Bab 59"Riko gak bermaksud begitu kok Ma. Kemarin waktu Riko mau pesan kue ulang tahun Mama, Riko gak sengaja ketemu dia di toko kue itu Ma. Dia tanya pesan kue buat siapa, setelah tau buat Mama dia janji bakalan datang. Riko mau bilang apa, masa Riko larang!" Aku masih ingin mengomeli Riko saat Dhifa keluar dari dalam mobil yang baru sampai. Senyumku langsung mengembang melihatnya.Dhifa sangat anggun dan cantik sekali dengan gaun terusan berlengan panjang berwarna biru muda. Dhifa turun dengan memeluk sebuah kotak hadiah yang juga sangat cantik. Eh pintu belakang terbuka, oh ternyata dia datang dengan anak-anaknya. Aku menyambut mereka dengan gembira. "Assalamualaikum Tante, selamat ulang tahun ya. Semoga Tante selalu sehat dan bahagia," ucap Dhifa sambil menyerahkan bingkisan yang dibawanya.Riko menerima bingkisan itu, tatapan matanya tak lepas wajah Dhifa."Waalaikumsalam, aamiin ya Allah. Terima kasih ya Fa," balasku."Oh iya kenalin Tante, ini Alea sama Axel. Ayo salim oman
Bab 60Pov Riko. Aku membersihkan ruangan dari kertas-kertas dan remahan kue yang berserakan. Sesekali aku melirik mamaku yang sedang ngobrol dengan teman-temannya. Pasti mereka sedang menggosipkan aku dan Dhifa. Mama kelihatan sangat berbahagia. Matanya sesekali melihat Dhifa yang sedang membantu Rini di dapur.Ah Mama, besar sekali keinginanmu untuk mempunyai menantu seperti Dhifa. Sebenarnya aku juga Ma, tapi aku belum berani mengungkapkannya pada Dhifa."Om, lagi kerja apa melamun sih?" "Kenapa Xel?" tanyaku bingung."Om menyapu tapi muter-muter di situ terus dari tadi!" jawab Axel sambil tertawa."Masa sih?" Aku melihat ke lantai dan aku meringis malu jadinya."Om ngelamunin siapa? Mami aku ya?" tembak Axel langsung.Eh ini anak, suka bener ngomongnya."Memangnya gak boleh Xel, Axel gak suka ya?" tanyaku akhirnya. Sekalian uji materi, toh anaknya yang ngasih jalan duluan. "Boleh aja, Axel senang kok. Tapi Om gak boleh jahat kayak Papi aku ya!" Buset dah, ini anak. Masih kec
Bab 61Pov Nadhifa.Tin ... Tin ... Tin ....Aku menekan klakson dengan kencang, macetnya jalanan seakan menambah sesak di dalam dada yang aku tahan dari tadi."Mi," panggil Alea pelan."Mami sedang mengemudi Le, kalau ingin bicara nanti saja di rumah!" jawabku tanpa menoleh.Kudengar helaan nafas Alea, maafkan Mami Sayang. Mami gak mau kalian menjadi sasaran kemarahan Mami karena emosi, batinku. Kucoba menarik nafas lalu menghembuskan perlahan. Kulakukan berulang kali selama dalam perjalanan.Lumayan efektif, setidaknya rasa sesak di dalam dadaku sedikit berkurang. "Kalian masuk lalu mandi dan jangan lupa shalat Ashar. Nanti Mami ke kamar, kita bicara!" pesanku saat anak-anakku akan turun dari mobil."Iya Mi!" jawab mereka bareng.Alea dan Axel masuk ke dalam rumah, aku kembali menarik nafas dan menghembuskan dengan kasar. Namun rasa kesalku mendadak naik kembali saat melihat sebuah sepeda motor terparkir di tepi halaman rumahku.Aku masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal, benar-b
Bab 62"Aku takkan pergi dari sini Dhifa. Aku ingin kembali padamu dan kamu harus mau. Aku tak ingin mendengar penolakan. Kau tahu kan kalau aku sudah berjasa pada orang tuamu? Mereka pasti akan marah kalau kau menolakku! Hahaha!" Mas Fatan tertawa terbahak sambil menunjuk-nunjuk di depanku."Pak Satpam bawa orang ini keluar, jangan biarkan dia masuk tanpa seizin dari aku. Tidak boleh ada yang mengizinkan dia masuk, siapapun itu. Kalau ada yang memaksamu mengizinkan dia masuk, usir juga dia!" "Baik Bu!" Pak Satpam menarik tangan Mas Fatan yang terus memberontak.Namun tenaga Pak Satpam lebih kuat, Mas Fatan sampai terseret-seret langkahnya mengikuti langkah Pak Satpam."Tunggu! Jadi kamu akan mengusir Mama juga kalau mengizinkan dia masuk Fa. Begitu?" tanya mertuaku."Ini rumahku Ma, kalau Mama tak mau mendengarkan laranganku. Aku harus bagaimana menurut Mama" tanyaku balik."Fatan bermaksud baik Fa. Dia ingin berbaikan denganmu!" jawab mertuaku sedih."Sayangnya Dhifa sudah gak mau
