Susan tertunduk saja saat putri sulung Julius menyebutnya sebagai Tante Jahat. Hatinya merasakan sakit. Benar apa yang Maharani bilang saat di apartemennya dulu, jika perbuatannya sama saja jahatnya seperti saat sang ibu tirinya merebut papa dari keluarganya, hingga hidupnya terpisah dengan ibu dan adik-adiknya hingga saat ini.
Luka yang tergoreskan di hatinya dulu, sama seperti dengan luka yang dia torehkan kepada Citra.
"Papaku mana, Tante!" teriak Citra lagi secara tidak terduga sambil menarik hijab yang dikenakan Susan, hingga kepalanya Susan tertarik.
"Jika pakaian Tante Susannya sudah berubah seperti itu, Citra tau sayang artinya apa?"Citra terdiam, seperti sedang mencerna pertanyaan dari si Tante Baik, mata polosnya menatap lekat Maharani. "Tidak tau, Tante," jawabnya. Kembali Maharani tersenyum. Berbicara dengan nada lembut seperti biasa."Itu berarti Tante Susan sudah berubah, Sayang? Sedang berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik," jelas Maharani.
Dody Sudrajat dan Elvira, nama dari ayah dan Ibu sambung dari Susan. Bergegas menghampiri dengan tergesa-gesa, seperti orang yang melihat duit dalam jumlah besar tergeletak di jalan. Wajah Susan terlihat tidak nyaman, dan Maharani bisa melihat. Sedikit banyak dia tahu orang seperti apa Dody Surajat tersebut. Dody langsung mencengkram lengan Susan, membuat gadis yang sekarang berhijab itu meringis kesakitan. "Kamu kemana menghilang berminggu-minggu, bikin susah papah saja!" sentak Dody dengan nada geram. Sementara sang istri menatap wajah Susan dengan tajam, juga terlihat sangat geram. Seorang bodyguard yang paling dekat dengan Susan, segera mencengkeram tangan Dody, memintanya untuk melepaskan pegangan tangannya dari Susan. "Apa-apaan, Ini!" bentak Dody, saat seorang lagi bodyguard yang menjaga Maharani dan Susan menelikung tangannya. "Anda jangan berlaku kasar? Mbak Susan tanggung jawab kami," ucap bodyguard yang menelikung lengan Dody, dekat belakang telinganya. "Saya papahny
Entah kekuatan apa yang membuat Susan dengan cepat menangkap lengan tangan sang Papah, tepat sebelum telapak tangan itu mengenai pipinya. Tinggi mereka yang hampir sama hingga membuat wajah mereka sejajar. Dody pun terkaget melihat putrinya berhasil menangkap tangannya."Cukup, Pah," ucap Susan dengan suara bergetar. mata sudah berkaca-kaca."Apa Papah belum puas menampar, jika aku dianggap membangkang, atau jika keinginan Papah tidak bisa kupenuhi? "Aku yang mencari uang untuk Papah. Aku yang menghidupi Papah dan istri muda Papah. Pernah tidak Papah sekali saja memberikan aku uang atau hadiah dari hasil keringat Papah. Tidak pernah 'kan, Pah? Tidak pernah?"Air mata mulai jatuh kedua pipi Susan. Hatinya benar-benar sakit. Dia merasakan lelah yang teramat sangat pada phisik dan pikirannya.Susan melepaskan tangannya dari lengan sang Papah. Menatap tajam dengan terluka. Mata yang mewakili perasaan hati."Seandainya saja aku tidak bertemu Rani, mungkin aku sudah mati bunuh diri. Aku ca
Terlihat oleh Riswan, ada tiga orang yang berpakaian seperti dirinya di ruangan ini, termasuk Julius, pakaian tahanan berwarna oranye. Selain Julius, Riswan tidak mengenali mereka satu per satu. Dia sendiri, selama beberapa minggu di rumah tahanan ini tapi baru mengetahui jika berada satu gedung dengan bekas dari orang kepercayaannya tersebut. Seorang penjaga Rutan terlihat berjaga di depan pintu, mengawasi Riswan dan empat orang lainnya.Ruangan itu berbentuk segi empat memanjang, dengan Julius duduk di sebuah kursi besi sudut ruang. Terlihat hanya diam termenung tanpa memperhatikan sekitar. Pandangannya lurus ke arah luar ruangan berkaca. Dengan taman dan rumput hijau sebagai pemandangannya. Begitupun dengan doa lainnya. Tidak ada yang berbicara satu sama lain, mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Julius sama sekali tidak mengetahui kehadiran Riswan di situ, karena memang masing-masing dari mereka tidak saling mengetahui keberadaan mereka di gedung ini satu sama lain. Dan Riswan
