Ruang rapat OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Semua anggota hadir, termasuk aku, meski jelas-jelas aku bukan bagian dari mereka. Duduk di kursi tamu, aku mencoba menahan diri untuk tidak melempar pandangan sinis ke dua orang yang berdiri di depan.Mereka adalah para anggota OSIS yang selama ini diam-diam menjadi perundung, dan hari ini mereka dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban.Ketua OSIS, Abizar, duduk di ujung meja. Tatapannya tetap tenang, tapi auranya memancarkan tekanan. Dia melipat tangan di depan dada, menunggu penjelasan dari kedua pelaku.Mereka bukan orang asing bagiku. Aku tahu persis bahwa mereka adalah teman dekat Keyla, orang yang selama ini sering mencibirku secara halus di balik senyumnya yang manis. Juga orang yang pernah membuat masalah denganku hanya karena melihat aku dan Abizar bersama.Tapi yang mengejutkan, Keyla duduk diam di sudut ruangan, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membela kedua temannya. Dia malah mengalihkan pandangan, mencob
Hari itu, aula sekolah penuh dengan bisik-bisik pelajar yang penasaran. Tidak setiap waktu pihak OSIS menggelar rapat terbuka seperti ini. Aku menyeringai puas menantikan keputusan. Di atas panggung, Abizar berdiri tegap, wajahnya setenang biasanya. Di sebelahnya, kepala sekolah dan pembina OSIS menatap serius. Di tengah ruangan, Dea dan Riana berdiri dengan wajah tertunduk, jelas merasa malu. Di belakang mereka juga ada beberapa siswa yang terlibat yang tak bisa berhenti gemetaran. Sebagian besar siswa yang hadir mungkin tidak tahu detailnya, tetapi cukup jelas bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Apalagi saat Kepala Sekolah maju dengan wajah meradang namun tetap menjaga wibawanya. “Setelah mempertimbangkan bukti yang ada,” suara kepala sekolah bergema melalui mikrofon, “kami memutuskan untuk menskors beberapa siswa ini karena telah melakukan perundungan di sekolah. Kami juga akan mencopot Dea dan Riana dari posisi mereka di OSIS, berlaku segera. Kalian telah melanggar ko
Aku berusaha menenangkan diriku setiap kali melangkah ke sekolah. Aku tahu, semua yang terjadi akan sulit untuk dicegah. Ancaman Keyla yang tak main-main membuatku harus ekstra hati-hati saat di sekolah.Setiap kali aku melihat Abizar, perasaan cemas itu kembali datang. Jika kami terlihat bersama, apalagi di depan banyak orang, bisa saja rumor yang semakin liar itu semakin sulit dikendalikan.Karena itu, aku mulai menghindar. Setiap jam istirahat, aku memilih tempat yang jauh dari keramaian, perpustakaan misalnya, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan. Namun, sepertinya keberuntunganku tidak berpihak.“Keyra!" Suara Abizar terdengar memanggil dari belakang.Tubuhku menegang. Perpustakaan yang biasanya di am istirahat sepi, malah bertemu dengan orang yang paling tak ingin ku temui di sekolah ."Jangan pedulikan dia, Keyra!" kataku pada diriku sendiri.Aku menunduk mencoba fokus pada buku yang sedang ku baca. Berpura-pura tak mendengar panggilan dari Abizar barusan. Berharap pemu
Siang itu, aku baru saja keluar dari kelas ketika aku melihat siluet yang sangat familier di lorong sekolah. Tingginya, cara dia berdiri dengan tangan diselipkan di saku, semua itu tidak mungkin aku salahkan. "Kak Rangga!" Aku memanggil dengan semangat seolah telah melupakan kejadian yang menimpaku di kelas tadi.Kak Rangga menatapku sambil tersenyum. Dia melambaikan tangan memanggilku. Aku tertegun sejenak, kemudian mempercepat langkahku menuju tempatnya. “Kak! Ngapain di sini?” tanyaku, setengah berbisik, takut menarik perhatian terlalu banyak.Kak Rangga menoleh, tersenyum kecil seperti biasa. “Kakak dengar kemarin kamu terlibat kasus dengan OSIS. Kakak penasaran bagaimana kamu menangani Abidzar sampai setuju, hmm?" kata Kak Rangga dengan nada menggoda. Aku tersenyum malu karena ternyata kasus itu sudah terdengar di telinga Kak Rangga. "Itu, kebetulan yang mereka ganggu salah satu temanku. Makanya aku tidak terima," jelasku. "Bagus! Kakak bangga padamu." Kak Rangga mengelus puc
Setelah sekolah berakhir, aku berjalan menuju tempat parkir, hanya untuk menemukan bahwa ban motorku kempes. Satu-satunya yang bisa aku pikirkan adalah Keyla dan teman-temannya, yang pasti ada di balik kejadian ini.Aku tidak sembarang menuduh. Serius! Soalnya tadi aku sempat melihat dari kejauhan ada seseorang yang berjongkok di sekitar motorku. Saat ingin ku tegur, dia sudah lari masuk ke mobil Keyla yang sudah siap keluar parkiran. "Mungkin dia ingin membalas kejadian tadi siang. Astaga!" Aku mendesah frustasi dan mulai mendorong motor itu mencari bengkel terdekat. Beberapa teman yang mengenalku mencoba memberikan bantuan, namun ku tolak karena tak ingin merepotkan mereka. Sayangnya, keputusanku malah menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Tak ada bengkel yang dekat dengan sekolahku. Aku sudah memeriksanya di Google maps, yang paling dekat setidaknya berjarak 3 Km. Saat ingin memeriksa lagi, ponselku malah mati lantaran kehabisan baterai. Aku benar-benar ingin menangis sekarang
Aku hanya bisa diam, menggigit bibirku cemas sambil mengikuti langkah Kak Rangga yang sudah berjalan keluar rumah. Abidzar, yang tadinya seperti malas berurusan, kini berjalan di belakang Kak Rangga dengan ekspresi datar. Aku memukul pelan lengannya,. "Ngapain ikut, sih? Sana masuk lagi. Kak Rangga masih marah padamu," ujarku sedikit berbisik. "Terserah ku! Buat apa kamu ngatur," balasnya sangat jutek. Aku mendelik galak melihat responnya begitu. Padahal aku sedang khawatir jikalau Kak Rangga marah seperti tadi. Jangan sampai terjadi perang dunia antar dua bersaudara itu. 'Dasar cowok tidak peka!' umpatku dalam hati.Kami akan pergi dengan mobil Kak Rangga. Aku buru-buru mengambil kursi depan agar bisa memisahkan Abizar dari Kak Rangga yang saat ini memegang kendali sopir. Dahi Abizar nampak berkerut tak suka dengan tindakanku. Meski kesal, dia tetap membiarkanku menduduki tempat itu. Sementara Abizar duduk di kursi tengah. Saat Kak Rangga akan menyalakan mesin. Dia menatap taja
Motorku di bawa ke bengkel terdekat. Kami menunggu sekalian agar motor itu bisa langsung dibawa pulang. Aku menunggu sendirian karena dua Kakak Beradik Bimantara tadi pamit ingin mencari makanan. Namun ini sudah hampir 30 menit. Perutku sudah keroncongan karena belum sempat makan. Ah, kami bahkan belum sempat duduk di rumah saat pulang sekolah tadi. Tega sekali mereka meninggalkan ku sebagai jaminan ke Tukang Bengkel tanda bahwa kami benar-benar menunggu. Tak lama kemudian, aku melihat mobil Kak Rangga datang. Mereka keluar dengan membawa beberapa bungkus makanan dan minuman. "Sudah lapar, Dek?" tanya Kak Rangga. "Lapar sekali!" balasku tanpa malu karena asam lambungku sudah naik selama menunggu mereka. Kak Rangga terkekeh pelan. Dia mengambil salah satu burger dan memberikannya padaku. Mataku langsung berbinar. Bau burger itu membuat cacing-cacing di perutku kembali meronta minta di isi. "Makasih Kak!" ujarku sembari menerima burger itu. "Sama-sama! Makan pelan-pelan. Kalau ma
