Aku melangkah cepat menuju pintu keluar rumah Ayah, masih merasakan sesak di dadaku setelah konfrontasi barusan. Rasa lega karena Kak Rangga membelaku belum sepenuhnya menghapus luka dari kata-kata tajam Ayah.Namun, langkahku terhenti saat sosok yang tak asing muncul di ambang ruang tamu.Kembaranku berdiri dengan anggun, mengenakan gaun mewah yang jelas-jelas tidak cocok dengan suasana rumah ini.Dia memandangku dengan tatapan penuh sindiran, senyumnya tipis dan tajam seperti pisau yang siap menusuk."Aku dengar pertunjukan tadi cukup menarik," katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Bagaimana rasanya dihina habis-habisan oleh Ayah?"Aku menghela napas, berusaha mengabaikan provokasinya dan terus berjalan. Tapi tentu saja, Keyla tidak akan membiarkan itu terjadi dengan mudah."Tunggu sebentar," dia menahan langkahku dengan berdiri tepat di jalanku. "Aku cuma ingin mengucapkan sesuatu yang sudah lama ada di pikiranku."Aku meliriknya dingin. "Kalau cuma mau bicara sampah, lebih b
Hari itu, ruang keluarga terasa lebih hangat dari biasanya, meski aku berdiri canggung di dekat sofa tempat Kak Rangga duduk. Mataku bolak-balik mengamati ruangan, mencoba menghindari tatapan siapa pun, terutama Abizar, yang duduk dengan wajah datar di sudut lain. “Sebagai apresiasi atas kerja keras Keyra dalam menyelesaikan proposal itu, Kakak ingin memberikan hadiah,” suara Kak Rangga memecah keheningan, membuatku reflek menoleh. Aku langsung mengerutkan kening. “Hadiah? Untuk apa, Kak? Aku cuma bantu sedikit…” “Sedikit?” Kak Rangga terkekeh pelan, seperti biasa, santai tapi tegas. “Kalau bukan karena kerja sama kalian, proposal itu tidak akan pernah Kakak terima. Lagipula, ini sekalian hadiah pernikahan kamu dan Abizar. Kakak merasa belum memberikan apa-apa untuk kalian.” Perkataannya membuatku semakin salah tingkah. Ternyata Kak Rangga sudah tahu mengenai hubunganku dengan Abizar. Namun aku mencoba mengendalikan eskprsinya dan menolak tawaran Kak Rangga “Tapi, Kak, aku nggak p
Sejak kemarin di mana aku membawa motor baru berbarengan dengan Abian ke sekolah, aku semakin tak nyaman setiap berjalan di lingkungan sekolah. Banyak siswa yang menyindir dan menghina di belakangku. Bahkan hinaan itu semakin keras terdengar setiap kali aku berjalan melewati lorong sekolah. "Motor baru, ya? Pasti dia pikir bakal lebih dekat sama Abizar!" "Kamu lihat kemarin? Mereka kayak pamer pasangan di parkiran. Gila sok banget, kan?" Aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu. Sejak motor Ninja biru itu muncul di parkiran, aku sudah menduga akan ada omongan seperti ini. Awalnya aku berpikir ini hanya cemoohan biasa yang akan segera berlalu. Tapi makin hari, komentar mereka semakin keterlaluan. Ada yang terang-terangan melempariku karena dipikirnya aku sengaja menarik perhatian Ketua OSIS. Namun, aku masih bisa menahan diri, setidaknya sampai siang itu, ketika aku menemukan Ririn menangis di pojok ruang kelas. Aku dan Giselle yang baru saja pulang d
Ruang rapat OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Semua anggota hadir, termasuk aku, meski jelas-jelas aku bukan bagian dari mereka. Duduk di kursi tamu, aku mencoba menahan diri untuk tidak melempar pandangan sinis ke dua orang yang berdiri di depan. Mereka adalah para anggota OSIS yang selama ini diam-diam menjadi perundung, dan hari ini mereka dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban. Ketua OSIS, Abizar, duduk di ujung meja. Tatapannya tetap tenang, tapi auranya memancarkan tekanan. Dia melipat tangan di depan dada, menunggu penjelasan dari kedua pelaku. Mereka bukan orang asing bagiku. Aku tahu persis bahwa mereka adalah teman dekat Keyla, orang yang selama ini sering mencibirku secara halus di balik senyumnya yang manis. Juga orang yang pernah membuat masalah denganku hanya karena melihat aku dan Abizar bersama. Tapi yang mengejutkan, Keyla duduk diam di sudut ruangan, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membela kedua temannya. Dia malah mengalihkan pandangan, men
Hari itu, aula sekolah penuh dengan bisik-bisik pelajar yang penasaran. Tidak setiap waktu pihak OSIS menggelar rapat terbuka seperti ini. Aku menyeringai puas menantikan keputusan. Di atas panggung, Abizar berdiri tegap, wajahnya setenang biasanya. Di sebelahnya, kepala sekolah dan pembina OSIS menatap serius. Di tengah ruangan, Dea dan Riana berdiri dengan wajah tertunduk, jelas merasa malu. Di belakang mereka juga ada beberapa siswa yang terlibat yang tak bisa berhenti gemetaran. Sebagian besar siswa yang hadir mungkin tidak tahu detailnya, tetapi cukup jelas bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Apalagi saat Kepala Sekolah maju dengan wajah meradang namun tetap menjaga wibawanya. “Setelah mempertimbangkan bukti yang ada,” suara kepala sekolah bergema melalui mikrofon, “kami memutuskan untuk menskors beberapa siswa ini karena telah melakukan perundungan di sekolah. Kami juga akan mencopot Dea dan Riana dari posisi mereka di OSIS, berlaku segera. Kalian telah melanggar
Aku berusaha menenangkan diriku setiap kali melangkah ke sekolah. Aku tahu, semua yang terjadi akan sulit untuk dicegah. Ancaman Keyla yang tak main-main membuatku harus ekstra hati-hati saat di sekolah. Setiap kali aku melihat Abizar, perasaan cemas itu kembali datang. Jika kami terlihat bersama, apalagi di depan banyak orang, bisa saja rumor yang semakin liar itu semakin sulit dikendalikan. Karena itu, aku mulai menghindar. Setiap jam istirahat, aku memilih tempat yang jauh dari keramaian, perpustakaan misalnya, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan. Namun, sepertinya keberuntunganku tidak berpihak. “Keyra!" Suara Abizar terdengar memanggil dari belakang. Tubuhku menegang. Perpustakaan yang biasanya di am istirahat sepi, malah bertemu dengan orang yang paling tak ingin ku temui di sekolah . "Jangan pedulikan dia, Keyra!" kataku pada diriku sendiri. Aku menunduk mencoba fokus pada buku yang sedang ku baca. Berpura-pura tak mendengar panggilan dari Abizar barusan. Berharap
Siang itu, aku baru saja keluar dari kelas ketika aku melihat siluet yang sangat familier di lorong sekolah. Tinggi tubuhnya, cara ia berdiri dengan tangan di saku, dan aura santainya, aku tidak mungkin salah mengenali siapa dia."Kak Rangga!" Aku memanggilnya dengan semangat, seolah melupakan kejadian yang baru saja menimpaku di kelas tadi.Kak Rangga menoleh dan tersenyum kecil. Dia melambaikan tangan, memanggilku dengan gerakan ringan. Aku tertegun sejenak sebelum mempercepat langkahku ke arahnya.“Kak! Ngapain di sini?” tanyaku setengah berbisik, takut menarik perhatian terlalu banyak.Kak Rangga menatapku santai. “Kakak dengar kemarin kamu terlibat masalah dengan OSIS. Kakak penasaran, gimana caranya kamu bisa bikin Abidzar sampai setuju?” katanya dengan nada menggoda.Aku tersenyum malu, menyadari bahwa kejadian itu sudah sampai di telinganya. "Itu... kebetulan mereka mengganggu salah satu temanku. Aku nggak bisa diam saja," jelasku.“Bagus! Kakak bangga padamu.” Kak Rangga menga
