Satu Minggu berlalu.
Berkat usaha dan kerja keras Arsen dalam melakukan promosi, akhirnya satu persatu pelanggan mulai percaya dan mengunjungi resto kami.Tak hanya berkat promosi, ternyata kembalinya kepercayaan pelanggan adalah karena terungkapnya kasus cicak dalam makanan kami adalah murni karena fitnah dari seseorang.Berkat bukti dan klarifikasi yang bisa Bang Gavin dapatkan, akhirnya resto kami mulai padat pengunjung.Tak hanya itu, kabar baiknya adalah Yanto juga sudah pandai dalam melakukan tugasnya. Hingga saat ini, aku hanya akan datang ke resto untuk mengecek saja.Seperti hari ini, karena bosan di rumah, aku akhirnya memutuskan untuk menyusul Arsen ke resto dengan mengendarai taksi.Bersamaan dengan sampainya aku di resto, kulihat seseorang yang juga baru sampai sedang turun dari mobilnya. Awalnya aku tidak begitu peduli, hingga akhirnya tubuh montok itu mengingatkanku pada seseorang."Bu Rena!" gumamku."Kalian tau, gak? Pria ini pernah menjadi tetanggaku dan membohongi orang satu komplek! Tak hanya itu, dia juga bahkan membohongi istrinya dengan pura-pura...-""Bu Rena!" seruku seraya mengambil ponsel dari tangannya.Hal itu tentu saja membuat Bu Rena memicingkan matanya padaku. Dengan raut kesal ia juga hendak kembali mengambil ponselnya dari tanganku."Maaf, Bu! Aku akan kembalikan ponsel Bu Rena, asal ibu berjanji untuk tidak membuat konten dulu! Kita bicara dulu baik-baik, ya!" bujukku."Kamu ini kenapa sih, Ze? Kamu lupa apa, dia itu udah bohongin kamu, udah jebak kamu, dan udah jual kamu 'kan? Sekarang, mumpung orangnya ada disini, mending kita viralin aja! Biar dia dapat ganjarannya!" cerocosnya berapi-api."Bu Rena mau makan?" tanya Arsen dengan santainya.Untuk sesaat Bu Rena terdiam. Dia hanya memindai penampilan Arsen dari atas hingga bawah dengan tatapan sinis."Ya iyalah mau makan! Loe pikir gue kesini mau berak apa?" ketusnya dengan gaya ABG alay."Kalau gitu, silahkan
Langit sore ini terlihat mendung. Awan hitam sudah mulai berkumpul dan terlihat siap untuk segera menurunkan bebannya.Kilatan cahaya petir disusul dengan gemuruh diatas langit sana membuat nyaliku langsung ciut."Aku tak berani pulang, Arsen!" ucapku seraya memeluk lengannya dengan erat."Kita kan naik mobil, apa yang kamu takutkan?" tanyanya seraya mengusap-usap lenganku pelan."Tapi diluar terlihat gelap. Bahaya jugakan jika menyetir dalam cuaca seperti ini. Sebaiknya, kita disini saja dulu," jelasku."Tapi aku udah lelah banget, nih! Pengen rebahan!" keluh Arsen seraya kembali duduk di kursinya."Sama sih, aku juga lelah. Apalagi hari ini kita kedatangan tamu spesial -Bu Rena-. Serasa melayani sepuluh orang, iya gak sih?" timpalku seraya ikut duduk di sampingnya."Bener banget. Semoga saja, perutnya tidak meledak karena tadi makan terlalu banyak," celetuk Arsen membuatku langsung terkekeh."Kamu pikir perutnya terbuat dari balon apa? Bisa meledak segala," ucapku.Arsenpun ikut ter
"Sejak kapan kamu kenal hantu?" beoku."La-aapaar ...!"Kali ini aku mendengar dengan jelas apa yang sosok itu ucapkan.Lapar!Apa mungkin dia zombie?Ah, jangan sampai!"Arsen, awas! Nanti kalau dia cekik atau gigit kamu gimana?!" pekikku saat kulihat Arsen masih tak bergeming ditempatnya."Pak Seno!" seru Arsen membuatku langsung melongo.Kutatap sosok bungkuk dengan wajah dan kepala gosong itu dari atas hingga bawah.Jika diingat, postur tubuhnya memang mirip dengan Pak Seno. Akan tetapi, kurasa sebelumnya wajah dan kepalanya tidak gosong seperti sekarang.Apa benar dia Pak Seno?"Kamu yakin?" tanyaku memastikan."Ya, aku sangat yakin!" sahut Arsen mantap."Tapi, kurasa sebelumnya kondisinya tidak separah ini?" gumamku seraya terus memindai sosok itu."Namanya juga luntang lantung di jalan. Apapun bisa terjadi," sahut Arsen seraya menoleh padaku."La-aapaar!"Lagi, sosok itu bersuara. Suaranya terdengar serak dan seolah susah untuk keluar.Dengan cepat, aku langsung menarik tangan
Tak hentinya kulafalkan istighfar berkali-kali saat melihat hal mengerikan di depan mata. Pak Seno nampak sekarat dengan belati yang menancap didadanya. Air yang telah memenuhi bak perlahan mengalir hingga membuat genangan berwarna merah karena tercampur oleh darah yang keluar dari luka Pak Seno.Aku yang panik reflek menghampiri tubuh Pak Seno yang terkulai lemas. Sedangkan Arsen malah sibuk memeriksa ventilasi udara yang katanya sedikit terbuka. Arsen terus mengumpat dan berkata bahwa ada orang yang telah masuk secara paksa ke kamar mandi ini.Sedangkan di samping itu Pak Seno nampak mulai kepayahan. Tangannya seolah berusaha mencabut belati itu dari dadanya. Hingga, dengan tangan yang bergetar, aku memegang belati yang masih tertancap itu untuk membantu mencabutnya."Zea! Apa yang kamu lakukan?!" sentak Arsen yang membuatku seketika menghentikan gerakan tanganku.Arsen menarik tubuhku dengan kasar hingga menjauh dari Pak Seno. Ia membasuh tanga
Kenapa kalian gegabah sekali?" seru Bu Hanum seraya mengusap dada."Arsen, kalau sampai ada yang sadar dengan kematian Pak Seno, lalu kasusnya diselidiki, kalian justru akan semakin terpojok!" sambungnya."Apa yang sudah kalian lakukan malah seolah-olah menunjukkan bahwa kalian memang bersalah. Kenapa tak memilih menghubungi polisi saja dan menceritakan kronologi yang sebenarnya?" tutur Bu Hanum lagi.Aku dan Arsen saling melempar pandangan. Apa yang Bu Hanum ucapkan memang benar. Tapi, kenapa juga Arsen malah mengambil jalan tadi? Lalu, kenapa juga aku malah bertindak ceroboh?Arsen mengusap wajahnya dengan gusar."Semuanya sudah terlanjur, Bu. Lalu, apa yang bisa kulakukan?" ucapnya.Bu Hanum menarik nafas dalam lalu menghembuskan dengan kasar. Kini, bukan hanya aku dan Arsen saja yang diliputi ketakutan dan juga kekhawatiran, tapi ... Bu Hanum juga."Mungkin, saat ini kita cuma bisa berdoa, semoga saja ... semuanya ba
"Sial! Dasar pengecut!"Terdengar umpatan Arsen dari arah depan. Aku dan Bu Hanum segera menghampiri Arsen yang nampaknya baru saja pulang setelah beberapa saat lalu ia berlari mengejar sosok yang telah melemparkan batu ke dalam rumah."Gimana? Ketemu gak?" tanya Bu Hanum seraya menuntun Arsen untuk duduk."Nggak, Bu! Tapi, tadi aku sempet lihat orangnya, hanya saja dia mengenakan penutup wajah jadi aku tak bisa melihat wajahnya. Dan sialnya, dia juga cepat banget hilangnya," tutur Arsen kesal."Apa jangan-jangan ... itu hantu?!" seruku membuat Bu Hanum dan Arsen langsung menoleh padaku."Kamu ngomong apa sih, Ze? Mana ada hantu bisa lari," timpal Arsen."Tapi malam ini aku parno banget. Kita tidur bertiga aja, ya!" ucapku penuh harap.Arsen langsung membulatkan matanya kemudian menggeleng dengan cepat.Ia langsung mendahului Bu Hanum untuk menghampiriku kemudian merengkuh pinggangku dengan erat."Kalau
