“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Tuan Bridam, menatap Zahri yang terdiam sepanjang hari.
Zahri segera tersadar dari lamunannya dan memandang Bridam, Derren dan Anis yang menatapnya dengan tatapan selaras.“Kenapa? Kamu masih memikirkan kejadian kemarin?” tanya Anis, menembak.Zahri mengangguk. “Iya. Banyak hal yang janggal. Pola permainan mereka terlalu acak, bukan?”Zahri menatap Derren yang tampaknya memiliki pendapat yang sama. “Anda pasti curiga dengan hal itu, kan, Pak?”“Sedikit. Tapi semuanya baik-baik saja. Aku sudah cukup lega dengan hal itu,” jawab Derren.“Saya melihat ada lelaki di sekitar Istri Anda. 3 orang lelaki yang mengawasinya setiap saat.”Derren diam. Ia bukannya tak tahu pasal itu. Sebagai orang yang tinggal serumah dengan Marsha, tentu ia mengetahui banyak kejanggalan dengan wanita itu.Tapi ia selalu menahan diri untuk tidak mencari tahu. Karena mereka hanya menikah kontrak dan uru“Kamu banyak diam akhir-akhir ini, Naya. Kamu punya masalah?” Lelaki berwajah manis dengan potongan rambut bergaya “Blow Cut” itu berjalan mengikuti langkah Naya yang terburu-buru meninggalkan kelas. “Ya? Memang terlihat sangat kentara?” tanya Naya, menatap wajah tampan lawan bicaranya, dengan ujung jari yang menyapu lembut pipi bagian kirinya. Lelaki itu mengangguk. “Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, kamu bisa mengatakannya padaku.” Naya menatap ragu. Walau ia tidak memiliki seorang teman yang baik di sisinya, ia masih memiliki lelaki ini untuk bercerita. “Jika aku menceritakan kisahku, kamu mau merahasiakannya dengan baik?” Lelaki itu tersenyum lebar. “Bukannya aku orang yang paling rapat menutup mulut jika kamu membagi sesuatu?” Naya tersenyum manis. “Mungkin sudah waktunya aku mengenal kamu dengan baik sebagai seorang teman.” Senyum cerah terpahat di wajah tampan anak
“Aku belum memastikan kondisimu.” Marsha memandang Derren yang tertidur di sofa–bermalas-malasan, dengan tatapan lurus. “Kamu baik-baik saja?” Derren menatap Marsa yang duduk di seberang meja dengan tatapan mengamati. "Sudah sehari berlalu. Bukannya kamu terlalu lambat mengajukan pertanyaannya?” Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Kamu tahu aku sibuk. Maafkan aku.” Derren menghela napas kasar. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit meriang karena masuk ke laut terlalu lama. Bagaimana denganmu? Aku lihat pergelangan tangan kamu sampai memerah.” Derren melihat bekas merah yang mulai memudar di pergelangan tangan Marsha dengan tatapan teliti. “Apakah masih sakit?” tanya Derren. Marsha menatap kedua pergelangan tangannya sejenak, lalu tersenyum masam. “Tidak. Sudah tidak berasa. Hanya bekas merahnya saja yang belum hilang. Kamu jangan khawatir.” Derren turun dari sofa dan duduk berhadap
Klak .... Marsha membuka sebuah lemari pakaian tua yang ada di pojok kamar Derren. Ia melihat jajaran senjata api yang tergantung dengan rapi. Di bawahnya, berbagai macam peluru dan senjata tajam tertata tak kalah rapi. Salah satu pistol telah di curi Marsha. Untuk alat pengaman. Entah Derren tahu atau tidak, yang jelas, ia tidak pernah melihat Derren mencari barang yang telah di curinya itu. “Ia memang seorang prajurit!” gumam Marsha, memandang berbagai macam senjata api yang tidak di kenali type-nya oleh Marsha. Marsha menutup lemari itu dan beralih ke meja belajar Derren. Ia membuka setiap laci–seakan sedang mencari sesuatu. Padahal, sebenarnya Marsha hanya ingin melihat-lihat. Beberapa dokumen tentang dirinya dan keluarnya. Satu berkas tebal tentang perusahaan Gama. Bahkan ada berbagai macam alamat rentenir beserta kontak dan bio data anggotanya, yang meminjamkan uang pada Ayah dan Ibunya. “Hahahaha, aku kira
