“Reinard?!” aku memekik tertahan. Masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku saat ini.
“Kamu beneran Reinard kan?” aku menjelajah tubuhnya dari pundak hingga turun ke pinggang. “Kamu bukan genderuwo yang menyamar ‘kan?!”
“Hust!” Reinard mencekal kedua tanganku. “Suaminya jauh-jauh datang, udah capek! Malah difitnah jadi genderuwo. Balik lagi nih….” Ia hendak berbalik, wajahnya terlihat kesal padaku.
“Tunggu!” aku menariknya. “Kamu beneran Reinard bukan? Secara suamiku itu lagi kerja di rumah sakit.”
Reinard mendengus pasrah.
“Gimana bikin istriku ini percaya kalau aku bener suaminya?”
“Emm…..” aku pura-pura berfikir. Sedikit jail sama suami sendiri boleh lah ya….
“Kalau kamu beneran suami aku, coba sebutin berapa ukuran bra yang biasa aku pakek?!” aku menaikkan alisku dengan s
Aku menatap Reinard yang tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya pria itu menggeleng padaku.“Aku juga tidak kenal Rena.” Katanya kemudian. Ia lalu berpamitan padaku untuk pergi ke minimarket.“Mbak beneran enggak ikut nonton konser?” Rosa mendekat padaku dan mengambil duduk di depanku. Kursi tempat Reinard duduk tadi.Aku menggeleng. “Ya enggak lah…” aku mengambil cangkir kopiku lalu menyesapnya dengan sepenuh hati. “Mbak udah punya rencana sendiri.”“Nyesel lho, enggak bisa lihat oppa-oppa tampan nanti.”Aku tertawa penuh dengan ejekan.“Kamu pikir mbak tertarik?” aku menaikkan salah satu alisku dan menatap Rosa dengan tegas. “Kurang tampan apa sih mas Reinard?!”Rosa mencebik namun tidak membalas kalimatku, mungkin dalam hati ia juga mengamini apa yang aku katakan. Reinard memang benar-benar pria tampan yang akan membuat banyak orang tergi
“Lah, bukannya dokter Reinard cuti dari kemarin?”Seketika jantungku seakan mencelos sampai ke dasar perut ketika mendengar Wina mengatakan hal itu padaku. Apa gadis yang berdiri di depanku ini sedang mencoba mengajakku bercanda? Tapi mustahil seorang Wina punya keinginan bercanda denganku. Secara selama ini kami tidak berada pada satu hubungan yang akrab.Tidak ingin membuat Wina curiga, aku lantas berbalik pergi. Membawa kotak bekal yang aku genggam dengan erat. Dalam perjalanan menuju lift pikiranku mengembara. Kemana suamiku? Apa yang dilakukannya sejak kemarin? Kenapa ia membohongiku?Aku berhenti di depan rumah sakit lantas mendudukkan diriku di sebuah bangku panjang. Kepalaku tiba-tiba pusing dan hatiku merasa was-was. Aku melempar pandanganku ke segala arah, mencoba mencari distraksi. Mataku tertuju pada beberapa mobil yang hilir mudik masuk ke dalam rumah sakit.Tanganku merogoh totebag yang masih menggantung di pundakku. Ku ambil pon
Aku memunguti bajuku yang berserakan di lantai, sebelum akhirnya masuk kamar mandi. Meskipun aku tidak begitu suka melihatnya hari ini, namun aku tetap menuruti ketika ia minta jatahnya. Tugas istri yang utama adalah membahagiakan suami di atas ranjang, dan aku berusaha untuk memberikan itu sebagai istri yang baik.Setelah membersihkan diri dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku bergegas menuju dapur dan menemui suamiku di sana yang sedang memasak omelet, nasi goreng, dan nugget goreng. Jarang-jarang melihat suamiku di dapur, dan sekalinya lihat ia langsung terlihat keren.“Nggak kerja?” tanyaku sambil duduk di kursi meja makan. Aku berusaha untuk mengaburkan nada dingin dari suaraku.Reinard menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menekuni irisan mentimunnya.“Enggak, hari ini mau di rumah seharian sama istriku.” Sahutnya lalu membawa dua piring nasi goreng beserta topping irisan mentimun tadi ke atas meja. Bau nasi goreng itu
“Maksud kamu, Reinard sering enggak masuk kerja gitu?” tanyaku dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin, padahal setiap hari suamiku pasti berangkat pagi-pagi dari rumah dengan stelan formal dan tas kerjanya. Mana mungkin ia sering tidak masuk?“Kalau enggak percaya yaudah.” Wina berbalik, hendak meninggalkanku.“Tunggu!” cegahku. Meskipun gadis di depanku ini sulit dipercaya, namun aku benar-benar butuh dia sekarang.“Jadi dalam satu bulan, ia bisa enggak masuk kerja berapa kali?” tanyaku ketika Wina kembali menghadap padaku.Gadis itu tampak berfikir. “Sering sih….” Sahutnya kemudian. “Apalagi kalau udah dapet telepon. Meskipun ada rapat penting, dokter Reinard pasti membatalkan rapat itu kemudian pergi.”Aku tidak menyahut. Hatiku terlalu sakit menerima fakta mengejutkan ini. Berarti telepon yang sering ia terima setiap waktu itu bukanlah telepo
