Selesai menelepon Amran, dan menceritakan tentang cerita mimpi Samsiah. Risma langsung kembali ke kamarnya setelah memastikan kedua putrinya Yuli dan Neti aman bersama pengasuhnya. Tubuhnya merasa lelah sekali. Bukan karena pertemuan dengan kedua pengacara Julius atau karena kerja keras, tetapi lebih karena lelah pikiran. Lelah otak akan sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh. Semakin mendekati waktu masa persidangan, membuat Risma semakin memperhatikan Riswan. Rindunya sudah sangat membuncah. Ingin bertelpon untuk sekadar melepas kangen, suaminya dilarang memegang ponsel selama masa tahanan. Jujur saja, walaupun sudah banyak penipuan, keculasan, dan upaya rekayasa dalam kasus hukum suaminya. Hatinya tetap merasakan keresahan. Dia tahu, selama ini belum pernah ada yang lolos dari jerat hukum sidang tipikor. KPK selalu bisa membuktikan keterlibatan orang-orang yang pernah mereka tangkap. Apalagi dalam sidang nanti, hakim yang akan sidang Riswan adalah Artidjo Kautsar. Seorang hak
204"Percaya dengan mimpi?" Umi Hasanah seperti memastikan. "Iya, Umi.""Kok tumben nanya soal mimpi?" tanya Umi Hasanah lagi sembari tersenyum. “Memangnya Risma mimpi, apa?”"Bukan saya yang mimpi, Umi, tapi Samsiah." Risma menceritakan tentang mimpi yang dialami adik bungsunya tersebut, dan Umi Hasanah serius sekali mendengarkan penjelasan dari Risma. "Menurut Umi, bagaimana?" tanya Risma setelah selesai. "Secara pribadi, Umi sendiri tidak bisa mengatakan kita harus percaya atau tidak percaya. Karena itu semua rahasia Allah. Bisa saja itu sebuah petunjuk atau hanya sekedar kembang mimpi.""Begitu ya, Umi. Berarti mimpi itu bisa diikuti juga tidak?""Entahlah Ris, apakah kualitas mimpi kita sekelas Nabi Yusuf, atau hanya sekedar permainan alam bawah sadar kita.""Iya, Umi. Risma juga pernah mendengar tentang kisah Nabi Yusuf dan mimpinya, sehingga diangkat menjadi pejabat tinggi istana.""Mimpi rasul Allah itu menceritakan tentang sesuatu yang belum akan terjadi. Tentang kemarau
205Risma kembali duduk di hadapan Umi Hasanah, setelah sebelumnya meminta izin sedikit untuk menerima telepon dari Amran. Risma masih kepikiran, apakah putra dari Pak Dadang yang ternyata sudah menjadi wakil bupati masih mau menerima permintaan maaf untuk bapaknya, setelah Risma mengetahui tentang orang tersebut melalui Pengacara Julius. Risma sendiri tidak menyangka jika orang yang dicarinya memiliki jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan. Meskipun Risma paham, tidak ada yang tidak mungkin dan cukup mudah bagi Allah untuk mengubah nasib dan jalan hidup siapa saja yang melawan-Nya.Manusia yang di sudut pandang kebanyakan orang sebagai kaum rendahan, yang tersingkirkan karena hidup dalam nyatanya tidak ada yang bisa menebak masa mendatang. Yang pasti orang itu berusaha berusaha keras agar bisa mengubah kehidupan, dan bukan hanya diam berpangku tangan. Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak akan mengubahnya. "Kamu kenapa, Ris? Kok jadi bengong begitu?"