Gama menoleh ke belakang. Ia tidak menemukan Marsha di sana. Ia menelisik semua area dan melihat Marsha di seret 2 orang wanita berpakaian hitam pergi menjauh darinya. Gama berlari sekuat tenaga. Ia mengejar Marsha dan berhasil menyusul. Greb! Gama menggenggam tangan Marsha dan menariknya dari belenggu kedua wanita yang tidak ia tahu identitasnya. “Siapa kalian?” tanya Gama, menatap tajam kedua wanita yang terlihat gentar begitu melihatnya. “Ka-kami ....” “Kabur bodoh! Ia akan memenjarakan kita!” seru teman satunya, menggandengnya untuk berlari pergi. Gama menghela napas kasar. Ia melihat Marsha yang tertekan dengan situasinya. “Kamu takut?” tanya Gama. Marsha memandang wanita itu dengan tatapan datar. “Bahkan sekarang aku ingin mematahkan leher mereka.” Marsha menunjukkan tangannya yang mengepal erat pada Gama–membuat lelaki itu menatanya ngeri. “Aku bar
“Kamu membenciku?” Marsha mengerutkan keningnya sepanjang perjalanan pulang. Ia berpikir keras tentang itu. Ia tidak mengira jika Gama akan sangat jujur atas perasaannya pada dirinya. “Apa yang di pikirkannya?” Marsha menimang apa yang mengubah sikap Gama. Sikap pemberontak itu sangat tidak cocok dengan Gama yang tenang dan tegas. “Apa ia sangat frustrasi?” Marsha menggelengkan kepala. Berusaha menepis semua perkataan itu dari kepalanya. Tapi yang di ingat Marsha hanya raut wajah Gama yang tampak buruk. Tok ... tok .... Marsha menoleh pada seorang lelaki yang berdiri di balik pintu mobil taksinya. Lelaki itu mengenakan seragam kerjanya—kemeja putih serta celemek putih yang belum ia lepas. “Kamu tidak keluar? Kasihan sopirnya kalau menunggu kamu selesai melamun,” ucap Derren, menatap lurus pada Marsha. Marsha terkejut dengan kehadirannya dan melihat Derren dengan kedua mata y
Gama memilah beberapa kandidat sekretaris dengan teliti. Ia harus mencari wanita yang kompeten untuk sekretaris di kantor. “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda menemukan orang yang cocok?” tanya Vian, sekretaris pribadi Gama. “Tidak ada yang memenuhi kualifikasiku.” Gama menatap Vian. “Kamu tidak punya orang lain? Orang kekurangan lebih baik. Mereka akan mudah di cuci otaknya.” Vian terdiam beberapa saat. Ia mengingat seseorang wanita paruh baya yang cukup hebat dalam pekerjaannya. “Saya kenal seseorang. Tapi Anda harus merekrutnya secara langsung. Ia orang yang pandai. Hanya saja ....” “Apa?” Gama memiringkan kepalanya. “Kenapa dengan orang itu?” “Ia sudah cukup tua untuk menjadi seorang sekretaris.” “Benarkah? Berapa usianya??” Vian menggaruk tengkuknya canggung. “41 tahun.” Gama menganga kaget. Ia tidak menyangka Vian akan menyarankan seorang sekretaris lansia padanya. “Yang benar saja. M
“Derren?” Marsha mengerutkan keningnya bingung melihat Derren sudah berpakaian rapi, padahal ia bilang kalau hari ini ia tidak akan pergi keluar, kecuali kencan dengannya. Derren yang merasa di panggil pun menoleh. Ia melihat ke arah tangga. “Ya? Kamu sudah bangun? Aku sudah buatkan sarapan untuk kamu dan dua adikku.” Marsha mendekatinya. Ia berdiri di belakang punggung Derren yang memaki sepatu bots, di belakang pintu. “Kamu lupa nanti kita akan ke mana?” tanya Marsha, sedikit canggung. Mengingat ia seperti sedang merengek agar lelaki itu tidak pergi. “Tidak kok. Aku akan pulang sebelum jam 11. Aku hanya keluar sebentar Marsha. Kamu jangan risau,” ucapnya, menenangkan sang istri. Walau sulit untuk percaya, Marsha hanya mengangguk kecil dan mengantar kepergian lelaki itu sampai ke depan gerbang rumah mereka. Marsha mengerutkan kening begitu ia melihat suaminya naik ke atas sepeda Naya
Derren menyugar rambutnya kasar dan menatap Tama dengan tatapan buruk. “Nona Lea?” “Heh, aku tidak percaya kamu tetap memanggilnya dengan awalan ‘nona’ setelah tahu kegilaannya selama ini.” Tama hanya memalingkan pandangannya dan menyembunyikan pipi meronanya, karena malu. “Ya, perasaan suka pada seseorang pasti akan sulit di kendalikan.” Derren menghela napas panjang nan berat. “Aku akan berusaha mengerti kamu.” “Ehem, terima kasih, Pak.” “Lalu apa yang akan Anda lakukan dengan mereka, Pak? Bahkan Tuan Sean juga terlibat dengan hal ini.” Andika berasumsi. Ia tahu kalau lawan mereka hanya “Lea” atasannya itu tidak akan terlalu memusingkannya. Karena ia bukan orang penting yang bekerja untuk negara. Namun lain cerita jika Tuan Sean—ayah Lea! Ia adalah orang berpengaruh di negara mereka. Jasanya sangat di kenang masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi dalam dunia pendidikan.