Setelah sekolah berakhir, aku berjalan menuju tempat parkir, hanya untuk menemukan bahwa ban motorku kempes. Satu-satunya yang bisa aku pikirkan adalah Keyla dan teman-temannya, yang pasti ada di balik kejadian ini. Aku tidak sembarang menuduh. Serius! Soalnya tadi aku sempat melihat dari kejauhan ada seseorang yang berjongkok di sekitar motorku. Saat ingin ku tegur, dia sudah lari masuk ke mobil Keyla yang sudah siap keluar parkiran. "Mungkin dia ingin membalas kejadian tadi siang. Astaga!" Aku mendesah frustasi dan mulai mendorong motor itu mencari bengkel terdekat.Di saat aku sedang mendorong motorku, ada sebuah mobil yang berhenti setelah melewatiku. Lalu mobil itu berjalan mundur perlahan sampai ke samping motorku.“Keyra! Motormu kenapa?” Aku terkejut saat ada Mahendra yang kepalanya menyembul dari kaca mobil. Di dalam sana ada juga seorang gadis yang kemungkinan besar pacarnya, karena gadis itu merengut sebal saat menatapku.“Kempes! Mungkin bocor,” balasku.“Aku bisa panggi
Keyra tercekat di ambang pintu yang separuh terbuka. Seorang pria dengan jas rapi dan berdasi tersenyum ke arahnya. Di belakang pemuda itu ada sebuah mobil berwarna putih yang terparkir tepat di tengah halaman."Kak Rangga?!" lirih Keyra nyaris tak terdengar karena tenggorokannya mendadak kering.Dia tak menyangka akan kedatangan tamu tak terduga seperti Kak Rangga. Apalagi sebelum dirinya pindah beberap hari yang lalu, Kak Rangga masih di luar kota karena urusan pekerjaan. Kapan pria itu pulang?"Pagi, Keyra. Boleh aku masuk?" pinta Kak Rangga dengan tersenyum tipis.“Kakak, kapan pulang?” tanya Keyra.“Baru subuh tadi. Tapi Kakak masih mampir ke beberapa tempat sebelum ke sini. Kenapa?” tanya Kak Rangga.Keyra tak langsung menjawab. Dia menatap Kak Rangga dengan seksama. Dari raut wajah Kak Rangga, sepertinya Pria itu belum tahu jika Abizar juga pindah bersamanya.Lalu mata Keyra beralih ke kantong plastik yang tidak tahu berisi apa. Kak Rangga mengikuti arah pandang Keyra. Lalu dia
Pagi Harinya...Kepala Keyra menyembul dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Gadis itu menajamkan telinganya untuk mendeteksi keberadaan Abizar. Tidak ada yang menandakan kehadiran pemuda itu.‘Dia udah pergi sekolah, kan?’ harap Keyra sepenuh hati.PRANGGG!Baru saja akan menghela napas lega, Keyra mendengar suara gaduh dari dapur. Teringat kejadian kemarin saat Abizar hampir membakar dapur. Keyra tergegas ke dapur untuk memeriksa keadaan.Keyra bersiap akan berteriak dengan frekuensi tinggi namun tak jadi karena melihat pemandangan Abizar seperti ini. Mulutnya menganga tak percaya.Pemuda itu berdiri di depan kompor dengan celemek Doraemon yang entah dari mana dia dapatkan, sementara wajahnya terlihat serius saat membolak-balikkan sesuatu di wajan.Keyra bergidik. Ada sesuatu yang sangat salah dengan pagi ini. Pemandangan Abizar dengan celemek bermotif lucu itu membuatnya merinding sekujur badan."Kamu kena santet, Zar?" tanya Keyra dengan tatapan penuh curiga.Abizar menoleh sek
