“Katakan!”
Derren dan Gama menatap Marsha dengan tatapan intens. Mereka sudah menunggu lebih dari satu jam agar wanita itu berbicara tentang kebenaran yang membuat keduanya bisa mati penasaran.“Kalau sekarang kamu sudah boleh jujur, kan? Jam kontrol dokter sudah lewat 15 menit yang lalu. Sudah tidak ada orang yang akan datang ke tempat ini untuk menjenguk Derren. Tak akan ada orang yang bisa menguping pembicaraanmu,” ujar Gama cukup gemas melihat bungkamnya Marsha.Wanita itu melirik kedua lelaki yang ada di depannya dengan tatapan penuh kepuasan. “Pembunuh yang di samarkan. Aku melihat salah satu anak buah kalian yang menghilang dan di gantikan oleh orang lain.”“Daniel menemukan ini i gudang penyimpanan barang lantai satu.”Marsha menunjukkan sebuah foto seorang lelaki tanpa busana—hanya mengenakan pakaian dalam—sedang meringkuk kedinginan sambil memeluk dirinya.Derren menatap istrinya yang memperlihatkan foto tak senon“Jadi mau bagaimana sekarang?” Marsha memandang Derren dan Gama yang berpikir keras untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa mereka dengan wajah yang sangat serius. Namun tampaknya kedua lelaki itu menunggu penyelesaian dari Marsha yang sudah sering mendalami permasalahan seperti ini. Ya, Marsha adalah orang yang tepat. Di bandingkan Derren yang notabenya seorang tentara yang lebih suka memenggal langsung kepala musuhnya atau Gama yang lebih suka menyiksa langsung anak buah musuhnya dan meledakkan markas mereka, Marsha adalah orang yang paling normal untuk menangkap penjahat agar tetap dalam kondisi hidup dan dapat di adili dengan baik di pengadilan. “Bagaimana kalau kamu memberikan kami saran, Marsha? Aku yakin kamu jauh lebih bijak dari kami berdua hehe ...,” cicit Gama. Marsha memutar bola matanya malas dan mengambil dokumen di dalam tasnya. “Aku masih memiliki banyak sekali pekerjaan karena libur 1 minggu dari rumah sakit. B
“Kamu yakin memintaku untuk ini?” Gama menatap lurus pada Derren. Beberapa saat yang lalu anak itu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal padanya. Gama yang tak bisa melakukan bela diri dengan benar ini malah di minta untuk menjaga Marsha dan secara pribadi di minta menginap di rumahnya—dengan status Gama yang merupakan mantan tunangan Marsha, Derren terlihat terlalu santai, bukan? “Tunggu ... jangan melucu!” Gama menunjukkan penentangan keras. Walau hal ini bisa di sebut keberuntungan saingan, namun yang seperti ini sangat tidak benar adanya. “Menginap di rumahmu untuk menjaga Marsha yang lebih pandai 10x lipat dalam pertarungan dari pada diriku? Terlebih lagi, ada 2 orang bodyguard dari pihak Mi yang menginap di sana.” Gama menatap sangar. “Sebenarnya kenapa kamu mengatakan hal gila seperti ini, Pak Derren? Aku benar-benar tidak dapat memahaminya dengan baik loh ....” Gama menoleh pada Marsha yang sedari tadi hanya diam dan memperhatika
Klek .... Naya menatap kehadiran Yana dengan tatapan senang. Ia yang tadinya mengamuk langsung terlihat normal melihat wajah saudaranya. “Keluarlah, Kak.” Yana berjalan masuk ke dalam ruangan. Marsha menoleh ke arahnya. Ia melihat gadis berusia 11 tahun itu masuk ke dalam ruangan dengan seragam dan makan siang yang ia beli di depan rumah sakit. “Aku akan menjaganya.” Yana menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah. Namun Marsha harus tetap merepotkannya untuk hal ini. Terlebih lagi, Naya terlihat tenang saat melihat sosok Yana di dekatnya. “Kamu akan baik-baik saja?” Marsha merasa khawatir. Ia tahu Yana lelah dan malah bersinggungan dengan Naya karena masalah terakhir. Namun hanya ia yang bisa di andalkan untuk menjaga Naya. “Aku akan meminta bantuan jika membutuhkan sesuatu.” Yana mengeluarkan sebuah ponsel dari tas ransel sekolahnya. “Kakek Bima membelikannya—“ Prak! Yana menatap
Daniel menghela napas kasar. Ia menatap ponsel yang terus berdering sejak 5 menit yang lalu. Tak ada niat untuk membalasnya. Ia hanya memandanginya dengan wajah malas walau tahu telepon itu dari Tuannya—Marsha. “Memang tidak apa tidak mengangkatnya?” Salma datang dengan membawa 2 minuman kaleng untuk mereka. “Nona pasti ingin tahu perkembangan situasi 2 anak kecil itu, kan?” Daniel hanya mendengus. Ia mengacuhkan Salma. Bahkan sampai tak mau bertetap muka dengan teman wanita dan kawan seperjuangannya itu. “Aku tahu kamu malu pada Nona jika sampai melaporkan apa yang kalian dengar dari mulutmu sendiri.” Salma mengembuskan napas panjang. “Tapi mau bagaimana? Kamu tangan kanan Nona Marsha. Kalau kamu tak melakukan pekerjaanmu dengan baik hanya karena gengsi, bagaimana kalau memberikan pekerjaan itu padaku saja?” Daniel membulatkan matanya. Memelotot ke arah Salma yang terus mengusiknya walau ia yakin wanita itu tahu jika ia ingin sendir
