Sejak hari itu Kalandra sudah merencanakan kunjungan ke keluarga Guntur. Kalandra menunggu sampai keluarga Guntur menerima kunjungan. Orang kediaman menelepon Kalandra tengah malam untuk memberi kabar, bahwa Guntur menyuruh mereka datang.Dia dan Litha juga sudah menyiapkan beberapa hadiah sejak dua hari lalu. Kala menyadari Litha kembali gugup, Kalandra mengusap lembut punggung Litha.Kalandra mengulurkan tangan pada Gemini. Gadis kecil itu terlihat mengedarkan pandangan pada halaman rumah kakeknya yang lebih luas dari kediaman Rama.“Jadi dulu Mama tinggal di sini,” ucap gadis kecil itu, “rumahnya bagus, ya.”Litha menunduk seraya meletakkan tangan di atas bahu Gemini. “Kita akan sering datang ke sini bersama Papa.” Biarpun belum pasti mereka akan diberi kesempatan untuk datang lagi, tetapi Litha merasa yakin.Kalandra menekan bel pintu, dan beberapa saat kemudian pintu berdaun ganda tersebut perlahan terbuka. Seorang asisten rumah menyapa mereka dengan senyum ramah. “Selamat datan
Lantas Kalandra mengikuti Guntur dan Gemini ke lantai atas. Sementara itu, di ruang tamu masih tersisa tiga orang. Jeremy menarik napas lega menahan suasana tadi yang sedikit menegangkan, menurutnya. Pria itu lebih khawatir ketika ayahnya tergelak daripada marah-marah, karena sang ayah akan lebih tak bisa ditebak.“Kak, jangan cemas. Kayaknya Papa suka sama Gemini. Jelas dong, kan Gemini cucunya Papa.” Jeremy berusaha menenangkan Litha yang nampak mematung.“Bukan itu yang aku pikirin,” sahut Litha seraya melirik pada Elvira. Sejak tadi wanita itu berpura-pura sibuk, padahal tak melakukan apa pun. Litha menduga sejak bertemu terakhir kali di pantai, Elvira jadi semakin kesal padanya. “Gimana kabar Mama sekarang?”Elvira menoleh sejenak pada Litha. “Masih sama seperti sebelumnya.” Dia mengisyaratkan kalau kegundahannya belum teratasi juga. Lain hal dengan Jeremy yang mengartikan ibunya berkata baik-baik saja.“Mama itu rajin olahraga, Kak dan rutin cek kesehatan,” timpal Jeremy.“Jer,
Gaun hitam membalut tubuh ramping Hani, dipadukan dengan high heels berwarna senada. Polesan wajah wanita itu sedikit lebih dewasa daripada biasanya. Hani membawa langkah memasuki kediaman utama.Kedua kelopak Jeremy tak berkedip tatkala memperhatikan penampilan Hani. “Kak Hani dari mana?”“Apartemen,” sahutnya datar. “Berpenampilan seperti itu cuma buat pulang ke rumah?” tanya Jeremy lagi.Hani mendelik kesal. Entah kenapa dia merasa Jeremy lebih cerewet daripada biasanya. “Iya. Mau tanya apa lagi?”“Tidak ada lagi yang aku tanyakan. Tapi, penampilan Kak Hani kelihatan … hm … gimana ya bilangnya—”Hani berdecak dan berpikir untuk melempar pouch ke wajah menyebalkan Jeremy. Dia segera memotong ucapan Jeremy yang bertele-tele, “Minggir sana.” Jejak kaki Hani segera melewati Jeremy. Raut kesal wanita itu tak dapat ditutupi oleh polesan wajah dewasa. Jeremy puas melihat ekspresi itu.“Oh, ya, aku baru ingat. Dandanan Kakak kayak orang yang mau pergi ke klub malam. Kakak mau pergi ke klu
Senyum Hani lenyap dibarengi dengan mata membelalak begitu tatapannya beradu dengan mata dingin Litha. Bukankah sudah jelas dia meminta Kalandra datang ke kamar ini tanpa sepengetahuan siapa pun. Harusnya lelaki itu tetap di sini.Lantas mengapa Litha bisa ada di kamarnya sekarang dan di mana Litha menyembunyikan Kalandra?“Kenapa syok begitu? Dekorasi kamar kamu cukup, sederhana ya. Ya, namanya juga kamar jarang dipakai. Karena sudah terlalu lama, aku lupa kamarku yang mana, jadi aku masuk ke sini deh,” kata Litha kala meraba buku-buku di dalam rak.Hani menghela napas kesal. “Jangan basa-basi lagi. Gimana kamu tahu kalau suami kamu ada di kamar ini?” Dengan gamblang Hani bertanya. Dia terlalu malas untuk pura-pura tak tahu di depan Litha.Litha tersenyum tipis. Semua berkat pesannya pada Jeremy. Lelaki itu panik saat kembali dari kamar mandi dan menemukan Kalandra tak ada di ruang tamu. Karena takut mengecewakan sang kakak, Jeremy pun pergi ke ruang keamanan guna melihat kamera peng
