"Aaarrghh!" jerit Inez saat terbangun siang itu di kamarnya. Dia duduk di tengah ranjang dengan tubuh bersimbah keringat dingin.AC kamar tidurnya menyala, bukan karena kepanasan melainkan Inez bermimpi buruk yang membuatnya kebingungan tak ingat apa yang ia mimpikan. Dia menoleh ke arah jendela kamarnya yang tertutup tirai tipis putih. Sinar matahari begitu terang benderang menyusup dari sana."Ya Tuhan, aku bangun kesiangan lagi—" Inez pun bangkit dari tempat tidur dan meraih ponsel di atas nakas dan juga melihat ke ranjang bayi yang telah kosong. Dia berpikir mungkin Reyvan telah diurus oleh Betty, baby sitternya. Dengan perasaan tak enak hati ia mengetik pesan ke Tristan untuk meminta izin libur kerja hari ini karena tidak sehat. Balasan pesan dari Tristan segera masuk ke layar ponsel Inez. Pria itu membalas, 'Nggakpapa, Nez kamu ambil libur aja. Sakit apa? Nanti sore sepulang kerja aku mau membesuk ke rumahmu, boleh ya?''Boleh. Badanku rasanya kecapekan kayak habis lari maratho
Tepat pukul 19.00 waktu Istanbul sebuah mobil limousine hitam telah menunggu Mario dan kedua rekannya untuk mengantar mereka menuju ke Omar Tsayef Bay View Resort. Perjalanan dari Double Tree by Hilton Hotel ke resort pribadi milik keluarga Miss Indirah cukup jauh dan memakan waktu sekitar dua jam lebih.Ketika mereka sampai di bangunan bercat putih yang menghadap langsung ke Teluk Izmit, sebuah teluk di ujung paling timur Laut Marmara. Lampu-lampu bercahaya kuning pendar keemasan nampak bertebaran begitu semarak dan indah di tengah kegelapan malam.Saat Justin turun dari mobil di sebelah Mario, ia berbisik, "Wanita Turki ini memiliki style yang berkelas, Mas Mario. Kau yakin tak ingin mencobanya?"Mendengar pertanyaan managernya, Mario melirik tajam seraya menggelengkan kepalanya. "Cukup, Justin. Bawa aku pulang ke hotel bila segalanya menjadi terlalu berlebihan. Sudah kukatakan bahwa aku agak takut kali ini. Jangan-jangan dia wanita bersuami—"Mereka bertiga berjalan beriringan dipa
"Apa kurangnya aku? Bisa kau katakan dengan jelas, Mario?" desak Indirah menepis tangan Mario di lengannya yang menjauhkan kedua tubuh mereka.Dengan nekad wanita Turki itu terus menggoda Mario. Telapak tangannya mengusap-usap bagian menonjol di balik celana panjang kain yang dikenakan pria kekar di hadapannya. "Aku sanggup memberikanmu malam yang tak terlupakan untukmu. Kau tak akan menyesal, Mario Sayangku!" rayu Indirah mengerjap-ngerjapkan mata lebar yang dinaungi bulu mata rimbun miliknya.Mario mendengkus kasar. "Tak ada yang kurang secara fisik. Anda sangatlah cantik, hanya saja perlu Anda sadari bahwa kita berdua telah menikah dengan orang lain. Ini semua adalah kesalahan besar!" Dia lalu melangkah cepat meninggalkan Indirah menuju ke tempat mereka makan malam bersama tadi. Dia berseru kepada Justin dan Hernandes yang sedang duduk berbincang dengan dua wanita Turki cantik di meja makan, "Guys, kita pulang sekarang!" Kedua pria itu saling bertukar pandang di tempat duduk mere
"PLAKK!" Suara pipi yang ditampar keras menggema di ruang tengah resort mewah milik Indirah."Ma—maafkan kami, Nyonya!" ucap kepala pengawal yang diberi tugas oleh Indirah untuk mengejar Mario yang kabur dari dekapannya.Sepasang mata lebar yang dinaungi bulu mata rimbun gelap itu melotot dengan galak lalu Indirah berkata, "Dasar tolol! Bagaimana mereka bisa kabur tak terkejar?! Kalian naik mobil dan mereka berlari dengan kaki bukan?"Karamis Ahmer berlutut di hadapan nyonya besarnya dengan kepala tertunduk memohon belas kasihan karena telah gagal dalam tugasnya. Para anak buahnya segera mengikuti tindakannya ikut berlutut dan terdiam menundukkan kepala mereka.Hati Indirah digelanyuti oleh perasaan kecewa yang mendalam. Tadinya ia sudah merancangkan sebuah malam indah nan panas bersama Mario di kamar tidur utama resortnya. Segalanya dia persiapkan dengan sempurna teruntuk raja semalamnya, Mario. Air mandi bertabur kelopak bunga mawar merah, Champagne impor dari Perancis, bulir-bulir
Pesawat Emirates Airlines yang dinaiki Mario bersama Justin dan Hernandes mendarat di Bandara Soekarno-Hatta lepas tengah malam. Ada beberapa delay yang membuat penerbangan itu molor durasinya. Mario memang sengaja tidak memberitahu Inez dengan kepulangannya yang lebih awal untuk memberi istrinya kejutan.Setelah terlepas dari kejaran orang-orang suruhan Indirah, dia merasa lega sekaligus sangat merindukan Inez. Ada beberapa rencana bergairah yang ingin ia lakukan bersama istrinya sesampai di rumah nanti. "Mas Mario, kita berpisah di bandara saja ya? Naik taksi sendiri-sendiri biar praktis pulangnya ke rumah masing-masing," ujar Justin setelah mengambil koper di bagian pengambilan kargo penumpang.Mario mengangguk setuju. "Iya, begitu saja nggakpapa Justin. Oke, sampai ketemu besok siang ya di rumahku. Aku mau ngajak tempur istriku malam ini berhubung sudah seminggu nggak ketemu," balasnya sembari berjalan menarik kopernya bersama Justin dan Hernandes menuju ke depan lobi bandara.Se
Mario melempar kopernya di bangku tengah mobil Land Rover hitamnya lalu membanting pintu mobil. Dia naik ke bangku pengemudi dan segera menstarter mesin mobilnya keluar dari garasi rumah Inez lalu menjalankannya hingga ke depan pintu gerbang. "Lho, itu Pak Mario, Mas Sugeng! Bukain pintu gerbangnya," ujar Susilo yang satu shift jaga di pos satpam rumah Inez pagi itu sembari menunjuk mobil yang mendekat ke arah pos satpam."Ohh—bentar, Sus. Aku bukain pintu gerbang dulu!" sahut Pak Sugeng lalu bergegas membukakan pintu gerbang untuk mobil Land Rover milik Mario itu."Makasih, Pak Sugeng!" seru Mario singkat demi kesopanan lalu ia melajukan mobilnya keluar meninggalkan halaman rumah istrinya menuju ke salah satu apartment pribadi miliknya yang kosong di daerah MT. Haryono.Pikiran Mario begitu kusut dengan amarah yang masih menguasai hatinya. Dia teringat bagaimana posisi Inez dan Edward tadi di atas ranjang. Memang perselingkuhannya dengan Anna Bianca beberapa waktu lalu sebelas dua b
"John, apa semua persiapan keberangkatan ke Paris Sabtu malam nanti sudah beres?" tanya Edward kepada kepala pengawalnya, John Whitmann di ruangan CEO. Pria berkebangsaan Inggris itu berdiri dalam posisi tegak di seberang meja bosnya. Dia sedikit kurang senang dengan rencana Edward, tetapi John tetap harus mematuhi perintah atasannya. Dia pun menjawab, "Semuanya sudah siap seperti yang Anda inginkan, Master Edward."Edward tersenyum puas lalu berkata, "Bagus, John. Kita akan coba mengulang masa lalu, apa Inez akan kembali mencintaiku atau tidak bila ia kembali tinggal di rumah kami yang ada di Paris."Helaan napas perlahan dilakukan oleh John, dia teringat malam ledakan mobil Audi A6 di jalanan kota Paris beberapa tahun lalu karena Edward mengejar Inez yang kabur bersama Mario. Tidakkah itu tak ubahnya seperti cari penyakit? Apa Edward memiliki 9 nyawa seperti kucing hingga ingin mencoba peruntungannya dengan Inez sekali lagi?"Aku ingin rumah di Paris dijaga ketat oleh pengawal prof