Aku menunggu Wina dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak aku meninggalkan café Rangga tadi dan melajukan mobilku di jalan raya. Namun karena aku tidak bisa berputar-putar hanya untuk menunggu ponselku berdering, akhirnya aku menghentikan mobilku di pinggir jalan.“Please Win, segera telepon aku.” Aku meremas-remas kemudiku dengan tidak sabar. Berkali-kali ku toleh ponselku yang ku letakkan di kursi samping pengemudi. Namun benda pipih itu masih diam seribu bahasa.Brrrt….brrtt…brrtt….Akhirnya!Aku bernafas lega ketika nomor Wina menari-nari di layar ponselku. Tak mau menunggu, aku langsung mengambil dan menggeser layar hijau di sana.“Win, gimana?!” tanyaku to the point.“Tan, kayaknya beneran ke Bogor deh.” Sahut Wina.Aku mengerutkan alisku. Jantungku menciut, bahkan serasa di remas.“Beneran?”“Iya. Ini udah masuk t
Aku meninggigit bibir bawahku dengan keras, mencari cara terbaik agar tangisanku tidak pecah di lorong rumah sakit ini. Kini aku sudah berdiri, namun lututku bergetar. Hatiku terasa dicabik-cabik dengan sebilah pisau tajam. Mengoyaknya begitu dalam sampai aku kehabisan nafas.“Mbak...ngapain disitu? Yok, kita ikuti.” Suara Wina menyentak lamunanku. Mataku kembali fokus pada Reinard dan wanita itu yang sudah berbelok. Aku ragu dengan apa yang ingin aku lakukan sekarang. Bagaimanapun juga, dia suamiku yang sedang bersama dengan perempuan lain, seusia kurang lebih sama denganku, dan mereka begitu akrab. Bahkan aku bisa melihat senyum Reinard mengembang ketika mereka asyik dengan obrolan. Rupanya selain denganku, Reinard bisa sehangat itu. aku pikir ia akan bersikap dingin dengan wanita selain aku.Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku, namun di hati kecilku yang lain aku merasa jika apa yang kulakukan ada sebuah kesalahan yang akan membuat hubunganku dengan s
Hidup dengan seorang pria yang tidak bisa selalu berkata jujur itu memang sangat menyiksa. Apalagi itu adalah seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingin bertanya padanya tentang banyak hal, tentang apa yang kamu kerjakan di Bogor? Siapa wanita itu? apakah hubunganmu dengannya? Kalimat-kalimat itu selalu ingin saja keluar dari mulutku ketika aku bersama Reinard, meskipun pada akhirnya hanya menggantung di rongga mulutku dan tak bisa aku katakan. Aku terlalu takut ia marah padaku lalu meninggalkanku.“Lo ngapain ninggalin mobil di Bogor? Rumah sakit lagi.” Tanya Arian waktu itu ketika ia mengembalikan kunci mobilku. Aku sedang asyik menatap lalu lalang kendaraan dari jendela kantor. Pekerjaan yang sia-sia, namun begitu asyik ketika masalah mendera seperti ini.“Lo sakit ya Jul?” pria itu mendekat ke arahku, dan menarik kursiku hingga menghadap ke arahnya. “Busyeeet lo mirip mayat hidup Jul!” ia ternganga melihat wajahku yang mungkin t
“Lo kenapa sih kalau kesini enggak pernah kelihatan bahagia?” Rangga bersidekap di depanku dengan alis terangkat. “Gue jadi curiga, lo inget cafe ini kalau pas pikiran lo suntuk doang. Selebihnya lo lupa kan?”Aku mendongak menatapnya. Bukan karena kesal dengan apa yang ia katakan, namun dalam hati membenarkan semua kalimatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri, setiap kali merasa suntuk, sekedar duduk dan minum kopi di cafe ini cukup membuatku terhibur.“Akh, Cuma perasaan lo aja kali.” Aku mengibaskan tangan. “Gue mau espresso dong.” Kataku kemudian.“Untung ya, lo kesini pesen. Jadi gue anggep pelanggan. Coba kalau Cuma duduk diem aja.” Sahur Rangga sambil berlalu dan aku hanya senyam-senyum saja karena tahu kalau dia sedang mengajakku bercanda.Tak berselang lama, Rangga datang membawa baki berisi dua gelas espresso dan sepotong tiramisu.“Gue enggak minta tiramisu lho, dan ju