Risma masih menangis dipelukan Umi Hasanah, sebagian gamis yang dipakai Umi basah di bagian depan karena air mata Risma. Sang guru mengaji itu membiarkan sambil mengusap usap lembut bahu Risma. Sebagai sesama istri, Umi Hasanah memahami betul apa yang dirasakan oleh Risma. Jauh dari suami dan tidak bisa dihubungi, tanpa tahu kapan sang pendamping hidup akan berkumpul bersama lagi. Setelah beberapa saat membiarkan, Umi Hasanah mulai berbicara kembali kepada Risma. Lebih tepatnya berbisik di dekat telinga murid mengajinya tersebut. "Percayalah, Ris. Apa pun yang kita rasakan. Baik sedih, susah, kepedihan, penderitaan, Allah tahu kita pasti bisa menghadapinya. Karena Allah tahu sampai di mana batas kemampuan hambanya dan tidak akan lebih dari itu. "Segala ujian atau pun musibah yang datangnya dari Allah, itu adalah cara Allah untuk menguji ketaqwaan hamba-hambanya. Untuk naik tingkat istilahnya, asal kita sabar dan tidak berburuk sangka kepada Allah. "Karena, tidak ada rencana yang
Setelah selesai menemui Susan di tempat parkir basement apartemen, Dody bersama Elvira segera meninggalkan gedung tempat tinggal putrinya tersebut. Dengan menggunakan mobil yang dibeli dari hasil jerih jerih payah Susan, Dody diam saja selama menuju jalan pulang ke rumahnya. Berbeda dengan Elvira yang terlihat sumringah. Uang besar yang baru di-transfer anak tirinya tersebut sudah bermain-main diangannya. Dia sudah punya rencana, dengan uang tersebut akan digunakan untuk apa saja nanti. Membeli kesenangan sesaat. Ke sebuah komplek perumahan kelas menengah di daerah pinggiran kota, mobil Dody menuju. Rumah berukuran tipe 36 yang juga dibeli dari hasil jeri payah putrinya menjadi tempat tinggalnya bersama Elvira. Perempuan yang membuat dia meninggalkan istrinya yang dulu, ibu kandung Susan dan dua anaknya yang lain. Dody duduk terdiam di teras depan rumah dari 20 menit mereka sampai. Tidak beberapa lama, keluar dari dalam rumah Elvira yang sudah berganti pakaian dan tercium semerbak
"Bapak kenal dengan pria yang bersama istri, Bapak?" tanya salah seorang petugas saat di tempat parkir depan polsek, hendak menuju motel tempat Elvira berada. "Tidak kenal, Pak." "Apa gelagat istri bapak ada perubahan baru ini atau sudah sejak lama?" "Beberapa bulan terakhir ini. Tadinya saya tidak berpikir macam-macam. Tetapi semakin hari semakin sering pergi dengan alasan yang ada saja." Petugas kepolisian itu mengangguk, lantas menaiki mobil bersama dua petugas lainnya, Dody pun mulai menghidupkan motornya. Berjalan terlebih dahulu diikuti kendaraan petugas di belakangnya. Setiba di motel tempat istrinya chek-in bersama seorang pemuda, mobil miliknya masih terparkir di tempat semula. Dengan ditemani petugas wanita Dody lantas menghampiri seorang petugas penjaga penginapan. Seorang perempuan berusia belasan tahun dengan berpakaian bebas yang bertugas di lobby, tempat tamu yang ingin menyewa kamar. Suasana motel sendiri terlihat lengang. Hanya terlihat beberapa motor di dep
Halimun masih terlihat menyelimuti Desa Cibungah selepas Adzan Subuh. Hawa dingin yang menyergap membuat sebagian orang malas untuk segera bangun, bahkan untuk menjalankan kewajiban Sholat Subuh, tapi tidak bagi yang sudah terbiasa. kebiasaan baik seperti itu sudah berjalan di rumah mewah milik Riswan dan Risma. Aktivitas rumah sudah berjalan dari pagi-pagi sekali selepas menunaikan kewajiban. Riswan sebagai pemimpin rumah tangga tidak membuat aturan untuk itu, tapi hanya mencontohkan kepada yang lain. Sholat bukan lagi dianggap sebagai sebuah kewajiban, tetapi sudah seperti kebutuhan. Layaknya manusia yang butuh makan, minum, dan bernapas. Risma, walaupun sedang mendapatkan tamu bulanan, tetap bangun pagi seperti biasa. Dan sekarang sedang mengantar Susan dan Maharani yang pagi ini akan terbang ke Semarang, guna mencari keberadaan Ibu dan adik-adiknya lewat alamat yang diberikan Elvira kemarin. Mobil yang akan mengantarkan mereka sudah menunggu, tas bawaan mereka pun sudah masuk b
Dering suara panggilan telepon di handphone Susan kembali berbunyi, dan itu untuk kesekian kali. Susan yang sedari tadi menatap ke arah sisi jalan lantas mengambil hapenya yang dia letakan di sampingnya dan langsung mematikan. Dia merasa terganggu dengan ayahnya Dody yang terus berusaha menghubunginya."Kenapa tidak diangkat, kok malah dimatikan?" tanya Maharani pelan, Susan masih menatap ke arah sisi jalan. Kebun-kebun teh yang terbentang luas. "Tidak usah, Ran. Biarkan saja.""Iya, tapi kenapa?" Susan mulai menoleh ke arah Maharani. Berucap pelan. "Kamu 'kan tahu seperti apa papaku?" Maharani mengangguk, dia memang sangat tahu seperti apa Dody. Walaupun enam tahun terakhir ini tidak lagi bertemu Susan, tetapi dulu dia sangat tahu bagaimana Susan diperlakukan oleh sang ayah. "Tetapi tidak baik, San. Bagaimanapun beliau itu ayahmu, kamu tetap harus menghormatinya.""Setelah semua perlakuannya terhadapku?" Maharani mengangguk. Susan kembali berucap, "Dia selama ini telah menyembuny
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti