Aku memencet tombol remote mobilku dan segera berjalan menuju ke dalam sebuah café yang tidak terlalu jauh dari kantorku. Hari ini Reza mengajakku untuk makan siang bareng sekalian ingin memperkenalkan sebuah café baru milik keponakannya.
Aku yang memang pada dasarnya sedang tidak begitu sibuk, dan tidak ada rencana untuk makan siang bersama Reinard—karena ia sibuk di rumah sakit semenjak telepon semalam, akhirnya menerima permintaan Reza untuk datang apalagi ini tentang opening sebuah tempat makan dan tentu saja aku bisa menikmati semua makanan dengan kata ‘gratis’.
“Waaaaak…..!” suara Reza begitu familiar ketika kakiku baru saja melangkah masuk. Pria yang kini mengenakan kaos coklat itu melambai ke arahku dengan senyum mengembang.
Aku membalas lambaian itu, lalu mempercepat langkah menyusulnya.
“Gila, macet banget tau!” gerutuku sambil meletakkan tas beserta kunci mobil di atas meja. Ku susu
“Kamu beneran enggak mau ikut?” sungutku sambil memasukkan beberapa baju ke dalam koper dengan sedikit membanting-banting. Mataku beralih pada Reinard yang berdiri tidak jauh dariku, menatapku sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil bersandar pada kusen pintu. Sejak tadi ia hanya senyam-senyum sendiri.“Kamu yang bahagia dong, kan mau liburan.” Entah kalimatnya itu mengejek atau memang sebuah dukungan untukku agar aku tidak terus saja menekuk muka seperti ini sejak semalam.“Bahagia, kalau kamu ikut!” aku memasukkan barang terakhirku—satu set peralatan mandi, lalu menutup koper yang berukuran tidak terlalu besar itu rapat-rapat. Rencananya aku dan Rosa hanya akan menginap dua sampai tiga malam, jadi aku tidak perlu membawa banyak barang. Lagipula, jika nanti mood-ku membaik di sana, aku pasti akan kelayapan untuk shopping. Tapi dengan catatan, kalau moodku baik lho ya! Kalau tidak, aku paling cuma akan berguling-g
“Mbak, enggak ikut jalan nih?” tanya Rosa ketika dilihatnya aku cuma berguling-guling saja di kasur semenjak sampai tadi. Bosan sekali hidupku hari ini, mana Reinard belum bisa dihubungi lagi sejak aku mendarat tadi. Membuat mood-ku yang sudah buruk menjadi lebih buruk.Aku menutup majalah fashion yang ku baca lalu mendongak, menatap Rosa yang sudah berganti baju dan berbau wangi.“Lah, udah mau keluar aja? Emang enggak capek?”“Enggak lah. Namanya liburan ya enggak boleh ada kesempatan buat tiduran kayak kain pel enggak guna gitu.” Saat menyebut ‘kain pel enggak guna’ entah kenapa Rosa menatapku dengan penuh ejekan.Aku berdecak sebal. “terus-terusin deh ngeledekin mbak!” aku bangkit dari posisiku kemudian mengambil air putih di atas nakas. Sambil minum aku menatap ke luar jendela hotel. Cuaca memang begitu cerah sore ini, suasana asyik sekali jika bisa keluar lalu jalan-jalan menikmati suasana.
“Reinard?!” aku memekik tertahan. Masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku saat ini.“Kamu beneran Reinard kan?” aku menjelajah tubuhnya dari pundak hingga turun ke pinggang. “Kamu bukan genderuwo yang menyamar ‘kan?!”“Hust!” Reinard mencekal kedua tanganku. “Suaminya jauh-jauh datang, udah capek! Malah difitnah jadi genderuwo. Balik lagi nih….” Ia hendak berbalik, wajahnya terlihat kesal padaku.“Tunggu!” aku menariknya. “Kamu beneran Reinard bukan? Secara suamiku itu lagi kerja di rumah sakit.”Reinard mendengus pasrah.“Gimana bikin istriku ini percaya kalau aku bener suaminya?”“Emm…..” aku pura-pura berfikir. Sedikit jail sama suami sendiri boleh lah ya….“Kalau kamu beneran suami aku, coba sebutin berapa ukuran bra yang biasa aku pakek?!” aku menaikkan alisku dengan s
Aku menatap Reinard yang tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya pria itu menggeleng padaku.“Aku juga tidak kenal Rena.” Katanya kemudian. Ia lalu berpamitan padaku untuk pergi ke minimarket.“Mbak beneran enggak ikut nonton konser?” Rosa mendekat padaku dan mengambil duduk di depanku. Kursi tempat Reinard duduk tadi.Aku menggeleng. “Ya enggak lah…” aku mengambil cangkir kopiku lalu menyesapnya dengan sepenuh hati. “Mbak udah punya rencana sendiri.”“Nyesel lho, enggak bisa lihat oppa-oppa tampan nanti.”Aku tertawa penuh dengan ejekan.“Kamu pikir mbak tertarik?” aku menaikkan salah satu alisku dan menatap Rosa dengan tegas. “Kurang tampan apa sih mas Reinard?!”Rosa mencebik namun tidak membalas kalimatku, mungkin dalam hati ia juga mengamini apa yang aku katakan. Reinard memang benar-benar pria tampan yang akan membuat banyak orang tergi