"Selamat malam, Semuanya!" sapa Edward dengan tenang sembari menarikkan kursi untuk istrinya di ruang makan. Dia lalu duduk di sebelah kursi Meirasty dan tepat berhadapan dengan Inez.Namun, Inez memilih untuk memalingkan wajahnya ketika mereka berdua bertemu pandang. Wajah wanita itu merona lebih karena malu sekaligus marah atas kekurangajaran suami adik iparnya tempo hari kepadanya."Hai, Ed. Hmm ... mumpung menu makan malam belum siap, kita mulai ngobrol aja. Kuharap kelak tidak akan ada lagi insiden memalukan seperti beberapa hari lalu. Kita ini satu keluarga, seharusnya jangan saling mempermalukan atau menyakiti satu sama lain!" tutur Mario membuka obrolan serius itu."Tentu saja, Mas Mario. Lagi pula Mey sebentar lagi juga sudah waktunya melahirkan. Dia butuh pikiran yang tenang agar tidak stres jelang HPL," jawab Edward seolah ia mendukung perkataan kakak iparnya.Dalam batinnya Edward berkata, 'Dokter Jang Sung Kyun memang sangat hebat. Bahkan, musuh bebuyutanku tak dapat meng
Tepat pukul 18.00 WIB, pesawat private jet membawa Edward dan Meirasty yang tetap dikawal oleh John Whitman beserta 2 rekan pengawal lainnya terbang menuju ke Amsterdam. Sekitar 16 jam durasi perjalanan itu tanpa mendarat transit sama sekali. Pukul 04.00 waktu Amsterdam mereka tiba di bandara, memang ada perbedaan waktu kedua negara yang lebih cepat 6 jam di Indonesia bagian barat dengan Amsterdam."Mey, kita check in hotel dulu saja buat istirahat, nanti pukul 11.00 baru mulai jalan-jalan ke kota," ujar Edward menggandeng tangan Meirasty menuruni undakan pesawat private jet itu."Aku ngikut rencana Kak Edu aja," sahut Meirasty mengikuti langkah-langkah lebar kaki suaminya yang bertubuh jangkung itu melintasi lobi bandara internasional Amsterdam. Mereka dijemput karyawan kantor VES dengan mobil SUV hitam merk buatan Belanda.Hotel yang dipilih Edward sengaja sama seperti saat dia menginap di kota itu bersama Inez, Inntel Hotels Amsterdam Zaandam. Saat memasuki kamar yang sama, dia t
"Halo, Pak Edward. Ada sebuah kiriman lukisan dari Nyonya Inez Jansen di kantor VES Jakarta," ujar David Sutomo, sekretaris pribadi Edward yang mengurusi kantornya yang ada di Jakarta Pusat.Pria itu mengerutkan keningnya, dia menduga itu pasti lukisan replika karya Rembrandt berjudul The Storm on The Sea of Galilee yang dulu pernah ia kirimkan untuk mengancam Inez. Kemudian ia pun bertanya, "Apa ada surat yang dikirimkan untukku juga, David?""Ada, Pak Edward. Saya belum membukanya, apa perlu saya fotokan isinya atau bacakan di telepon?" jawab David yang memang sedang memegangi sepucuk surat beramplop putih dengan tulisan tangan di alamat tujuan penerima."Bacakan saja, tapi nanti fotokan juga dan kirim ke nomorku, oke?" balas Edward lalu diam menunggu sekretarisnya membacakan surat dari Inez.David pun membacakan isi surat dari Inez itu, "Hai, Mas Edward. Semoga kabarmu baik-baik saja di sana. Inez ingin mengembalikan lukisan ini, aku harap Mas sudah mengakhiri dendam yang ada di an