Abizar melangkah mendekati Keyra. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis, tetapi matanya menatap tajam.“Romantis sekali, ya? Diantar pulang dengan penuh perhatian oleh Kevin. Aku jadi iri,” cibir Abizar.Keyra yang awalnya hanya ingin segera masuk kamar, kini menegang. Keningnya mengernyit saat menangkap nada sarkas dalam suara Abizar.“Jangan mulai deh, Abizar!” Keyra memutar tubuhnya, menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. “Kevin cuma nganterin aku pulang karena udah malam. Lagian, kamu ngapain di sini?”Alih-alih menjawab, Abizar justru melipat tangan di depan dada, ekspresinya santai namun tajam. “Harusnya aku yang nanya. Kamu betah banget ya, jalan-jalan sama Kevin? Sampai-sampai lupa kalau punya suami yang nunggu di rumah.”Seketika, Keyra merasakan darahnya mendidih. “Suami?” Ia tertawa pendek, penuh sarkas. “Sejak kapan kamu benar-benar bersikap seperti suami?”Tatapan Abizar berubah sekilas, tapi dengan cepat dia menyembunyikannya di balik seringai kecil.“Pokokny
Lampu-lampu bagian Kafe sudah dimatikan. Tulisan ‘Close’ tergantung di pintu. Meja dan kursi mulai di atur dengan rapi. Keyra bertugas untuk membersihkan meja dan merapikan kursi-kurisnya. Gadis itu melakukannya dengan sedikit bersenandung ringan.Setengah bulan berjalan sejak dia masuk kerja di Kafe milik ibu Kevin ini. Keyra mulai terbiasa dengan berbagai tugas yang harus dikerjakan. Dia juga sudah akrab dengan semua pegawai yang totalnya hanya 4 orang saja. Hanya saja dua lainnya Shift siang, Keyra dan Kak Devina Shift malam.“Beres! Sekarang, meja berikutnya!” seru Keyra saat dia telah menyelesaikan satu meja.Gadis itu bergeser ke meja terdekat. Dia kembali bersenandung dengan nada acak agar tidak terlalu bosan dalam menyelesaikan tugasnya.“Ra, belum mau pulang?” tanya Kevin yang baru keluar dari ruang pegawai.Pemuda itu menghampiri Keyra yang masih mengelap meja. Kafe sudah tutup sejak 15 menit yang lalu. Makanya Kevin terkejut masih Keyra masih ada di sana.“Dikit lagi, Vin.
Sepulang sekolah, Keyra tidak langsung meninggalkan parkiran. Dia masih duduk di atas motornya. Satu hal yang harus dia lakukan terlebih dahulu sebelum ke Kafe tempatnya bekerja.[Awas jika kau muncul di Kafe! Teman-temanku mulai curiga tentangmu. Jangan mengacau lagi!]Keyra mengirimkan pesan itu ke Abizar yang saat ini masih belum kelihatan di parkiran. Setelah memastikan pesan itu centang dua, Keyra segera menggunakan helmnya dan meninggalkan sekolah.Gadis itu tak menunggu pesan dibaca oleh Abizar. Yang pasti, jika Abizar berani datang, dia akan memberikan perhitungan. Begitu tiba di Kafe, Keyra langsung turun dari motor. Sudah banyak pelanggan yang datang, jadi dia harus segera bersiap.Dia berjalan lurus menuju ruang pegawai. Akan tetapi, belum sempat dia menyentuh gagang pintu, Kak Devina menghampirinya dengan wajah sedikit cemas."Keyra, ada seseorang yang menunggumu sejak tadi," kata Kak Devina.Keyra mengernyit heran. Siapa yang mencarinya? Kak Devina menunjuk ke salah satu
Keesokan paginya, sinar matahari yang menembus tirai jendela membangunkan Keyra dari tidurnya. Dengan malas, ia meraih ponsel dan melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Gadis itu segera bangkit, bersiap untuk mandi.Keyra meraih botol air minum yang ada di atas meja. Perutnya terasa tak nyaman dari tadi malam. Minggu ini sudah masuk siklus rutin bulanannya. Dia selalu sulit tidur apabila tamu bulanannya datang. Makanya Keyra bangun kesiangan.Setelah mengumpulkan niat, Keyra segera bangkit untuk mandi. Tak lama kemudian, gadis itu sudah keluar dengan kondisi lebih segar.Setelah berganti, Keyra mengambil tas sekolahnya dan segera keluar kamar. Dia sedikit bersenandung riang saat berjalan menuju teras.Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara gaduh dari arah dapur. Keningnya berkerut heran. Siapa yang ada di dapur sepagi ini?Dengan rasa penasaran, ia melangkah ke dapur dan langsung membelalakkan mata. Di sana, Abizar tengah sibuk berusaha memasak sesuatu di at