“Lah, bukannya dokter Reinard cuti dari kemarin?”Seketika jantungku seakan mencelos sampai ke dasar perut ketika mendengar Wina mengatakan hal itu padaku. Apa gadis yang berdiri di depanku ini sedang mencoba mengajakku bercanda? Tapi mustahil seorang Wina punya keinginan bercanda denganku. Secara selama ini kami tidak berada pada satu hubungan yang akrab.Tidak ingin membuat Wina curiga, aku lantas berbalik pergi. Membawa kotak bekal yang aku genggam dengan erat. Dalam perjalanan menuju lift pikiranku mengembara. Kemana suamiku? Apa yang dilakukannya sejak kemarin? Kenapa ia membohongiku?Aku berhenti di depan rumah sakit lantas mendudukkan diriku di sebuah bangku panjang. Kepalaku tiba-tiba pusing dan hatiku merasa was-was. Aku melempar pandanganku ke segala arah, mencoba mencari distraksi. Mataku tertuju pada beberapa mobil yang hilir mudik masuk ke dalam rumah sakit.Tanganku merogoh totebag yang masih menggantung di pundakku. Ku ambil pon
Aku memunguti bajuku yang berserakan di lantai, sebelum akhirnya masuk kamar mandi. Meskipun aku tidak begitu suka melihatnya hari ini, namun aku tetap menuruti ketika ia minta jatahnya. Tugas istri yang utama adalah membahagiakan suami di atas ranjang, dan aku berusaha untuk memberikan itu sebagai istri yang baik.Setelah membersihkan diri dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku bergegas menuju dapur dan menemui suamiku di sana yang sedang memasak omelet, nasi goreng, dan nugget goreng. Jarang-jarang melihat suamiku di dapur, dan sekalinya lihat ia langsung terlihat keren.“Nggak kerja?” tanyaku sambil duduk di kursi meja makan. Aku berusaha untuk mengaburkan nada dingin dari suaraku.Reinard menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menekuni irisan mentimunnya.“Enggak, hari ini mau di rumah seharian sama istriku.” Sahutnya lalu membawa dua piring nasi goreng beserta topping irisan mentimun tadi ke atas meja. Bau nasi goreng itu
“Maksud kamu, Reinard sering enggak masuk kerja gitu?” tanyaku dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin, padahal setiap hari suamiku pasti berangkat pagi-pagi dari rumah dengan stelan formal dan tas kerjanya. Mana mungkin ia sering tidak masuk?“Kalau enggak percaya yaudah.” Wina berbalik, hendak meninggalkanku.“Tunggu!” cegahku. Meskipun gadis di depanku ini sulit dipercaya, namun aku benar-benar butuh dia sekarang.“Jadi dalam satu bulan, ia bisa enggak masuk kerja berapa kali?” tanyaku ketika Wina kembali menghadap padaku.Gadis itu tampak berfikir. “Sering sih….” Sahutnya kemudian. “Apalagi kalau udah dapet telepon. Meskipun ada rapat penting, dokter Reinard pasti membatalkan rapat itu kemudian pergi.”Aku tidak menyahut. Hatiku terlalu sakit menerima fakta mengejutkan ini. Berarti telepon yang sering ia terima setiap waktu itu bukanlah telepo
Aku menunggu Wina dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak aku meninggalkan café Rangga tadi dan melajukan mobilku di jalan raya. Namun karena aku tidak bisa berputar-putar hanya untuk menunggu ponselku berdering, akhirnya aku menghentikan mobilku di pinggir jalan.“Please Win, segera telepon aku.” Aku meremas-remas kemudiku dengan tidak sabar. Berkali-kali ku toleh ponselku yang ku letakkan di kursi samping pengemudi. Namun benda pipih itu masih diam seribu bahasa.Brrrt….brrtt…brrtt….Akhirnya!Aku bernafas lega ketika nomor Wina menari-nari di layar ponselku. Tak mau menunggu, aku langsung mengambil dan menggeser layar hijau di sana.“Win, gimana?!” tanyaku to the point.“Tan, kayaknya beneran ke Bogor deh.” Sahut Wina.Aku mengerutkan alisku. Jantungku menciut, bahkan serasa di remas.“Beneran?”“Iya. Ini udah masuk t