Seusai makan malam di rumahnya yang ada di Paris bersama keluarga kecilnya, Edward duduk sendiri dalam ruang kantor rumahnya. Di genggaman tangannya ada beberapa lembar kertas bertuliskan "Surat Pernikahan Kontrak" dimana pada bagian bawah dari surat itu terdapat tanda tangan Meirasty dan juga tanda tangannya sendiri. Sudah hampir 2 tahun ini dia mengenal Meirasty, segalanya berjalan di luar dugaannya. Rencana awalnya untuk menghancurkan rumah tangga Inez dan Mario menggunakan adik kandung Mario memang awalnya berhasil. Namun, dalam perjalanannya justru dirinyalah yang terjerat dalam perasaan cinta yang sulit untuk ditepis olehnya.Inez terlalu keras kepala baginya, wanita itu lebih memilih untuk menjadi gila dibanding merelakan dirinya menjalin percintaan dengannya. Sungguh mengecewakan!Dari informan yang dia bayar untuk memata-matai Inez di rumah wanita itu yang ada di Jakarta, kondisi kesehatan mental dan kejiwaan Inez berangsur pulih sekalipun pada akhirnya dia berhenti bekerja
Sekalipun pernikahan kali ini adalah yang kedua bagi Clara, tetapi dia masih merasakan debaran kencang di dadanya saat mendengar calon suaminya mengucap janji di hadapan penghulu. Ketika semua mengucapkan kata "SAH", dia dan Tristan menghela napas lega. Sekarang mereka berdua adalah pasangan suami istri resmi di mata hukum dan agama."Tris, nitip puteri kesayanganku ya! Tolong kamu bahagiakan dan jaga dia selalu," pesan Inez saat dia menerima sujud sungkem mohon doa restu orang tua dari Tristan, menantu barunya.Kemudian dengan yakin Tristan pun menjawab, "Pasti, Nez. Ehh—Mama Mertua ... aku pasti serius jagain Clara. Mohon doa restunya ya!" Mario yang diam-diam mendengarkan pembicaraan istrinya dengan Tristan pun mendengkus geli. Pasalnya, kedua orang itu pernah terlibat cinta terlarang, sebuah one-night-stand. Dan itu pun karena Tristan merasakan obsesi cinta yang hampir sama dengan Edward. Bedanya, takdir berbicara lain untuk hubungan kedua pria itu dengan Inez."Mama ... Clara, m
Hari-hari selanjutnya setelah Inez kembali ke Jakarta terasa menenangkan. Dia memang terkadang seperti melamun saat sedang sendirian. Namun, histeria mimpi buruknya berangsur mulai jarang muncul. Mario pun mendukung penuh proses pemulihannya dengan tidak memaksakan harus berhubungan suami istri secara intim. Baginya kesehatan mental kejiwaan istrinya jauh lebih penting dibanding memaksakan ego serta kebutuhan biologisnya.Pagi jelang siang itu Nyonya Valeria Jansen, mama mertua Inez dari mendiang suami pertamanya dulu mengunjunginya di rumah. Dia sudah mendengar cerita dari Clara serta Mario mengenai penculikan Edward. Sekalipun bagi dirinya sebagai orang awam terasa absurd peristiwa itu. Namun, begitulah kenyataannya ... ketika seseorang dibutakan oleh obsesi gila segalanya dihalalkan untuk mendapatkan keinginannya."Pagi, Inez!" sapa Nyonya Valeria yang masih begitu sehat berjalan tanpa alat bantu sekalipun rambut sepunggungnya sebagian besar telah memutih. Inez menoleh lalu berjal
Sepasang kekasih yang akan segera menikah beberapa hari ke depan itu duduk berdekatan di bangku ruang tunggu bandara. Clara melihat-lihat berita yang sedang menjadi trending topik di jagad maya melalui layar ponselnya, sedangkan Tristan yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu lebih tertarik untuk bermesraan dengan kekasihnya.Dia menempelkan badannya dan wajahnya kepada Clara sambil membelai rambut panjang dan wajah pacarnya itu dengan gaya pria yang sedang bucin. Mau tak mau Clara pun menjadi geli sendiri dengan tingkah pacarnya yang menggemaskan. Memang Tristan itu seorang CEO perusahaan berkelas nasional, smart, ganteng, perfectlah pokoknya. Namun, kelakuannya kalau sedang bersamanya seperti bocah yang manja begitu kekanak-kanakan. "Mas Tristan nggak lapar?" tanya Clara iseng.Tristan langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Clara. "Apa kamu lapar, Sayangku? Mau dibeliin apa?" tanyanya kembali."Hahaha. Hey, 'kan yang nanya duluan aku! Mas jawab dong," balas Clara ter