Senja mulai beranjak pergi, meninggalkan jejak warna jingga yang perlahan menggelap di langit. Magrib hampir tiba, dan satu per satu teman-teman Keyra mulai bersiap untuk pulang."Ra, kita pulang dulu, ya. Udah hampir magrib nih," ujar Giselle sambil memasukkan buku ke dalam tasnya."Iya, jangan lupa kunci pintu," timpal Ririn, menyengir usil. "Siapa tahu ada yang menyelinap masuk ke rumah ini. Eh, atau malah ada yang sudah menyelinap dari tadi?" Tatapan mereka langsung tertuju pada Keyra yang sedang membereskan meja. Gadis itu langsung menghela napas panjang, tahu arah pembicaraan mereka."Giselle, Ririn, jangan mulai!" Keyra melotot kesal.Kevin yang sedari tadi diam hanya menggelengkan kepala. "Kalian nggak bosan menggoda Keyra?""Mana bisa? Ini hiburan gratis!" sahut Giselle dengan tawa kecil.Keyra mendengus. "Dengar, ya! Setelah ini, aku bakal langsung usir Abizar. Jadi, berhenti pikir yang aneh-aneh!""Yaelah, Ra. Padahal untung di kamu bisa lihat pemandangan tiap hari. Kita a
Keyra menghela napas panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa menghindari pertanyaan teman-temannya lebih lama. Dengan terpaksa, ia mulai menjelaskan hubungannya dengan Abizar."Jadi begini..." Keyra menatap mereka satu per satu, memastikan mereka benar-benar mendengarkan."Nenek Bimantara itu memang neneknya Abizar. Tapi, beliau juga mengenal ibuku sejak lama. Dulu, mereka cukup dekat, dan setelah orang tuaku berpisah, aku merasa nggak bisa tinggal satu rumah dengan Keyla dan ayah. Makanya, Nenek Bimantara menawarkan bantuannya," sambung Keyra.Giselle dan Ririn bertukar pandang, sementara Kevin tetap diam, hanya menatap Keyra dengan ekspresi yang sulit ditebak. Keyra duduk di sofa, berusaha lebih rileks untuk lanjut menjelaskan."Tapi kenapa rumah sebesar ini ditinggali sendirian?" tanya Ririn penasaran.Keyra mengangkat bahu, mencoba bersikap setenang mungkin. "Nenek sebenarnya ingin menempatkan beberapa orang untuk menemani dan menjagaku, tapi aku menolak. Aku lebih suka sendiri. La
Sepulang sekolah, Giselle, Ririn, dan Kevin menuju tempat Keyra. Ketiganya naik mobil Kevin, sementara Keyra dengan motor ninjanya menjadi pengarah jalan.Awalnya mereka merasa daerah tempat tinggal Keyra terbilang jauh dari sekolah. Apalagi saat mereka memasuki sebuah kawasan yang jarang bangunan, membuat tiga tamu itu merinding.“Ini beneran mau ke rumah Keyra, kan?” gumam Giselle, dia sudah memeluk Ririn lantaran takut dengan jalan yang semakin sepi.“Percaya sama Keyra! Dia pasti nggak nge-prank kita,” ujar Kevin yang duduk di kursi kemudi, meski dalam hati dia juga bertanya-tanya. Sejak kapan Keyra tinggal di tempat sesepi ini?Begitu mobil memasuki area rumah Keyra, suasana di dalam mobil berubah menjadi hening. Mata mereka melebar melihat keindahan yang terpampang di sana.Ketiga murid SMA itu bergegas keluar mobil. Keyra menyambut mereka dengan tangan terentang. “Selamat datang di rumahku!” seru Keyra.“Gila…” Giselle berbisik kagum saat melihat rumah yang berdiri di hadapan m