Bab 23Pov Irene."Huh selamat," gumamku pelan.Aku heran dengan Ibu-ibu sekarang. Doyan banget main keroyokan nge-bully aku. Aku kan gak salah. Aku bukan pelakor, aku kan sudah menikah dengan Mas Fatan. Sedangkan pelakor itu hanya pacaran aja sama laki orang. Dasar Ibu-ibu rese, gagal deh niatku buat perawatan. Itu juga para lelaki di teras dan parkiran salon, kenapa mereka tertawa melihatku. Untung aku cepat menyetop angkot ini tadi.Eh ini kenapa para penumpang juga pada senyum-senyum melihatku. Pak supir juga berulang kali menoleh ke belakang melihatku. Pada kenapa sih?"Eh kamu ngapain senyum-senyum terus melihatku. Naksir ya melihat kecantikanku?" semprotku pada pemuda yang duduk didepanku."Naksir? Buahahaha!" tawanya malah meledak seketika.Yang lain juga kompak tertawa terbahak-bahak. "Mbak mau ngelenong dimana?" tanya seorang Bapak berkopiah."Ngelenong?" tanyaku tak mengerti."Mbak punya ponsel gak, coba deh dilihat wajahnya. Hahaha!" saran pemuda di depanku masih tert
Bab 24Pov Fatan."Ratna anaknya Rogaye, ya ampun gak nyangka ya. Cantik-cantik doyannya sama laki orang. Mau jadi pelakor dia!" sambung Bu Tika kesal."Jaman sekarang gak usah heran Bu, kita harus hati-hati sama pelakor. Awas aja kalau ketahuan ada pelakor di komplek kita. Tak kasih bubuk cabe itu rawa-rawanya!" sambar Bu Mila di sampingku.Hah pelakor, bubuk cabe? Aku bergidik mendengarnya. "Bang maaf ya, belanjanya gak jadi." Aku bergegas kembali ke rumah. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Entah kenapa sekarang kalau ada sekumpulan Ibu-ibu dan mereka mengucapkan kata pelakor aku ketakutan setengah mati.Aku meneguk segelas air mencoba menenangkan hatiku. Mas Fatan baru keluar dari kamar mandi. "Mana belanjaanmu Ren?" tanyanya."Gak jadi Mas, sayurannya gak ada yang bagus," jawabku berbohong."Masakkan Mas mi instan, Mas mau ke kantor!" "Mas yakin gak pergi ke Pengadilan. Kalau Mas gak pergi hari ini, gugatan si Dhifa dikabulkan Pengadilan lho?" tanyaku.Mas Fatan yang sedan
Bab 25Pov Nadhifa."Alhamdulillah," ucapku saat Hakim mengetuk palu.Putus sudah hubungan pernikahanku dengan Mas Fatan. Aku tak menyesali jalan hidupku seperti ini.Aku harus menata hidupku kedepan agar lebih baik. "Mari kita pulang Fa!" ajak Mas Riko.Kami melangkah keluar gedung Pengadilan saat aku melihat Mas Fatan datang dengan tergopoh-gopoh."Kamu telat Mas, sidang sudah selesai. Dan kita bukan suami istri lagi!" ucapku memberitahunya. Aku tahu maksud dia kemari, mungkin dia baru sadar kalau ketidak hadirannya membuat sidang cepat selesai.Dia kelihatan sangat marah dan ingin menamparku. Mas Riko menangkap tangannya membuatnya semakin marah."Siapa kamu, lepaskan aku! Biarkan kuhajar wanita licik ini!" teriak Mas Fatan.Ya ampun Mas, masih saja kamu gak merasa bersalah ya."Bapak bisa kena tuntut kalau menyakiti Mbak Dhifa. Saya pengacaranya!" ancam Mas Riko. Mas Fatan mundur dan melangkah keluar gedung dengan wajah marah."Kamu gak papa kan Fa, bisa pulang sendiri?" tanya
Bab 26Pov Irene."Ayo Bu cepat dikit jalannya!" "Sabar napa Ren, nafas Ibu udah mau habis nih!" protes ibuku.Aku berjalan semakin cepat, aku khawatir dengan keadaan Mas Fatan. Tadi aku sempat gak percaya waktu Dhifa menelponku.Huh, aku yakin kalau preman-preman itu suruhannya Dhifa. Dia belum puas melihat kami menderita.Awas aja kau Dhifa, kalau sampai Mas Fatan kenapa-kenapa.Akhirnya aku tiba di ruang IGD, sudah ada mamanya Mas Fatan disana. Aku celingukan mencari si Dhifa. Pasti dia sudah kabur, ternyata dia takut juga padaku. Hahaha Irene mau dilawan. "Ma!" sapaku takut."Hmm, sudah datang kamu Ren?" tanya mertuaku."Iya Ma, apa Mas Fatan sudah bisa dijenguk Ma?" "Belum, lukanya masih diobati," jawab mertuaku dingin."Siapa yang berani mengeroyok Fatan sih Jeng? Pasti itu suruhannya si Dhifa!" celetuk ibuku. Eh kok Ibu sepikiran denganku. "Bu, jangan ngomong seperti itu!" ingatku pada ibuku."Justru Dhifa yang menolong Fatan. Gak tau kenapa anak ini sekarang selalu sial.