"TIIIDAAAAAKKKKK!!" Teriakan nyaring itu seolah memecah keheningan malam di kamar hotel bintang 5 di Swiss. Dengan segera Mario memeluk erat tubuh Inez yang bersimbah keringat dingin dan gemetaran. "Nez, tenang—kamu aman sama Mas sekarang! Edward sudah nggak ada lagi, dia nggak akan bisa ganggu kamu lagi!" bujuk Mario agar istrinya yang sedang mengalami serangan panik akibat trauma itu tenang.Perlahan tubuh Inez mulai rileks kembali dalam dekapan Mario. Kemudian Mario pun bertanya, "Apa kamu butuh minum obat penenang dari Dokter Martina, Sayang?""Sepertinya iya, Mas. Aku akan meminumnya, apa bisa tolong ambilkan?" jawab Inez dengan suaranya yang masih bergetar.Mario berjalan ke kopernya lalu mencari obat yang tadi ditebusnya di bagian farmasi Paracelsus Recovery. Ada keterangan nama obat dan fungsinya di label pembungkus obat yang berjumlah 3 macam itu. Dia memilih tablet kecil berwarna putih bertuliskan 'if necesarry' (bila perlu) yang hanya diberikan pada kondisi serangan panik
Perjalanan udara Jakarta-Zürich menghabiskan waktu sekitar 19 jam lebih, sangat melelahkan memang. Akan tetapi, Mario terlalu rindu kepada Inez. Dia membiarkan Justin dan Hernandes check in ke hotel untuk beristirahat, sedangkan dirinya langsung naik taksi ke Paracelsus Recovery.Dalam perjalanan mobil itu Mario berusaha menenangkan dirinya untuk menghadapi situasi buruk apa pun yang tengah terjadi pada istrinya. Hal yang di luar perkiraan bila Edward mau melepaskan Inez setelah berbulan-bulan lamanya menculiknya. Pastilah ini bukan sesuatu yang Edward sukai karena pria itu terobsesi begitu gila kepada Inez."Sir, Anda sudah sampai di tempat tujuan," ucap sopir taksi yang mengantarkan Mario dari bandara tadi. Mario pun membayar ongkos perjalanannya sesuai argo lalu turun tanpa kopernya. Tadi dia menitipkannya ke Justin untuk disimpan di kamar hotel. Pusat rehabilitasi mental dan ketergantungan obat itu sangat mewah. Karyawan yang bekerja di sana juga sangat kompeten dan nampak profes
Malam itu Mario masih duduk bersandar dengan bantal di kepala ranjangnya sambil memeriksa akun sosial medianya yang mendapat banyak direct messages dari para penggemarnya. Dia tidak membaca isinya hanya mencoba peruntungannya siapa tahu Inez menghubunginya via DM sosial media Mario Chandra official seperti dulu saat dibawa kabur oleh Edward.Suara notifikasi pop up masuk ke ponsel yang tengah ia genggam dan Mario sontak terperangah. User bernamakan Edward L. Sinaga mengiriminya pesan, dengan segera ia menerima permintaan kiriman pesan itu lalu membaca isinya.'Ini aku, Edward. Kalau kau ingin menjemput istrimu, aku akan mengembalikannya dengan beberapa syarat.' Itulah isi pesan dari Edward untuk Mario. "Ohh God, orang psiko itu online, aku harus segera membalasnya!" ucap Mario heboh sendiri lalu mengetikkan balasan pesan untuk Edward.'Oke, aku akan jemput Inez. Katakan syaratnya, Edward!' Jawaban pesan Mario cepat dikirim.Di sisi Edward, pria itu merutuk kesal setengah tak ikhlas m