Sesaat Julius terdiam, lalu melihat Riswan dengan pandangan mata yang redup, berucap pelan. "Saya menyesal, Pak. Saya terjerat dan terjebak.""Maksudnya?""Saya melakukan penculikan juga fitnah terhadap bapak karena terjerat hutang, Pak?" jelasnya lagi. "Terjerat hutang, hutang apa? Bukannya gaji yang kamu dapatkan sudah sangat besar di perkebunan dengan jabatan kepala pabrik?""Saya yang salah, Pak. Tidak menyadari jika saya memang sengaja dijebak untuk masuk perangkap," jelas Julius, masih dengan suara perlahan. "Siapa yang sudah menjebakmu, ceritakan saja?" Riswan terus mencecar Julius. Dan Julius pun sepertinya sudah mulai terlihat nyaman. Tadinya dia berpikir jika Riswan pasti akan marah besar terhadapnya. "Seorang konglomerat media, Pak Soeb--""Maaf, Pak? Anda berdua sesama tahanan dilarang berbicara satu sama lain. Silakan Pak Riswan berpindah tempat." Suara berat terdengar. Dua orang petugas rumah tahanan sudah berada di samping mereka tanpa mereka sadari. Saking asyiknya
Amran memilih melewati jalan Kampung untuk menuju rumah Pak Kardi yang bersebelahan dengan kantor kepala desa. Amran pikir akan mudah untuk menemui Pak Kardi, mengingat hari ini adalah hari Minggu, di mana kantor kepala desa tempat beliau bekerja sedang tutup. Benar saja, Amran melihat keadaan tempat pemerintahan desa itu dalam keadaan sepi. Dia masuk halaman kantor, memilih jalan pintas lewat tembok pagar yang sengaja di pugar selebar dua meter untuk akses cepat menuju rumah kepala desa. Dari depan teras, rumah kades itu terlihat sepi, tetapi dari tempat Amran berdiri dia bisa mendengar suara degung Sunda dari dalam rumah, berarti ada orang di dalamnya. "Assalamu'alaikum." Amran mengucapkan salam dengan nada yang cukup kencang, takut suaranya tidak terdengar karena musik khas daerah diputar dari dalam rumah. Ada tiga kali Amran mengucapkan salam, sampai akhirnya terdengar balasan salam dari dalam rumah. Pak Kardi sendiri yang membukakan pintu, sedikit terkaget juga beliau melihat
Mereka berdua dengan berboncengan motor menuju Desa Cimelati. Jarak Desa yang dituju tidaklah terlalu jauh karena tidak mengenal macet dan masih dalam satu kabupaten yang sama dengan Desa Cibungah. Motor yang dikendarai Pak Kardi berhenti tepat di perbatasan Desa Cimelati. Sedikit bingung terlihat Pak Kades, melihat Desa yang dia datangi dulu sudah berbeda sama sekali. Sudah banyak bangunan rumah, toko-toko mini, dan warung-warung di sepanjang pinggir jalan memasuki desa. "Kok nggak seperti terakhir saya kemari ya, Mran?" tanya Pak Kardi dengan polosnya. "Memang Bapak terakhir kali kemari kapan?""Saat bersama Kemung dulu.""Ya Allah, Pak, itu kan sudah puluhan tahun yang lalu? Saya pun mungkin masih balita.""Lah terus, cara mencari informasi tentang Pak Dadang bagaimana?" tanya Pak Kardi lagi, terlihat kebingungan. "Memang Pak Kades tidak tahu nama uwa dari Pak Kemung?" Pak Kardi menggeleng, sembari menjawab, "Mana saya ingat Mran, itu kan sudah puluhan tahun yang lalu," jawabny
202Amran mengangguk, menyetujui ajakan Pak Kardi untuk segera menuju rumah yang mereka maksud. Lingkungan sekitar terlihat sepi dan lengang, tidak terlihat seorang pun berada di luar rumah, bahkan anak-anak sekalipun."Assalamu'alaikum!" Pak Kardi berucap salam pertama, tapi belum juga ada jawaban. Kembali mengucapkan salam, sembari mengetuk pintu rumah yang dimaksud. Amran pun ikut mengucapkan salam, tapi tetap belum ada yang menjawab salam mereka. Amran dan Pak Kardi sewaktu-waktu bertatapan, kebingungan juga bagaimana cara agar bisa bertemu si pemilik rumah. Berkali-kali mereka mengucapkan salam, tetap tidak ada yang merespon. "Penghuninya tidak ada, Pak? Sedang berkumpul semua di balai desa." suara dari belakang mereka, Pak Kardi dan Amran menoleh bersamaan ke arah suara itu berasal. Seorang pria paruh baya seumuran Pak Kardi berdiri menghadap mereka sambil membawa pacul. Mungkin baru atau selesai dari kebun. Pak Kardi dan Amran segera mendekati bapak tersebut, kurang sopan r
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti