas tersenggal. Diana kesal melihat Dewi pergi menjauh, dia berdiri sempoyongan dan berusaha mengejar Dewi."Jangan campuri urusanku wanita sialan! urus saja dirimu sendiri!" Ucapnya berusaha meninggikan suaranya.Dewi menghentikan langkahnya dan berbalik, kali ini dia tak bisa lagi menahan diri."Aku akan terus mencampuri urusanmu Diana, hinggga aku temukan celah membawa pergi Caca dari wanita gila sepertimu, kamu tak pantas di sebut ibu!" Ucapnnya dengan tatapan nyalang."Aku yang melahirkan Caca, bagaiman bisa aku tak jadi ibunya?" Diana tersenyum dengan percaya diri."Untuk jadi ibu kamu tak hanya butuh melahirkan bayi dari perutmu Diana, dirimu sendiri yang memberikan nilai itu padamu, sayang nya aku tak melihat nilai baik itu!"Diana tak bisa lagi bersikap baik, wanita itu lantas menatp Dewi dengan tatap nyalang."Kamu hanya
Rendi kini duduk di ruang tamu keluarga Dewi, dua wanita yangenyambutnya tadi berpamitan ke belakng sebentar, memberikan waktu baginya untuk menatap lebih lekat rumah sederhana yang kini dia datangi.Sebuah foto keluarga menarik perhatiannya. Foto itu terpasang kokoh di salah satu dinding ruang tamu. Rendi menarik kursi rodanya mendekati bingkai keemasan besar di dinding itu, merhatikan seksama sang pengantin, wajah pengantin wanita begitu mirip dengan gadis muda yang menyambutnya di pintu. Namun tatapannya lekat menatap paras lain yang begitu dia kenali. Wajah Rendi terdiam tanpa senyuman saat melihat wajah sang putra berdiri di antara yang lain. Alif hanya menggenakan kemeja batik sederhana, begitu kontras dengan dua lelaki lain yang gagah mengenakan jas dengan warna senada sementara Dewi juga hanya memakai gamis sederhana tanpa baju seragam seperti yang lain."Di minum dulu pak kopinya." Ucap Sinta sembari menyuguhkan secangkir kopi ke atas meja.Rendi tersenyum dan menarik kembali
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in