“Apa yang akan kamu lakukan, Marsha?” Tiga orang yang sedang di sekap bersama dengannya bertanya dengan kompak. Bahkan mereka yang di tutup matanya, mengarahkan pandangan mereka tepat ke arah Marsha berada--tanpa meleset sedikit pun. Marsha yang mendengar itu hanya menghela napas kasar. Entah kenapa hanya dirinya yang tak mendapatkan penutup mata. “Apa para bedebah itu sengaja membuatku sedikit putus asa karena tak bisa melakukan apa pun padahal bisa melihat semuanya?” batin Marsha, menghela napas kasar. “Marsha?” Gama memanggil. Setengah wajahnya yang masih terlihat menunjukkan kecemasan saat ia tak mendengar suara Marsha menyahut perkataan mereka. “Kamu baik-baik saja?” “Hem ... aku baik-baik saja.” Marsha menjawab seadanya. Ia menghela napas kasar dan melihat sekeliling. Box kontainer yang menjadi tempat di sekapnya mereka terasa mencurigakan. Aroma garam dari air laut bisa di cium oleh Marsha yang memiliki indra pencium
Tok ... tok .... Seorang lelaki berjalan masuk ke dalam kamar Derren. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah masam rekannya, Daniel, yang terlihat sangat cemas sampai ke taraf gelisah. Sementara lelaki yang ia tahu adalah suami Nona mereka, Marsha, juga memasang wajah tegang nan cemas. “Duduk jika sudah datang.” Daniel menatap garang. “Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini agar bisa memastikan keadaan Nona.” Baron mengangguk dan segera masuk ke dalam ruangan itu. Suasana menegangkan yang mencengkeram membuatnya ikut merasa tegang. Bahkan ia tak bisa duduk dengan nyaman melihat raut wajah dua orang di depannya. “Maaf sudah meminta pihak kalian datang ke sini. Padahal aku yang meminta tolong. Harusnya aku yang datang ke perusahaan kalian.” Derren berucap dengan sopan. Baron hanya diam. Ia sibuk dengan laptop dan tugas yang di berikan Daniel padanya. “Sudahlah, Tuan. Saya yang meminta anggota saya datang karena Anda se
“Marsha ... Marsha ... kau baik-baik saja?” Gama menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencari suara Marsha yang tak terdengar selama beberapa saat setelah suara hantaman keras terdengar. Yang bisa di dengar Gama dan Lea yang masih terjaga saat itu adalah suara memekik Marsha yang kesakitan. Setelah itu guncangan hebat terus terjadi di tempat mereka. Bahkan suara deru air laut yang semakin jelas. “Mereka pasti membawa kita ke tengah laut, kan?” Lea mulai kembali dengan pemikiran negatifnya. Sementara Gama hanya bisa diam dan pasrah. Rasa khawatir akan Marsha membuatnya hampir gila. Namun tetap tak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Gama, kau tak dengar aku??” Lea berteriak frustrasi. Ia juga ketakutan. Namun keheningan yang melanda ini membuat mentalnya semakin terombang-ambing. “Aku mendengarmu.” Gama menghela napas kasar dan mulai berusaha bergerak ke samping—tempat posisi Marsha berada sebelumnya. “Coba cari benda yang bisa kita
Marsha .... Marsha .... Sampai kapan kamu menutup matamu? Gama terlihat kalut. Ia menangis sambil memeluk Marsha dengan erat. Sementara dua dokter yang mengupayakan pertolongan pertama untungnya. Napas Marsha masih teras, namun sangat lemah. Mereka membutuhkan peralatan yang lebih memadai untuk menolongnya. Namun mereka sudah terimpit dalam situasi yang tak memungkinkan. “Kita harus segera keluar dari tempat ini.” Gama menatap Syam yang berusaha kuat untuk membantu Lea. Mereka akan terus melakukan CPR. Setidaknya sampai kesadaran Marsha mulai pulih. “Dokter Syam ....” Gama menatap tegas. “Aku akan menyusup masuk ke atas—helikopter itu, harusku jarah!” Syam terdiam beberapa saat. Sesekali ia melihat wajah Gama yang terlihat serius, namun ia tak memiliki waktu untuk melakukan diskusi lebih lanjut—bahkan sekedar mengkhawatirkannya, Syam tak memiliki waktu. “Jika kamu bisa mengatasinya, aku tak akan membuatm