"Semula kami menduga pelaku pembunuhan adalah pemilik tempat cuci steam. Hanya saja, setelah melihat rekaman cctv yang terletak didepan gedung sekolah, kami malah mencurigai anda," ucap seorang polisi memulai pembicaraan.Aku dan Arsen saling melempar pandang. Sebelumnya, kami sama sekali tidak tau kalau didepan sekolah terdapat kamera cctv."Apa kalian bisa menjelaskan ini?" tanyanya yang memang bertugas untuk mengintrogasi kami.Ia lalu menyodorkan layar laptopnya dan terlihatlah rekaman aku dan Arsen saat sedang menyeret jasad Pak Seno keluar dari resto."Apa yang kalian bawa ini? Apakah itu adalah jasad korban? Jawab dengan jujur!" ucap polisi tersebut seraya menunjuk jasad Pak Seno yang terbungkus kain."Saya bisa jelaskan, pak!" sahut Arsen setelah menarik nafas cukup dalam."Silahkan!""Jadi, yang kami bawa itu sebenarnya memang jasadnya Pak Seno," tutur Arsen. Membuat polisi didepan kami langsung mengernyitkan da
Entah sudah jam berapa sekarang, yang jelas aku sudah dua kali mendengar suara adzan. Kutaksir, mungkin hari sudah menjelang sore. Namun, sampai saat ini Bu Hanum belum juga datang mengunjungi ku. Entah beliau memang belum dihubungi, atau mungkin Bu Hanum memang belum sempat untuk kesini. Hal ini tentunya membuatku semakin sedih saja. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini.Di ruangan dengan ukuran sekitar 3x4 m ini aku tak bisa melihat apapun selain tembok putih polos dan jeruji besi. Satu buah kursi dan meja diluar sana juga kosong. Tak ada satupun polisi yang berjaga. Pintu yang terletak di samping kursi dan meja jaga pun nampak tertutup rapat hingga aku sama sekali tak bisa melihat dunia luar.Kesal!Lagi-lagi aku harus terputus dengan dunia luar."Jangan melawan!"Terdengar suara ribut-ribut diluar sana disusul dengan terbukanya pintu depan. Aku segera mundur beberapa langkah saat kemudian polisi yang membawa seorang wanita itu hend
Sudah genap satu bulan sejak kejadian mengerikan malam itu. Sejauh ini akhirnya aku dan Arsen bisa kembali bernafas lega. Menjalani hari dengan normal tanpa ada gangguan ataupun ancaman.Bang Gavin dan Keyla sendiri nampaknya juga sedang menikmati momen indah mereka sebagai pengantin baru. Ya, ternyata saran Arsen saat di rumah sakit disetujui oleh Bang Gavin. Mereka akhirnya pergi bulan madu tanpa harus membuat ulang pesta.Tadinya Arsen hendak membayarkan tiket untuk mereka sebagai hadiah, namun sepertinya Bang Gavin merasa kasihan pada kondisi keuangan kami yang sedang acak-acakan hingga ia menolaknya dengan halus."Ah, syukurlah, Ze! Akhirnya resto itu bisa kembali lagi ke tangan kita. Lusa, mungkin berkas-berkasnya sudah beres, jadi ... kita bisa kembali mengelolanya," ucap Arsen seraya duduk disampingku."Syukurlah. Semoga kali ini berjalan lancar," sahutku penuh harap.Aku baru saja hendak menyandarkan kepalaku di bahunya, akan tetapi dering ponsel justru membuat Arsen bangkit
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.