Aku duduk di bangku belakang sekolah, mencoba menenangkan diri di bawah rindang pohon. Angin siang bertiup lembut, tapi hatiku tetap bergemuruh. Pikiran itu masih menghantuiku. 'Apakah Abizar sudah memeriksa CCTV? Bagaimana jika dia tahu siapa pelakunya? Apa yang akan terjadi setelah itu?' Sangking khawatirnya, aku sampai lari bersembunyi ke halaman belakang ini. Aku sengaja memisahkan diri dari teman-teman sekelas ku agar sejenak dapat menenangkan pikiranku. Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Aku mendongak, dan di depanku, berdiri Abizar. Wajahnya dingin, nyaris tanpa ekspresi. Sontak aku berdiri. Tak menyangka dia bisa menemukan diriku di sini. "Kenapa kamu-" "Aku sudah memeriksa CCTV parkiran tadi pagi," ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Jantungku mencelos. Kepanikan menyeruak. 'Dia beneran memeriksa CCTV?' Aku mencoba tetap tenang, meski telapak tanganku mulai basah oleh keringat dingin. "Kau… kau sudah memeriksa?" tanyaku, suaraku bergetar. Dia mengangguk pelan. Tat
Setelah sedikit panik dan mencoba mengeringkan gaun dengan bantuan Giselle dan Ririn, aku akhirnya memutuskan untuk tetap tampil meski gaunku belum sepenuhnya kering dan noda kemerahan akibat minuman yang tumpah semakin menyebar.“Nggak apa-apa, yang penting nyanyi dari hati. Penonton nggak akan peduli soal baju kalau penampilan kita bagus,” ucap Giselle dengan senyum menyemangati.“Nggak terlalu keliatan basah, kok. Aman udah!” imbuh Ririn.Aku mengangguk, mencoba meyakinkan diriku. Kevin sudah menunggu di belakang panggung dengan gitar di tangannya. Saat dia melihatku datang, dia sempat terdiam, menatap noda samar di gaunku. “Apa itu kena minuman soda?” tebak Kevin saat melihat warna merah yang hampir memudar di gaunku. “Heheh... iya Vin. Aku ceroboh tadi. Maaf ya!” ujarku merasa bersalah.Tanpa aku duga, Kevin pergi meninggalkanku. Saat ku pikir dia marah karena gaun itu telah ternoda, Kevin kembali dengan membawa sekaleng soda warna merah. Dia membukanya dan menyiramkan sedikit
Hari itu, suasana sekolah lebih meriah dari biasanya. Panggung besar berdiri megah di lapangan, dihiasi balon dan bendera warna-warni. Katanya untuk perayaan HUT sekolah ini, kami akan diberikan jam bebas selama 3 hari untuk berbagai acara. Hari pertama di isi dengan lomba. Semua orang bersemangat mengikuti berbagai lomba yang diadakan. Aku sendiri mendaftar di cabang atletik dan voli.Lomba lari estafet berlangsung lebih dulu. Bersama tiga teman sekelasku, aku berhasil membawa kelas kami menjadi juara pertama. Rasanya luar biasa mendengar teman-teman bersorak di pinggir lapangan saat aku melintasi garis finish.Namun, kemenangan itu hanya pembukaan dari tantangan sebenarnya, pertandingan voli melawan kelas Keyla di babak semi Final. Meski Keyla tak berpartisipasi, namun dengan hubungan kami, siswa lain menjadi bersemangat. Ingin tahu manakah yang akan menang dia natara dua saudara kembar itu. “Kita harus menang,” kataku pada timku saat bersiap di sisi lapangan. “Bukan cuma untuk ke