Devita sengaja menunggu di tempat parkir perusahaan Kalandra. Sengaja tak memberitahu Arvin supaya terlihat seperti kebetulan. Setiap kali ada karyawan pria yang keluar dari gedung itu, Devita menajamkan penglihatan.“Duh, apa mungkin dia tidak lembur malam ini?” Dia bertanya pada dirinya sendiri. Sebab Devita sudah berdiam di sana selama lebih dari 30 menit. “Ini salahku karena tak mencari tahu dulu. Apa aku tanya Kak Kalandra aja? Aku tanya nomor handphone Arvin gitu?” Devita segera menghilangkan pertanyaan itu dari pikirannya. Apa yang akan dikatakan Kalandra nanti. Devita bisa diejek habis-habisan.“Ow! Mikirin aja buat aku merinding.”Senyum Devita mengembang kala sosok yang ditunggunya keluar dari pintu gedung. Pria yang selalu rapi dengan suit putih membalut tubuh tingginya.Dia segera menyalakan mobil, melaju pelan sampai ke depan gedung. Kemudian membuka jendela mobil.“Hai, Pak Arvin!”“Devita? Ngapain di sini?” Arvin melangkah lebih dekat ke mobil gadis itu seraya sedikit
“Apa katamu? Kamu sudah mengandung 6 bulan, Litha?!” Guntur yang gelap mata mendengar pernyataan putri sulungnya, menampar Litha dengan begitu keras sampai-sampai badan Litha terhuyung.Karena Litha ingin mempertahankan bayi itu, dia menyimpan rahasia tersebut selama enam bulan. Semakin besar kandungannya, membuat Litha harus jujur pada orang tuanya.“Anak durhaka. Anak kurang ajar! Anak tidak tahu diri! Tidak bermoral!” Guntur mencaci habis-habisan dan sekali lagi melayangkan tamparan. Tubuh Litha terhuyung, tangannya dengan cepat mencengkram lengan sang ibu. Untung saja Litha tak jatuh ke lantai, jika tidak ia bisa kehilangan bayinya. Elvira membantu Litha lalu berdiri di depannya seperti tameng. Sementara Jeremy merengkuh kaki sang ayah sambil berteriak.“Jangan sakiti Kak Litha, Pa! Jangan!” Jeremy menangis ketakutan. Namun, hanya ada satu orang yang terdiam mematung menyaksikan keadaan itu, seolah-olah tak ada hubungannya dengan dia.“Jangan membela anak kurang ajar ini! Kita mem
“Kamu sudah selesai bekerja? Aku sengaja ingin mengantarmu pulang.”Wanita itu seolah merasakan getaran yang membuat tubuhnya terpaku. Namun, perlahan dia memutar wajahnya untuk melihat pria tak asing itu begitu dekat. Dia bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu seakan meraba wajahnya.“Kamu demam? Wajahmu kelihatan agak merah.” Tanpa diduga Hedy menggenggam wajah Indira dengan kedua telapak tangan besarnya. “Sedikit hangat.”“Lepaskan,” perintah Indira lalu buru-buru menjauhkan diri. Hati Indira belum siap untuk menerima seseorang. Dia takut akan dikecewakan lagi. Dan lagi pula, Hedy memiliki penggemar wanita yang lebih banyak dari Kalandra. Ada berapa banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih Hedy?Indira tak mau berharap meski untuk sedetik saja. Meski begitu Indira tak bisa menghindari pria itu karena Hedy akan selalu datang ke lokasi syuting atau menyuruh Indira datang ke apartemen—mencicipi masakan Hedy.Ini membuatnya seakan bisa gila.“Bereskan barangmu. Aku antar pulang
“Bukannya Pak Kalandra adalah menantu beliau?”“Iya, itu memang benar.”“Tapi, kenapa mereka bertindak begini?”“Belum ada kepastian apakah Mahardhika Cita Multiusaha Group yang ada di belakang semua ini.”“Pagi ini mereka datang mengusulkan akusisi. Masih bilang tidak ada hubungannya dengan mereka? Hmph!”Setelah berdebat sejak siang hari, mereka menunggu Kalandra membuat keputusan. Setelah berdiskusi dan berpikir matang-matang Kalandra berkata, “Perusahaan ini akan berjalan dengan semestinya. Kita akan mendapatkan investor baru. Dan saya menyerahkan tugas ini pada Arvin.”“Saya tidak akan mengecewakan Bapak.”“Kita harus secepatnya mendapatkan investor Pak. Kalau tidak, produksi film kita akan terhenti.”Semua orang di ruang rapat tampak cemas memikirkan nasib perusahaan. Diskusi kembali berlanjut soal bagaimana mereka akan mendapatkan calon investor bagi perusahaan.Rapat itu usai mendekati waktu makan malam. Kalandra langsung pergi ke ruangannya, bahkan melewatkan makan malam. Ia