“Lah, bukannya dokter Reinard cuti dari kemarin?”
Seketika jantungku seakan mencelos sampai ke dasar perut ketika mendengar Wina mengatakan hal itu padaku. Apa gadis yang berdiri di depanku ini sedang mencoba mengajakku bercanda? Tapi mustahil seorang Wina punya keinginan bercanda denganku. Secara selama ini kami tidak berada pada satu hubungan yang akrab.
Tidak ingin membuat Wina curiga, aku lantas berbalik pergi. Membawa kotak bekal yang aku genggam dengan erat. Dalam perjalanan menuju lift pikiranku mengembara. Kemana suamiku? Apa yang dilakukannya sejak kemarin? Kenapa ia membohongiku?
Aku berhenti di depan rumah sakit lantas mendudukkan diriku di sebuah bangku panjang. Kepalaku tiba-tiba pusing dan hatiku merasa was-was. Aku melempar pandanganku ke segala arah, mencoba mencari distraksi. Mataku tertuju pada beberapa mobil yang hilir mudik masuk ke dalam rumah sakit.
Tanganku merogoh totebag yang masih menggantung di pundakku. Ku ambil pon
Aku memunguti bajuku yang berserakan di lantai, sebelum akhirnya masuk kamar mandi. Meskipun aku tidak begitu suka melihatnya hari ini, namun aku tetap menuruti ketika ia minta jatahnya. Tugas istri yang utama adalah membahagiakan suami di atas ranjang, dan aku berusaha untuk memberikan itu sebagai istri yang baik.Setelah membersihkan diri dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku bergegas menuju dapur dan menemui suamiku di sana yang sedang memasak omelet, nasi goreng, dan nugget goreng. Jarang-jarang melihat suamiku di dapur, dan sekalinya lihat ia langsung terlihat keren.“Nggak kerja?” tanyaku sambil duduk di kursi meja makan. Aku berusaha untuk mengaburkan nada dingin dari suaraku.Reinard menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menekuni irisan mentimunnya.“Enggak, hari ini mau di rumah seharian sama istriku.” Sahutnya lalu membawa dua piring nasi goreng beserta topping irisan mentimun tadi ke atas meja. Bau nasi goreng itu
“Maksud kamu, Reinard sering enggak masuk kerja gitu?” tanyaku dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin, padahal setiap hari suamiku pasti berangkat pagi-pagi dari rumah dengan stelan formal dan tas kerjanya. Mana mungkin ia sering tidak masuk?“Kalau enggak percaya yaudah.” Wina berbalik, hendak meninggalkanku.“Tunggu!” cegahku. Meskipun gadis di depanku ini sulit dipercaya, namun aku benar-benar butuh dia sekarang.“Jadi dalam satu bulan, ia bisa enggak masuk kerja berapa kali?” tanyaku ketika Wina kembali menghadap padaku.Gadis itu tampak berfikir. “Sering sih….” Sahutnya kemudian. “Apalagi kalau udah dapet telepon. Meskipun ada rapat penting, dokter Reinard pasti membatalkan rapat itu kemudian pergi.”Aku tidak menyahut. Hatiku terlalu sakit menerima fakta mengejutkan ini. Berarti telepon yang sering ia terima setiap waktu itu bukanlah telepo
Aku menunggu Wina dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak aku meninggalkan café Rangga tadi dan melajukan mobilku di jalan raya. Namun karena aku tidak bisa berputar-putar hanya untuk menunggu ponselku berdering, akhirnya aku menghentikan mobilku di pinggir jalan.“Please Win, segera telepon aku.” Aku meremas-remas kemudiku dengan tidak sabar. Berkali-kali ku toleh ponselku yang ku letakkan di kursi samping pengemudi. Namun benda pipih itu masih diam seribu bahasa.Brrrt….brrtt…brrtt….Akhirnya!Aku bernafas lega ketika nomor Wina menari-nari di layar ponselku. Tak mau menunggu, aku langsung mengambil dan menggeser layar hijau di sana.“Win, gimana?!” tanyaku to the point.“Tan, kayaknya beneran ke Bogor deh.” Sahut Wina.Aku mengerutkan alisku. Jantungku menciut, bahkan serasa di remas.“Beneran?”“Iya. Ini udah masuk t
Aku meninggigit bibir bawahku dengan keras, mencari cara terbaik agar tangisanku tidak pecah di lorong rumah sakit ini. Kini aku sudah berdiri, namun lututku bergetar. Hatiku terasa dicabik-cabik dengan sebilah pisau tajam. Mengoyaknya begitu dalam sampai aku kehabisan nafas.“Mbak...ngapain disitu? Yok, kita ikuti.” Suara Wina menyentak lamunanku. Mataku kembali fokus pada Reinard dan wanita itu yang sudah berbelok. Aku ragu dengan apa yang ingin aku lakukan sekarang. Bagaimanapun juga, dia suamiku yang sedang bersama dengan perempuan lain, seusia kurang lebih sama denganku, dan mereka begitu akrab. Bahkan aku bisa melihat senyum Reinard mengembang ketika mereka asyik dengan obrolan. Rupanya selain denganku, Reinard bisa sehangat itu. aku pikir ia akan bersikap dingin dengan wanita selain aku.Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku, namun di hati kecilku yang lain aku merasa jika apa yang kulakukan ada sebuah kesalahan yang akan membuat hubunganku dengan s
Hidup dengan seorang pria yang tidak bisa selalu berkata jujur itu memang sangat menyiksa. Apalagi itu adalah seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingin bertanya padanya tentang banyak hal, tentang apa yang kamu kerjakan di Bogor? Siapa wanita itu? apakah hubunganmu dengannya? Kalimat-kalimat itu selalu ingin saja keluar dari mulutku ketika aku bersama Reinard, meskipun pada akhirnya hanya menggantung di rongga mulutku dan tak bisa aku katakan. Aku terlalu takut ia marah padaku lalu meninggalkanku.“Lo ngapain ninggalin mobil di Bogor? Rumah sakit lagi.” Tanya Arian waktu itu ketika ia mengembalikan kunci mobilku. Aku sedang asyik menatap lalu lalang kendaraan dari jendela kantor. Pekerjaan yang sia-sia, namun begitu asyik ketika masalah mendera seperti ini.“Lo sakit ya Jul?” pria itu mendekat ke arahku, dan menarik kursiku hingga menghadap ke arahnya. “Busyeeet lo mirip mayat hidup Jul!” ia ternganga melihat wajahku yang mungkin t
“Lo kenapa sih kalau kesini enggak pernah kelihatan bahagia?” Rangga bersidekap di depanku dengan alis terangkat. “Gue jadi curiga, lo inget cafe ini kalau pas pikiran lo suntuk doang. Selebihnya lo lupa kan?”Aku mendongak menatapnya. Bukan karena kesal dengan apa yang ia katakan, namun dalam hati membenarkan semua kalimatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri, setiap kali merasa suntuk, sekedar duduk dan minum kopi di cafe ini cukup membuatku terhibur.“Akh, Cuma perasaan lo aja kali.” Aku mengibaskan tangan. “Gue mau espresso dong.” Kataku kemudian.“Untung ya, lo kesini pesen. Jadi gue anggep pelanggan. Coba kalau Cuma duduk diem aja.” Sahur Rangga sambil berlalu dan aku hanya senyam-senyum saja karena tahu kalau dia sedang mengajakku bercanda.Tak berselang lama, Rangga datang membawa baki berisi dua gelas espresso dan sepotong tiramisu.“Gue enggak minta tiramisu lho, dan ju
Aku lupa dengan lelah dan penat yang kurasakan beberapa waktu yang lalu. Kini dengan hati yang terbakar dan perasaan yang tak bisa kujelaskan, aku memacu mobilku menuju Bogor. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, namun aku tidak peduli. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Reinard sudah tidak ada di rumah sakit sejak sejam yang lalu, aku semakin yakin bahwa suamiku tersebut pergi ke Bogor untuk menemui wanita di atas kursi roda itu.Aku memarkir kendaraanku di depan rumah sakit. Setelah menurunkan hand rem, aku menghela nafas lalu menyandarkan tubuhku. Pandanganku tertuju ke depan, pada gelap yang mulai merangkak naik, lampu-lampu rumah sakit yang mulai berpendar di segala penjuru dan gerimis yang menimpa kaca depan mobilku. Entah bagaimana rasanya, namun kini perasaanku hampa. Apa yang aku lakukan disini? Benarkah apa yang aku lakukan? Haruskah aku kembali saja dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membiarkan Reinard dengan rahasianya? Tapi sulit. Hatiku terlalu
Aku menatap suamiku dengan hampa. sekarang ini, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Wanita itu bernama Rena, salah satu penghuni panti asuhan yang dulu sempat tinggal bersama Reinard. Rena memiliki gangguan pada jantungnya semenjak ia kecil, yang mengharuskan ia terus menerus tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama. Aku tahu, bahwa perasaan mereka sebagai sahabat, apalagi sejak mereka kecil begitu kuat ikatannya. Namun apakah sampai harus berbohong kepadaku, sampai harus mengesampingkan aku sebagai istrinya?“Entahlah, kamu tidak bisa membuatku berfikir realistis.” Aku menumpukan kedua siku di atas meja, lalu dengan gerakan spotan menyisir rambutku ke belakang dengan kedua tanganku. “Apa salahnya jujur kepadaku selama ini Rei?” kepalaku berdenyut hebat. Aku cemburu, marah dan juga kecewa. Semua hal itu bercampur menjadi satu di hatiku, dan sensasinya sungguh luar biasa.“Maafkan aku Jul. Aku pikir kamu tidak akan per