Bab 27Ya sudah la ya, aku pasrah menunggu Dhifa keluar kantor. Aku menunggu agak jauh dari pos Satpam. Satu jam, dua jam aku sudah menunggu. Perutku lapar, aku belum sempat makan siang tadi. Jam berapa sih dia keluarnya, apa dia gak makan siang. Atau dia sudah pesan makanan online. Soalnya tadi ada beberapa ojol mengantar makanan kedalam. Oh malangnya nasibku, kenapa wanita baik dan cantik sepertiku mengalami cobaan seperti ini.Sudah lebih dari tiga jam aku menunggu. Dan aku terlonjak kaget saat melihat Dhifa keluar dengan beberapa pria disampingnya.Aku bergegas masuk ingin menemuinya. Tapi Satpam tadi menghalangiku. Aku berteriak memanggil Dhifa, dan usahaku tak sia-sia. Dia menoleh melihat kearahku.Dhifa menemuiku di pos satpam. Teman-temannya juga mengikuti dia."Ada apa Ren, Mas Fatan sudah sadar?" tanya Dhifa dengan datar.Aku hendak menjawab, tetapi pria disamping Dhifa lebih dulu bicara."Fatan kenapa Fa?" tanya pria itu. Lumayan ganteng sih, tapi masih lebih ganteng sua
Bab 28Pov Fatan.Perlahan aku membuka mataku, ruangan serba putih di sekelilingku. Di mana aku, apa aku sudah berada di surga?Ya, aku pasti sudah meninggal. Dan sekarang aku berada di surga. Aku memejamkan mataku kembali, ingin menikmati aroma surga. Tapi, kok bau obat-obatan ya aroma yang tercium? pikirku heran. "Mas, kamu sudah sadar?" Terdengar sebuah suara menyapaku. Hey suara itu, aku seperti mengenalnya. Itu suara Bidadariku, Irene. Kenapa dia juga bisa berada di surga. Apa dia menyusulku? "Mas, buka matamu. Aku tau kamu sudah sadar!" Itu suara Irena, bidadariku. Kok Bidadariku marah sih, aku membuka mataku. Benar kan, Irene menyusulku ke surga. Oh, aku sangat tersanjung sekali melihat kesetiaan Irena. Sampai aku meninggal dan pergi ke surga, dia juga mwnyusulku. "Ren, kamu menyusul Mas ya?" tanyaku penasaran. "Iya Mas, aku datang setelah Dhifa memberitahuku," jawabnya sedih."Dhifa, apa dia ada di sini juga. Kok bisa dia masuk surga juga. Dia kan istri durhaka karena me
Bab 29Pov Irene.Huh, aku menarik nafas kesal. Sebenarnya aku tak ikhlas menerima syarat yang diajukan Dhifa kemarin. Tapi mau bagaimana lagi, aku gak punya pilihan lain.Aku mendekati pintu gerbang rumah Dhifa. Seorang satpam melihatku, dia mendekatiku yang masih berdiri di depan gerbang."Maaf Mbak, mau cari siapa?" tanyanya menyelidikiku. Dipindainya tubuhku dari atas ke bawah dengan tatapan tajam. "Sa-saya Irene, saya---" "Oh Mbak Irene, pembantu baru Bu Dhifa. Silahkan masuk!" Satpam itu memotong ucapanku lalu mengajakku untuk masuk ke dalam rumah Dhifa. Aku mengikuti satpam ke dalam rumah Dhifa yang sangat mewah dan indah. Ah, andai saja Mas Fatan pintar, pasti aku juga akan tinggal di rumah mewah seperti milik Dhifa ini. Sayangnya, otak Mas Fatan itu sangat bodoh. Tapi, entah kenapa aku sangat mencintainya. "Sudah datang kamu Ren?" Ternyata Mama Mas Fatan yang menyambutku. Aku celingukan mencari keberadaan Dhifa. "Dhifa sudah berangkat kerja, dia sudah mewakilkan padaku
Bab 30"Bentaran doang Ma, lagian kerjaanku sudah beres kok," sahutku."Beres apanya, itu lihat lantai masih kotor. Kamu bisa kerja gak sih?" Lantainya masih kotor, perasaan tadi sudah kubersihkan deh. "Kok bisa kotor lagi, tadi kan sudah aku bersihkan Ma?" Aku mengajukan protes kepada mertuaku. "Mana saya tahu, saya keluar kamar sudah jorok begitu! Bersihkan!" seru mama mertua sambil melotot. "Dasar nenek lampir!" rutukku, tentu saja di selama hati. Mana berani aku bersuara, bisa-bisa mama mertuaku itu keluar tanduknya. Aku mengambil sapu dan alat pel kembali. Sementara mertuaku ke dapur untuk memasak. Aku membersihkan lantai yang masih jorok, aneh padahal jelas-jelas tadi sudah aku bersihkan lho. Apa ini kerjaan hantu ya?Hiiii aku bergidik ngeri, ternyata rumah Dhifa ini seram. Banyak hantunya."Sudah selesai!" Aaaaaaa! Aku berteriak kaget. "Mama jangan suka begitu dong, kalau aku kaget terus jantungku copot gimana?" "Ganti aja pakai jantung pisang," jawab mertuaku enteng.
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.