Bab 63Ya Allah, permudah jalan hamba, doaku. Hari semakin gelap, adzan maghrib sejak tadi sudah berkumandang. Aku melihat mesjid di depan sana, kuputuskan untuk mampir. Aku menunaikan kewajibanku sekaligus menunggu hujan agak reda. Aku keluar dari mobil yang sudah kuparkirkan dihalaman mesjid. Keluar dari mobil, aku sedikit berlari menuju ke dalam mesjid. Hingga aku tak memperhatikan kalau ada sepasang mata yang mengawasiku semenjak aku turun dari mobil tadi. Selesai shalat sendirian, karena waktu berjamaah telah lewat aku memilih duduk di teras masjid. Aku menyaksikan butiran air hujan yang terus turun membasahi tanah. Tak kusadari kalau sosok yang mengawasiku dari tadi telah ikut duduk di sampingku. "Kalau jam segini kamu masih di luar rumah, anak-anak siapa yang menemani Fa?" Aku terperanjat kaget, menoleh ke asal suara. Hatiku menjadi campur aduk antara kaget, senang, rindu, eh gak. Aku gak rindu dengan dia, tolakku dalam hati."Mas Riko! Kok Mas bisa ada di sini juga?" tan
Bab 64Drrttt ....Ponselku bergetar, rupanya mamaku yang menelpon."Assalamualaikum, ada apa Ma?" "Waalaikumsalam. Kamu di mana Ko, Mama ke rumah lho ini. Kamu malah belum pulang," omel mamaku di telpon."Riko sedang di rumah Dhifa Ma, baru aja nyampe.""Owh ya sudah, salam sama Dhifa ya. Mama tunggu kamu di rumah. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawabku."Telpon dari Tante ya Mas?" tanya Dhifa.Ah aku sampai tak sadar kalau Shifa sudah ada di depanku."Iya Fa, Mama kirim salam." Aku menatap Dhifa dengan kagum. Ternyata tanpa riasanpun wajah Dhifa tetap cantik dan manis."Ehm, Mas mau ngomong apa?" "Oh, eh itu Fa. Soal Vanessa kemarin. Mas harap kamu jangan masukkan kehati!""Tadi Dhifa sudah bilang kalau mau membahas soal itu, aku gak mau Mas!" tukas Dhifa kesal."Tunggu dulu Fa, ini penting. Mas gak mau kamu salah sangka. Vanessa sudah keterlalaun. Mas sudah memberinya peringatan kemarin!" Aku berusaha meyakinkan Dhifa.Flasback on."Kamu keterlaluan Nessa, apa hak kamu men
Bab 65"Diminum dulu Mas!" Suara Dhifa membuatku tersadar."Terima kasih Fa." Kuteguk kopi yang disuguhkan Dhifa."Manis, semanis yang membuatnya," pujiku.Bukannya senang Dhifa malah mengerucutkan bibirnya. Aku tersenyum melihatnya, Dhifa kelihatan semakin menggemaskan kalau begitu.Aku berdehem kecil berusaha menetralkan debaran jantungku yang mendadak berubah menjadi bar-bar."Fa, sebenarnya sudah sejak kemarin Mas ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi Mas rasa sekaranglah saat yang tepat." Aku mengambil posisi berlutut didepan Dhifa. Dia kelihatan kaget saat aku menggenggam kedua tangannya."Dhifa, will you marry me?" ucapku yakin.Dhifa kelihatan kaget dengan perlakuanku. Dia berusaha melepaskan genggamanku. "Mas apa-apaan sih ini?" tanyanya marah."Aku mencintai kamu Fa, aku ingin menikah denganmu!" "Mas Riko, aku baru sebulan lebih bercerai. Bagaimana bisa aku menikah secepat ini?" "Mas gak minta kita menikah secepatnya Fa, Mas hanya ingin kamu menerima Mas dulu. Mas akan m
Bab 66"Selamat pagi Dokter, pagi Om!" sapaku begitu tiba di rumah sakit."Selamat pagi, kita tunggu pihak kepolisian yang akan memeriksanya ya!" kata Om Faisal.Aku mengangguk mengerti, memilih duduk di kursi yang ada didepan taman ruang ICU. "Selamat pagi Pak, silahkan masuk kedalam. Pasien sudah cukup stabil untuk ditanyai!" Aku menoleh kebelakang, ternyata Pak polisinya sudah datang. Dua orang berpakaian polisi dan seorang berpakaian biasa berdiri membelakangiku.Tunggu dulu, yang berpakaian biasa itu bukannya ... Mas Riko! Aku masih termangu memandang orang itu dari kursiku.Dua orang polisi beserta Dokter dan Om Faisal masuk kedalam ruangan ICU. Tinggal pria itu sendirian, saat dia berbalik senyumku langsung merekah. Benarkan, dia Mas Riko.Aih kenapa hatiku jadi berdebar-debar sih? Mas Riko mendekatiku, ikut duduk di sampingku. "Sudah sarapan?" tanyanya pendek. "Sudah Mas, apa Mas Riko belum sarapan?" tanyaku balik."Belum," jawabnya singkat. Mas Riko mengambil ponsel dari