Setelah berpikir lama mengenai berkas-berkas Abizar, aku memberanikan diri mengirim pesan singkat padanya. Syukurnya di sekolah ini membawa ponsel adalah hal yang lumrah selama tidak menganggu selama jam mata pelajaran. Aku awalnya mengatakan kepada Abizar akan menaruh dokumen itu di suatu tempat, lalu nanti dia bisa mengambilnya. Namun balasan Abizar malah ‘nyelekit’.[Ceroboh sekali! Berkas-berkas itu berisi proposal yang sudah disetujui Kepala Sekolah. Jika hilang, apa kamu mampu menanggung akibatnya?!] _Abizar Es Batu_Pelipisku berkedut saat membaca pesan darinya. Dapat ku bayangkan wajah kaku Abizar yang mengomel sambil berkacak pinggang kepadaku. Aku segera mengetikkan pesan balasan untuknya.[Kalau begitu aku akan titipkan kepada temanku supaya diberikan padamu.] _Keyra_Namun Abizar mengirimkan peringatan sekaligus ancaman lain.[Teman siapa? Apakah ada di antara anak IPS yang bisa dipercaya? Berkas itu untuk acara HUT sekolah. Tidak diperbolehkan bocor sebelum OSIS membahas
Aku duduk di gazebo kediaman Bimantara, menatap lembaran tugas sastra Inggris yang masih terbengkalai di depanku. Sudah beberapa kali aku membaca kalimat yang sama, namun tetap saja pikiranku tak bisa fokus. Rumor yang terus berkembang di sekolah membuatku lupa dengan tugas ini. Padahal besok jadwal Sastra Inggris dan aku belum menyelesaikan barang 1 paragraf dari tugas. Di tengah kebingunganku, aku mendengar suara langkah kaki mendekat, diikuti oleh suara lembut Tante Sandra. "Tugasmu masih belum selesai, Keyra?" tanyanya dengan nada ringan, ddi tangannya ada segelas minuman herbal. Aku mengangguk, sedikit canggung, sambil mencoba tersenyum. "Iya, Ma. Tugasnya memang sedikit rumit." Tante Sandra duduk di sebelahku, menatap tugas sastra yang kubawa. Kami berbincang sejenak tentang pekerjaan sekolahku, membahas apa yang sulit dan bagaimana cara menyelesaikannya. Tapi saat itu, suara langkah kaki Abizar terdengar dari arah halaman. Tante Sandra tersenyum lebar dan memangg
Aku masih di taman belakang sekolah, mencoba menenangkan diri setelah semua keributan tadi pagi. Namun, pikiran tentang foto itu terus menghantuiku. Siapa yang sebenarnya tega melakukan ini? Meski aku tahu jawabannya, aku belum berani mengatakannya secara langsung.“Cukup dengan tidak mengakui rumor itu. Yang lain pasti tidak akan percaya semudah itu juga. Ayolah Keyra!” Aku bermonolog sendiri untuk menyemangati hatiku yang goyah.Seharusnya aku tak lari bersembunyi seperti sekarang jika ingin membantah rumor yang dituduhkan. Akan tetapi, aku belum ada tenaga untuk kembali berpura-pura ceria.Langkah kaki terdengar mendekat, aku buru-buru menyembunyikan menghapus air mata di pelupuk mataku. Tak lama kemudian Giselle serta Ririn muncul di depanku. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran.“Keyra, kamu gak apa-apa?” Giselle duduk di sampingku, menatapku dengan cemas.Aku menghela napas, mencoba tersenyum meski rasanya sulit. “Aku baik-baik saja, Gis. Hanya… aku harus melakukan sesuatu soa
Hari ini aku sampai di sekolah lebih siang dari biasanya karena tadi malam sulit untuk mataku terpejam. Syukur Tante Sandra datang menggedor pintuku saat waktu sarapan tiba. Jika tidak aku pasti masih terlelap sampai tengah hari.Setelah aku turun dari motor, aku merasa suasananya sedikit berbeda. Ada bisikan-bisikan yang tak biasa dan tatapan aneh yang membuatku tidak nyaman.Saat aku melangkah keluar parkiran, banyak siswa yang menunjuk-nunjuk ke arahku sambil bergosip. Ketika kau ingin mendekat, mereka buru-buru menghindar seolah tak ingin bersentuhan denganku. Aku berdecak pelan lantaran gerombolan para siswa itu menganggu. Saat memasuki koridor, aku mendengar dengan jelas apa yang mereka gosipkan. "Itu dia, Keyra. Kau tahu rumor tentang dia?""Tentu saja. Dia menikah dengan pria buruk rupa. Bayangkan, apa yang dia pikirkan?""Aku dengar pria itu seperti sampah, tak punya masa depan. Benar-benar memalukan."Langkahku terhenti. Kata-kata mereka seperti tamparan di wajahku. Aku m
Aku duduk di bangku belakang sekolah, mencoba menenangkan diri di bawah rindang pohon. Angin siang bertiup lembut, tapi hatiku tetap bergemuruh. Pikiran itu masih menghantuiku. 'Apakah Abizar sudah memeriksa CCTV? Bagaimana jika dia tahu siapa pelakunya? Apa yang akan terjadi setelah itu?' Sangking khawatirnya, aku sampai lari bersembunyi ke halaman belakang ini. Aku sengaja memisahkan diri dari teman-teman sekelas ku agar sejenak dapat menenangkan pikiranku. Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Aku mendongak, dan di depanku, berdiri Abizar. Wajahnya dingin, nyaris tanpa ekspresi. Sontak aku berdiri. Tak menyangka dia bisa menemukan diriku di sini. "Kenapa kamu-" "Aku sudah memeriksa CCTV parkiran tadi pagi," ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Jantungku mencelos. Kepanikan menyeruak. 'Dia beneran memeriksa CCTV?' Aku mencoba tetap tenang, meski telapak tanganku mulai basah oleh keringat dingin. "Kau… kau sudah memeriksa?" tanyaku, suaraku bergetar. Dia mengangguk pelan. Tat
Motorku di bawa ke bengkel terdekat. Kami menunggu sekalian agar motor itu bisa langsung dibawa pulang. Aku menunggu sendirian karena dua Kakak Beradik Bimantara tadi pamit ingin mencari makanan. Namun ini sudah hampir 30 menit. Perutku sudah keroncongan karena belum sempat makan. Ah, kami bahkan belum sempat duduk di rumah saat pulang sekolah tadi. Tega sekali mereka meninggalkan ku sebagai jaminan ke Tukang Bengkel tanda bahwa kami benar-benar menunggu. Tak lama kemudian, aku melihat mobil Kak Rangga datang. Mereka keluar dengan membawa beberapa bungkus makanan dan minuman. "Sudah lapar, Dek?" tanya Kak Rangga. "Lapar sekali!" balasku tanpa malu karena asam lambungku sudah naik selama menunggu mereka. Kak Rangga terkekeh pelan. Dia mengambil salah satu burger dan memberikannya padaku. Mataku langsung berbinar. Bau burger itu membuat cacing-cacing di perutku kembali meronta minta di isi. "Makasih Kak!" ujarku sembari menerima burger itu. "Sama-sama! Makan pelan-pelan. Kalau ma
Aku hanya bisa diam, menggigit bibirku cemas sambil mengikuti langkah Kak Rangga yang sudah berjalan keluar rumah. Abidzar, yang tadinya seperti malas berurusan, kini berjalan di belakang Kak Rangga dengan ekspresi datar. Aku memukul pelan lengannya,. "Ngapain ikut, sih? Sana masuk lagi. Kak Rangga masih marah padamu," ujarku sedikit berbisik. "Terserah ku! Buat apa kamu ngatur," balasnya sangat jutek. Aku mendelik galak melihat responnya begitu. Padahal aku sedang khawatir jikalau Kak Rangga marah seperti tadi. Jangan sampai terjadi perang dunia antar dua bersaudara itu. 'Dasar cowok tidak peka!' umpatku dalam hati.Kami akan pergi dengan mobil Kak Rangga. Aku buru-buru mengambil kursi depan agar bisa memisahkan Abizar dari Kak Rangga yang saat ini memegang kendali sopir. Dahi Abizar nampak berkerut tak suka dengan tindakanku. Meski kesal, dia tetap membiarkanku menduduki tempat itu. Sementara Abizar duduk di kursi tengah. Saat Kak Rangga akan menyalakan mesin. Dia menatap taja